Monday 7 January 2013

Jingga


Antologi di Pustaka Inspirasiku
Maret 2012


Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini…

Hujan masih menari-nari. Menyelimuti Jingga dalam sunyi. Menanti Alam membawakan sepotong roti.

Menanti, seperti pelangi setia menunggu hujan reda…

Ini adalah hari keempat sejak pertemuan mereka yang terakhir kali. Waktu itu Jingga menggigil dalam hujan yang mengguyuri pasar dini hari. Air matanya meleleh tanpa henti, mengaliri kedua belah pipi yang nyaris tak pernah dicuci.
Jingga demam tinggi, Alam hanya bisa menyelimutinya dengan kardus bekas yang ia ambil dari tong sampah di pinggir warung nasi.
“Aku hanya punya remah-remah roti untuk kau makan hari ini.” Alam berkata lirih. Wajah Jingga begitu pucat, dingin angin menusuk-nusuk tubuhnya yang kian bergeletar menahan lapar.
“Setidaknya kau harus bertahan sampai pagi nanti. Aku tahu kau kuat, Jingga. Berjanjilah, kau bisa bertahan dan tidak akan mati kelaparan! Bertahanlah sampai hujan reda, besok kita akan melihat pelangi bersama.” Alam meracau tak karuan. Ia merasakan pipinya mulai memanas, air mata luruh perlahan.
“Aku akan membelikanmu roti, Jingga. Asalkan kau diam di sini sampai POL PP pergi!” Alam membisikkan janji di telinga Jingga, membenarkan letak kardus yang menyelimuti gadis kecil itu, kemudian bergegas pergi.
Kegelisahan mengepung Alam sendirian. Penyesalan menggerogoti hatinya yang kian terluka melihat kondisi Jingga. Semua karena kesalahannya.
Alam dan Jingga dibesarkan bersama di Panti Asuhan Pelangi. Mereka dititipkan di sana sejak bayi. Meski tak bertalian darah, mereka hidup layaknya saudara sejati. Sampai kemudian Jingga dilirik sepasang suami istri untuk diadopsi, Alam tak bisa menerima adik seperjuangannya itu pergi. Diam-diam ia menyusun strategi untuk membawa Jingga lari dari panti sehari sebelum pasangan itu menjemput Jingga sebagai anak angkatnya.
Awalnya semua baik-baik saja. Alam dan Jingga merasakan kebebasan yang selama ini mereka inginkan. Tak ada aturan, tak ada ibu dan bapak pemilik panti yang biasanya membatasi ruang gerak mereka. Tak ada hapalan, seperti yang biasa dijejalkan tiap malam, juga tak ada paksaan untuk menyambut tamu panti yang datang memberikan sumbangan.
Mereka tinggal dimana saja, tak mandi kecuali katika hujan, juga menghabiskan sisa celengan untuk membeli makanan, tapi mereka menikmatinya.
Semua menjadi sulit ketika persediaan uang perlahan habis. Untuk tetap makan, Alam terpaksa mengemis atau mengais sampah. Sedangkan Jingga hanya bisa mengekor kemana pun Alam pergi.

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka…

Hujan belum mau berhenti. Sejak Alam terjaring razia POL PP empat hari lalu, Jingga tak makan sedikitpun, ia diusir kesana kemari, hingga menggelandang di pinggir pertokoan. Menggigil, Jingga menanti Alam kembali, membawakannya sepotong roti seperti yang ia janjikan.
“Jingga, bangun! Hujan sudah berhenti!” Suara Alam terdengar sayup-sayup. Jingga ingin membuka mata, ingin melihat Alam secepatnya. Namun mata itu seolah tak mau terbuka.

Sampai hujan memulihkan luka…

“Jingga, lihat! Di langit ada pelangi, ada kamu, Jingga! Aku juga sudah bawa roti sesuai janjiku. Kita pergi dari sini, Jingga!” Suara Alam terdengar panik. Ia mengguncang-guncang tubuh Jingga yang terbujur lemah.
Sekuat tenaga Jingga terus mencoba membuka mata, melawan sakit yang kian menjadi-jadi. Sekali ini saja, Jinggaingin melihat pelangi, melihat Alam membawakannya roti. Sekali ini saja, sebelum Jingga mengabadi dalam tujuh warna pelangi. Sebelum ia mati.

*lirik lagu Efek Rumah Kaca, Desember

*Diterbitkan dalam buku Rembulan Singgah sesaat, Leutika Prio 2012

Judul: Rembulan Singgah Sesaat

ISBN: 978-602-225-526-0
Terbit: Oktober 2012
Halaman : 218, BW : 219, Warna : 0
Harga: Rp. 45.000,00

Deskripsi:
Rembulan Singgah Sesaat, menepis keraguan yang selama ini bergelayut di hati Suhadi. Laki-laki itu dengan setia menanti mantan istrinya yang pergi bekerja menjadi TKW di luar negeri. Setelah menceraikannya, tepat pada hari keberangkatannya, Suhadi berharap bisa kembali rujuk saat Warsih, mantan istrinya pulang dua tahun kemudian.

Setiap malam dipandangnya langit pekat. Berharap rembulan akan singgah di atas Kampung Sukadamai. Singgah di hatinya yang diliputi rasa rindu tiada tara. Ia sangat berharap Warsih akan kembali ke pangkuannya sebagaimana rembulan selalu setia bertengger di cakrawala malam. Sekelam apapun. Tetapi, akankah nasib berpihak kepadanya. Akankah perempuan berwajah rembulan itu kembali singgah di hati Suhadi untuk selamanya? Ataukah Tuhan memiliki rencana lain, yang sama sekali tak pernah diduganya? Sebuah novelet indah karya Kamiluddin Azis, yang akan mempermainkan perasaan Anda saat dan setelah membacanya.

Dalam buku ini juga terdapat serangkaian kisah singkat dan puisi-puisi indah yang disajikan dengan begitu memesona. Kisah penuh makna yang digali dengan sepenuh hati ini dirangkai oleh penulis-penulis yang tergabung dalam grup Pustaka Inspirasi-ku, yakni : Kamiluddin Azis ~ Wirasatriaji ~ Iruka Danishwara W ~ Gagak Sandoro ~ Petra Shandi ~ Poery Permata ~ Roma DP ~ Annisa Ramadona ~ Nimas Kinanthi ~ Vinny Erika Putri ~ Fitria Handayani Meilana Sari ~ Remunggai M ~ Asep Fauzi Sastra ~ Ali Bachtiar ~ Emma Marlinah ~ Harry Gunawan ~ Muhammad Dede Firman ~ Ken A. Rion ~ Fanny YS ~ Prast Respati Zenar ~ Arini Riesha Septiana ~ Eleazar Latif ~ Aliyah Maulidah ~ Atika Nur Sabrina ~ Vysel Arina ~ Elsa Aprilia ~ Junita Susanti ~ Ayesha Syarif ~ Marlyn Christ ~ Rivyana Intan Prabawati ~ Septiani Ananda Putri ~ Aldy Istanzia Wiguna

0 comments on "Jingga"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal