Tuesday 8 January 2013

Kantong Kresek Pak Bangsa


Beliau adalah Pak Bangsa Brahmana, salah satu dari tiga guru killer di sekolahku. Rambut hitamnya telah menguban, jalannya tak lagi gagah. Goresan umur mengeriput wajahnya yang sangar. Logat bataknya pun sesekali terdengar parau.

“Bikin malu!” bentaknya tiap kali siswa mematung di hadapan blackboard.

Beliau mengajar mata pelajaran Fisika. Cara mengajarnya tidak biasa. Pak Bangsa tidak banyak menjelaskan. Satu jam pelajaran akan habis hanya dengan menguraikan bagaimana akhirnya diperoleh Gaya Coulomb atau bagaimana mendapatkan rumus Ggl induksi.

“Hei, Pangeran yang di ujung sana, maju Kau!” panggilnya menggeletar. Seisi kelas menahan tawa sekaligus mengelus dada lega, kecuali seorang temanku yang kini menjadi mangsanya.

Setiap mengajar Pak Bangsa selalu menggilir siswa satu persatu menguraikan rumus-rumus fisika di muka kelas. Entah tidak tahu sama sekali atau terlalu takut sehingga paling banyak seorang siswa hanya mampu menjawab sebaris rumus saja. Itu pun salah.

"Apa yang kau tulis itu...??? Bulat-bulat, kotak-kotak!!!! Duduk!!!" Suaranya menggelegar, wajah temanku memerah malu, penghuni kelas menahan tawa lagi.

Sebenarnya bentakan Pak Bangsa menciutkan nyali kami, tapi tampang innocent-nya menggetik urat geli. Karena itulah, kami hanya bisa menyembunyikan tawa dan tidak memuntahkannya keluar.

Satu jam pelajaran bersama Pak Bangsa selalu menjadi satu jam penuh doa. Berharap Allah mempercepat waktu agar tidak sampai giliran untuk maju. Hingga akhirnya bel pelajaran usai membubarkan doa, menggoreskan senyum lega pada wajah-wajah yang tak mengerti Fisika, aku salah satunya.

***

“Tapi Pak Bangsa itu eksentrik. Susah ditebak.” Aku mengernyitkan dahi. Mbak Opi mengangguk. Ia menarik selimut, kemudian melanjutkan ceritanya. Aku dan Mbak Opi satu SMA, jadi sebelum tidur kami memang biasa ngerumpi seputar masalah sekolah.

“Pak Bangsa nggak pernah membawa tas. Beliau ke mana-mana cuma menenteng kantong kresek hitam. Entah apa alasannya, yang jelas kayaknya nggak mungkin kalau Pak Bangsa nggak punya tas.”

Aku mengangguk mengingat Pak Bangsa ketika memasuki kelas. Benar juga, selama ini aku tidak terlalu ngeh. Mungkin saking deg-degan jadi aku cuma fokus berdoa sambil menunduk pura-pura membuka buku pelajaran di meja.

“Tapi Pak Bangsa guru yang langka, Beliau tipe guru jaman dulu. Guru yang bener-bener pure mengajar, bukan cuma mencari gaji. Penilaiannya juga sedikit beda. Yakin deh, banyak yang jeblok nilai fisikanya kalau nggak benar-benar mengerti.” Mbak Opi menatap langit-langit.

“Mbak juga dulu kebakaran rapot gara-gara yang mengajar fisikanya Pak Bangsa,” lanjutnya sambil senyum-senyum kuda.

***

Tawa Bang Rusdi membahana di markas besar klub Pecinta Alamku. Kami sedang sharing dengan topik yang sama. Pak Bangsa Brahmana.

“Sekarang sih mending, Pak Bangsa sudah ubanan, coba dulu waktu jaman Abang SMA, Beliau masih gahar! Suka ada kapur tulis mampir di jidat,” Bang Rusdi menunjuk jidatnya.

“Pak Bangsa dulu identik juga dengan motor Vespa-nya. Nah... si motor Vespa ini nggak ada jok belakangnya, jadi iseng-iseng kami tanya sebabnya pada Beliau. Terus apa coba jawabannya?” Sekarang giliran Bang Anton mengulas masa lalu.

“SUPPAYAA TAK AADA ORANGG YANG MAU BONNCENGNG…!!!”

Bang Anton menirukan logat khas Pak Bangsa, kami terpingkal-pingkal mendengarnya.

“Pak Bangsa memang unik,” sambungnya di tengah tawa.

***

Sampai akhirnya pengumuman wali kelasku memberitahu bahwa akan ada acara pelepasan guru, Pak Bangsa Brahmana akan pensiun. Mengingat umur Beliau, memang sudah pantas jika guru nyentrik itu menyudahi masa baktinya.

Ada rasa haru. Meskipun gaya mengajar Pak Bangsa memang tidak biasa dan terkadang membuat spot jantung juga, tapi siswa-siswa tetap merasa kehilangan. Mesakipun garang, Beliau dengan senang hati mau mengajari dan mengulang pelajaran lagi jika siswa bertanya, di luar jam sekolah sekali pun. Selain itu Beliau juga enak diajak bercerita.

Semua yang ada pada Pak Bangsa memang khas, sangat membekas. Itulah yang akhirnya membuat para siswa sepakat untuk memberikan sebuah cinderamata. Tanda terimakasih atas jasa-jasanya yang tak mungkin terbalaskan melalui benda yang tak seberapa nilainya.

***

Dan hari pelepasan itu tiba, setelah upacara resmi dan sambutan-sambutan dari Kepala Sekolah serta guru lainnya, sekarang giliran penyerahan cinderamata. Ketua OSIS menyerahkan kado istimewa dari kami, siswa-siswa yang akan merindukannya. Sebuah tas kulit hitam untuk menggantikan kantong kreseknya!

***

Aku meninggalkan tempat kursus komputerku. Setelah tamat SMA aku memutuskan untuk mengambil program pendidikan komputer satu tahun untuk kemudian mencari pekerjaan dan melanjutkan sekolahku ke bangku kuliah.

Ku-stop bis kota jurusan Perumnas. Penumpang berjejalan. Aku tak punya pilihan. Sekarang memang jam makan siang sekaligus jam sekolah usai. Aku terpaksa berdiri di pinggir pintu, nyaris keluar.

Ketika pandanganku menyapu ruas jalanan di Simpang Polda, mataku tertumbuk pada sosok pria yang menyusuri jalan dengan perlahan. Ingin rasanya kuhentikan laju bis yang mulai menjauh, membuat sosoknya kian pudar dari penglihatanku. Pak Bangsa Brahmana. Ya, rambutnya yang putih menguban, bahkan tak menyurutkan semangatnya melangkahkan kaki sambil menenteng kantong kresek berisi buku-buku. Aku tersenyum. Ah Pak Bangsa, Beliau masih nyentrik rupanya. 

*based on true story

Pernah diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Sumeks 2012
Nominasi 25 Cerpen terbaik kategori Pemuda 20-27 tahun


Tulisan ini dibuat setahun yang lalu. Waktu baru kembali nulis setelah vakum 5 tahun lamanya. Masih acak-acakan, tapi iseng-iseng kuikutsertakan di ajang PENA SUMSEL GEMILANG. Alhamdulillah, nyangkut sebagai nominasi peraih anugerah, meskipun belum berhasil menyabet juara. Wajar sih, mengingat cerita ini masih jauh dari kriteria cerpen yang biasa dimuat di Citra Budaya.

Sejujurnya ketika menulis cerita ini tahun lalu, aku niat ikut lomba Unforgettable Teacher, entah siapa penyelenggaranya dulu. Tapi karena kepentok DL, akhirnya urung. Sedangkan cerita satunya lagi tentang guru matematikaku, Bu Gukguk kukirim ke audisi naskah Cenat Cenut Matematika yang alhamdulillah lolos dan kini sedang menanti terbit di Gramedia Pustaka Utama.

Menuliskan true story itu lumayan asyik, walaupun kadang malu-maluin. Tapi yang jelas, saat memutar ulang kenangan, kadang kita menemukan bahwa sebenarnya banyak hal manis yang hampir terlupakan.


Kelas 3 IPS 1 SMA N 6 Palembang

0 comments on "Kantong Kresek Pak Bangsa"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal