Saturday 13 October 2012

“EDELWEIS”

FF ini diikutsertakan dalam FF AWARD WR Maret 2012, Juara Pertama

aku tak tahu mengapa Tuhan
mempertemukan aku denganmu

Rista memandang lelaki jangkung di hadapannya. Keringat masih bercucuran dari sekujur tubuh yang sejak satu jam lalu bergelut dengan boulder itu. Diulurkannya handuk dan botol minum yang dari tadi ia pegang.

“Gantian yuk, Ris!” Aga menunjuk ke arah papan panjat dinding berukuran tiga meter itu.  Rista menggeleng, kemudian memaksakan semburat senyum mengukir wajah manisnya.

Aga membalas senyum itu sesaat sebelum ia kembali mengusapkan magnesium pada tangannya yang penuh keringat. Detik berikutnya ia telah menggelayuti boulder.

Aga mulai samar dalam pandangan Rista. Kini Bumi menyeruak dalam benaknya. Tangan kekar yang menggelantungi point itu lamat-lamat menyajikan ingatan lain, kenangan bersama Bumi yang tengah mengajarinya menggapai point demi point.

“Minggu depan aku ke Rinjani,” suara Bumi hadir menghantar kerinduannya yang semakin dalam.

“Aku akan ambil Edelweis buat kamu, Ris!” Bumi begitu bersemangat, senyumnya meruntuhkan idealisme Rista yang sesungguhnya anti memetik Edelweis. Sekali ini saja, ia menginginkan bunga keabadian cinta itu dari tangan Bumi, lelaki yang telah satu tahun menjalin hubungan dengannya.

“Janji?!” mereka saling mengaitkan kelingking. Bumi mengangguk, tersenyum.

aku cinta dia
tapi takdir memisahkan

Sudah hari ketiga, Bumi belum juga ditemukan. Kalaupun selamat, kondisinya pasti mulai lemah. Apalagi sekarang cuaca di gunung sedang buruk-buruknya. Setiap hari turun hujan deras.

Rista tak bisa membendung air mata membayangkan semua kemungkinan yang menimpa Bumi. Beberapa rekan pecinta alam terus menyemangati, tapi bayangan Bumi yang perlahan lenyap, seolah menandakan lelaki itu telah pergi.

kau datang di waktu yang tepat
kau mengisi sakit jiwaku

“Ketiduran, Ris?” suara Aga membuyarkan semua ingatannya tentang Bumi, entah sejak kapan ia menyudahi latihannya tadi. Kini Aga sedang mengamatinya dalam-dalam.

Rista menyeka air mata yang terasa begitu nyata mengaliri kedua belah pipi. Semua seperti mimpi.

Aga masuk sebagai anggota baru tepat setahun setelah kepergian Bumi. Keduanya begitu mirip. Semua yang ada pada Aga, selalu berhasil memutar kembali rona kebahagiaan yang pernah ia lewati bersama Bumi. Mereka begitu sama, membuat Rista tak bisa membedakan cinta itu sesungguhnya milik siapa.

walau mungkin kau pun terluka
wajahmu ingatkanku

“Mimpi Bumi lagi?” Aga memandangnya lekat-lekat, Rista mengangguk pelan.

Rasa bersalah menyergap tiap kali Rista menikmati kebersamaan dengan Aga. Bahagia dan sedih berjibaku, meluruhkan air mata yang seolah tak pernah ada habisnya. Rista tak pernah tahu, perasaan apa sebenarnya itu. Yang pasti cintanya pada Bumi seperti mendorongnya untuk menutup pintu hati meskipun ketulusan Aga mengetuk-ngetuk ingin masuk.

 “Aku akan bawa Edelweis untuk kamu, Ris!” kalimat itu keluar dari bibir Aga, menyentak hati Rista. Ia tergetar, air mata tiba-tiba saja mengalir, entah mengapa.

“Aku bukan Bumi, Ris. Besar cintaku padamu bahkan mungkin melebihi cinta yang Bumi miliki.”

aku sampai tak bisa bedakan
rasa bahagia dan rasa sedih
sejak aku anggap dia
takkan tergantikan

Aga menghilang, sudah satu minggu ini ia tak menampakkan diri di base camp. Telepon dan sms sama sekali tak ada. Aga lenyap tanpa berita. Ia pergi begitu saja, meninggalkan luka yang kembali menganga dalam hati Rista.

“Kunci Loker Aga. Kemarin dia pulang sebentar, terus pergi lagi. Katanya nitip kunci ini buat kamu,” Dani meninggalkan Rista setelah menggenggamkan kunci itu di tangannya.

Rista menarik nafas panjang, pelan-pelan memasukkan anak kunci, memutarnya hingga pintu loker itu terbuka.

“EDELWEIS INI MELAMBANGKAN CINTA YANG ABADI, SEPERTI ITULAH CINTAKU KEPADAMU, ARISTA!” kalimat itu teruntai jelas pada dinding dalam loker. Di atasnya, tepat di tengah-tengah kerumunan Edelweiss yang mengabadi lewat hasil jepretan Aga, sebuah kertas menyembul keluar.

“Kematian ada bukan untuk menghantui kehidupan. Justru sebaliknya, kematian mengajarkan bagaimana seharusnya kita mensyukuri kehidupan!” tulisan itu terasa menusuk.

Kekosongan menjalari Rista. Tak ada Bumi atau pun Aga, ia meraih point, menikmati kehilangan yang mengepungnya sendirian.

salahkah aku yang tak berdaya
wajahmu ingatkanku
dengan dia*

(600 kata termasuk judul, 24-25 Maret 2012)
*lirik lagu Bunga Citra Lestari, Wajahmu Ingatkan Aku
 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal