Wednesday 28 November 2012

Iwan Undangan


“Kasnya ada berapa?” ia mendesakku. Curiga yang sejak tadi menari-nari kini kian menjadi-jadi.


“Gak ada, cuma uang ribuan aja.”

Kuputuskan untuk tak beranjak dari batas antara ruang tunggu pelanggan dengan meja kerjaku, sehingga kemungkinannya untuk menjarah barang semakin kecil.

Dia datang sekitar 7 menit yang lalu, tiba-tiba menanyakan Mas Putra yang sedang tidak ada di percetakan. “Iwan Undangan,” ia memperkenalkan dirinya. Kemudian meminta nomor telpon Mas Putra. Aku menyerahkan kartu nama yang memang telah disiapkan untuk pelanggan.

Kulihat ia mengeluarkan ponselnya, tak lama kemudian bercakap-cakap membicarakan undangan yang ia pesan. Aku pura-pura tidak mendengarkan dan sibuk menekuni layar komputer.


Tanya merebak dalam benakku, Mas Putra tidak mungkin tidak ada konfirmasi. Undangan yang terakhir kami cetak juga sudah diambil pemesannya. Lalu undangan yang dimaksud ini undangan yang mana lagi? Yang kuingat tadi siang hanya ada seorang perempuan yang memesan undangan, itu pun masih menunggu kesepakatan.


“Oh, jadi punyaku sisa berapa, Mas? Oke… Oke… Aku minta berapa adanya aja sama mbaknya ya, Mas?” ia menutup ponselnya, lalu menghampiriku.


“Mbak, kata Mamasnya ada berapa uang kas sekarang?” tanyanya kemudian. Aku tak menjawab, hanya menatapnya heran. Tanda tanya di benakku makin besar saja. Memangnya ada pemilik usaha yang rela membocorkan uang kasnya pada pelanggan? Nggak mungkin Mas Putra berpikir demikian. Kalau memang butuh, Mas Putra pasti menelpon dan menanyakannya sendiri.


“Gak ada, cuma ada uang ribuan aja,” jawabku sekenanya.


“Ditempat lain, Masnya suruh cari di dalem,” ia memaksa. Aku makin curiga. Makin tak mau beranjak kemana-mana. Tak kuberikan ia kesempatan untuk masuk dan menjarah inventaris percetakan.


“Di laci?!” Lelaki itu terus mendesakku. Aku menggeleng. Menunjukkan isi laci yang memang hanya untuk meletakkan uang ribuan.


“Oh, ya sudah… Kalo gitu nanti Saya temuin langsung Masnya aja," ia bergegas menyalakan mesin motor, kemudian menghilang begitu saja dari percetakan.


Aku duduk lemas. Mengambil ponselku, kemudian menghubungi Mas Putra. Memastikan apakah barusan ada yang menelponnya.


“Iwan Undangan,”  kataku mengingat lelaki tadi menyebut namanya.


“Gak ada... Aku lagi dijalan, Neng. Gak ada satupun yang telpon. Gak juga, hmmm… siapa tadi namanya??!!”


Aku terhenyak, menyadari bahwa aku telah terselamatkan. Alhamdulillah, Allah masih melindungiku dari penipu yang mengaku pelanggan. (TS. PMSB-30/01/12)

0 comments on "Iwan Undangan"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal