Saturday 13 October 2012

Dua Itu Satu

EVENT MINGGUAN UNSA EDISI ULANG TAHUN UNCLE DAS "Cerita Anak Kembar"

 
Dua Itu Satu
oleh Annisa Ramadona pada 3 Maret 2012 pukul 15:53 ·
Aku benci Jaka. Mulai dari wajah, gaya bicara, cara berpakaian, sampai hobi dan kesukaannya. Aku benci semua hal yang ia utarakan, yang ia kenakan, yang ia beli juga yang ia gemari. Aku tak suka semua yang ada padanya. Karena semua itu juga ada padaku.

Aku tidak pernah meminta terlahir kembar. Bukan keinginanku untuk menjadi salah satu dari dua bayi ber-DNA sama, sehingga aku dan Jaka benar-benar identik, bagai pinang dibelah dua.

Awalnya aku masih menikmati ketika ibu memakaikan pakaian yang sama, membelikan mainan dan memberikan segala setuatu yang sama persis dengan Jaka. Semua masih baik-baik saja sampai aku SMA. Aku dan Jaka juga bisa dibilang tak terpisahkan. Kalau aku sakit, Jaka akan ikut sakit. Kalau aku sedih, entah mengapa ia juga ikut sedih, begitu pula sebaliknya. Bahkan terkadang, untuk berkomunikasi dengannya, aku tak memerlukan suara. Aku hanya perlu bertelepati lewat hati, dan Jaka akan langsung mengerti.

Beranjak kuliah aku mulai merasa bahwa menjadi kembar itu ternyata menyebalkan. Pemberian pakaian dan segala hal yang dibuat sama mulai terasa tidak nyaman. Orang-orang sering tertukar, mengira aku adalah Jaka. Dalam segi prestasi, aku dan Jaka juga tak mampu saling menyaingi, juara kelas tidak lagi satu, melainkan dua.

Ya, semua sama. Termasuk selera terhadap wanita. Itulah yang akhirnya membuat batinku berontak. Siapa yang aku pikirkan seolah ikut masuk dalam pikiran Jaka. Beberapa kali wanita yang kutaksir adalah wanita yang juga ditaksir Jaka. Mantan pacarku tiba-tiba menjadi pacar Jaka, dan sebaliknya wanita yang dengan bangga kupikir belum ia pacari, ternyata mantan pacarnya.

Sampai kemudian aku berkenalan dengan Rani di sebuah pameran lukisan yang diam-diam kuhadiri tanpa Jaka. Aku memang sudah mulai meninggalkannya dibanyak kesempatan untuk mengurangi tingkat kesamaan yang makin hari makin tidak mengenakkan. Bayangan Rani yang sering menari-nari dibenak, sengaja kusembunyikan, takut kalau-kalau Jaka ikut menikmati. Juga ketika aku memikirkan senyum Rani yang begitu mengagumkan, cepat-cepat kusingkirkan sebelum Jaka melihatnya. Wanitaku satu ini adalah wanita spesial yang tak ingin kubagi lagi.

Aku mulai menghindari Jaka, menghindari kontak mata dengannya agar apa yang sedang kupikirkan tidak terbaca. Aku asyik dengan duniaku dan Rani. Sms dan telepon mengisi hari-hari baruku tanpa Jaka lagi. Untuk wanita satu ini, aku yakin Jaka tidak bisa ikut menyukainya. Aku, Rani, dan Jaka kali ini berada di dunia yang berbeda.

Nuansa merah jambu mengepungku dengan bayangan Rani yang merayu, mengangkat tanganku meraih kanvas. Aku mendadak begitu ingin melukis wanita berambut hitam sebahu itu. Aku berharap Jaka pulang lebih malam, agar aku bisa memikirkan Rani dalam-dalam. Karena bakat dan kegemaran yang sama, aku dan Jaka sering bentrok kalau tiba-tiba keinginan melukis muncul pada waktu yang sama juga.

Aku tengah menikmati sketsa wajah Rani dan hendak mewarnainya ketika menyadari bahwa cat-cat warna primerku tidak ada pada tempatnya. Pasti Jaka. Ia selalu saja asal mengambil peralatan lukisku dan tidak pernah mengembalikan ke tempat semula. Sambil menggerutu aku menuju kamar Jaka di lantai dua.

Kamarnya tidak lebih berantakan dari kamarku. Desain interior dan perabotan di dalamnya tidak berbeda jauh. Warna biru dongker yang kusukai juga mendominasi, persis seperti berada di kamar sendiri.

Mataku tiba-tiba saja menangkap senyum yang kukenal, mengabadi dilembar kanvas yang masih terbuka lebar. Hatiku makin terluka. Kanvasku masih berupa sketsa, tapi Jaka telah lebih dulu melukiskan Rani dengan sempurna. Aku disalip lagi oleh saudara kembarku sendiri.

“Jaki?!” suara Jaka menyentakku, ia baru saja membuka pintu. Aku menatapnya, ia menatapku. Kemudian kami saling memergoki isi hati. Ada bayang Rani yang berkelebat dalam pikirannya. Bagaimana bisa Rani ada disana sedangkan aku menguncinya rapat-rapat dari Jaka?

“Dia wanitaku,” Jaka menjelaskan tanpa kuminta. Ya, pikiranku pasti telah terbaca. Kecewa dan amarah mungkin telah ia cerna.

“Tapi dia Rana, bukan Rani,” lembut suara Jaka membuatku tak percaya.

“Sejak dilahirkan kita memang telah ditakdirkan untuk selalu berbagi. Tapi aku tidak pernah ingin mengambil semua yang kau miliki, Jaki. Aku menyayangimu karena bagiku kita berdua adalah satu,” Jaka menatapku, aku tak berani untuk balik menatapnya. Karena dimata itu kulihat kesedihan yang begitu mendalam atas prasangka burukku padanya.

“Rani merasakan hal yang sama denganmu, karena itulah ia menyembunyikan Rana seperti kau menyembunyikanku. Tapi seperti Rana yang tak bisa membenci Rani, seperti itu juga perasaanku padamu. Kita berasal dari satu sel telur, Jaki. Tidak mungkin akan saling menyakiti.”

Aku tertunduk. Jaka merengkuhku, menepuk-nepuk pundakku perlahan, membesarkan hatiku seperti yang selalu ia lakukan.

***


Dang Aji Sidik
PESERTA TOP 9 EVEN “CERITA ANAK KEMBAR”


1. Dua itu Satu
2. Lena Leni
3. Galang dan Gilang
4. Episode Budi dan Budu
5. Jauh Sayang Dekat Perang
6. Tweet Wars
7. Hari Spesial Odong
8. Mengeja Kenangan
9. Rebutan Lahir
Hanya 3 cerpen yang terpilih, tunggu pengumumannya hanya di UNSA!
 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal