Sunday 6 January 2013

Kilas Balik

Mengulur-ulur waktu. Mungkin itulah yang kini sesungguhnya kulakukan. Liburan semester tujuh hampir berakhir, aku tahu itu dari sms Siska tadi malam. 14 Januari masuk, katanya. Bagiku sebenarnya tak begitu penting. SKS sudah kulahap tuntas sampai semester kemarin. Aku tak punya mata kuliah lagi yang mengharuskanku datang ke kampus tepat waktu. Urusanku kini hanya pada SKRIPSI yang berkas pengajuan judulnya baru kuserahkan 4 Januari kemarin. Benar-benar ketinggalan kereta jika aku berniat ikut Seminar Proposal periode pertama, pertengahan Januari nanti.

Aku sendiri bingung pada niatku. Di satu sisi, aku ingin segera diwisuda. Ingin secepatnya membanggakan orangtua melalui gelar sarjana. Dengan lepasnya aku dari dunia perkuliahan, kupikir paling tidak akan ada waktu lebih untuk berkarya. Setidaknya sampai aku dipinang. :D
Jalan-jalan sepulang kuliah
Di sisi lain, aku masih ingin berkumpul dengan para sahabat. Ingin diwisuda dan foto bersama saat mengenakan toga. Masih ingin menikmati masa lajang yang sepertinya akan segera berakhir jika aku segera wisuda. Sebenarnya juga masih ada keinginan menghasilkan sebuah karya bersama untuk kelak dikenang.

Aku ingat, dulu tak terlintas sedikit pun di benakku untuk menjadi bagian dari STISIPOL Candradimuka. Tentu saja aku tak pernah mengidam-idamkan Perguruan Tinggi Swasta yang terkenal dengan kelas karyawannya ini. Tidak sedikit pun meski SMA-ku dulu bisa dibilang tetanggaan.

Yup. Sebagaimana siswa SMA Negeri 6 Palembang lainnya, aku tentu berharap bisa melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri. Apalagi mengingat riwayat sekolahku sejak SD-SMP-SMA memang berembel-embel Negeri.

Hiruk-pikuk pendaftaran dan ujian masuk PTN seusai pengumuman kelulusan SMA sebenarnya pernah kurasakan. Aku juga masih ingat rasa bahagia ketika namaku tertera pada pengumuman lulus yang terpampang di koran. Betapa waktu itu teman-teman dekat langsung memberi ucapan selamat karena mereka bahkan tak menemukan namanya di daftar calon mahasiswa UNSRI itu.

Dan aku pun masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya kecewa karena Allah ternyata merencanakan lain. Papa mengaku tak punya biaya untuk menguliahkanku di sana. Ia belum mempersiapkan uang pangkal yang harus dibayar ketika daftar ulang. Memang, keadaan ekonomi keluargaku saat itu sedang hancur-hancurnya.

Untuk mengobati luka, Papa mendaftarkanku di Lembaga Pendidikan Profesional Komputer (LPP) Master Komputer Palembang. Ia yang memilihkan jurusan, jam belajar, dan semua yang menunjang pendidikanku di sana. Aku menurut saja, pasrah. Tak lagi berani berharap lebih.

Setengah tahun di sana, akhirnya pekerjaan datang. Aku ditawari mengisi kursi resepsionis sekaligus kasir di sebuah perusahaan jasa laundry bergengsi di Palembang. Sang pemilik tercatat sebagai pengusaha sekaligus tokoh politik terkemuka, sehingga pelanggan yang harus kuhadapi juga adalah orang-orang wah. Istana Gubernur, Kapolda, dan beberapa kepala daerah adalah pelanggan tetapnya.

Setelah tiga bulan, pekerjaan itu akhirnya kutinggalkan. Karena terlalu pontang-panting akibat berkurangnya karyawan, aku jadi tak bisa membagi waktu untuk menjaga kesehatan. Berat badanku turun drastis. Orangtuaku miris. Atas persetujuan mereka, aku mengajukan pengunduran diri.

Kulanjutkan pendidikan komputerku yang tinggal satu semester. Hingga kemudian lulus dengan nilai yang cukup membanggakan. Tapi entah mengapa belum juga ada keinginan untuk kembali bekerja. Padahal ekonomi keluargaku saat itu makin memburuk saja.

Kelulusan
Setengah tahun menganggur, akhirnya aku menerima tawaran tetangga menjaga toko seragam sekolah di pasar tradisional dekat rumah. Memang aku terkesan pasrah. Bahkan orang-orang pasar heran mengapa aku mau-mau saja menjadi bagian dari mereka, orang yang selalu dipandang setengah mata. Aku sendiri tak begitu tahu alasannya. Mungkin karena aku sudah tak berani lagi bermimpi.

Toko yang khusus menjual perlengkapan sekolah itu dihuni oleh empat orang perempuan, termasuk aku. Gaji yang kuperoleh memang jauh dari cukup, tapi setidaknya ada pemasukan bulanan. Kerjaku di sana hanya menunggui dagangan, melayani calon pembeli yang datang, dan jika jarum jam mengarah ke pukul empat sore, aku berbenah kemudian pulang.

Tapi lambat laun akhirnya aku merasa ada yang salah. Di toko inikah masa depanku? Bagaimana dengan nilai-nilai yang dulu kuperjuangkan? Bagaimana dengan ilmu yang ingin terus dan terus kukembangkan?

Pertanyaan demi pertanyaan bergumul di otakku. Yang membuatku berpikir, hingga membulatkan tekadku. Suatu saat aku akan kembali memeluk buku. Aku akan kembali mendalami pelajaran komputerku. Juga akan kembali bersaing demi membanggakan kedua orangtuaku.

Hingga dua tahun kemudian aku pamit mundur dari toko baju yang nyaman itu. Kudaftarkan diri di STISIPOL Candradimuka karena kutahu biayanya tak akan membuat Papa susah. Hari sabtu mendaftar, senin langsung kuliah. Aku tak ikut OPDIK karena memang kuliah telah dimulai satu minggu. Aku terlambat karena memang keinginan kuliah muncul terlalu tiba-tiba.

Masih kuingat senin itu aku datang diantar Papa. Sebagai mahasiswa baru, kutangkap rasa penasaran di mata mahasiswa lain yang kutahu kemudian bahwa mereka teman sekelasku. Gilang, salah satu teman di Master Komputer, kuajak bersamaku. Bukan untuk mengantar, tapi untuk mendaftar. Karena ketika suatu lebaran kami berkumpul, ia ternyata memiliki keinginan yang sama. Kuliah dengan biaya yang murah.

Kelas pagi itu sedang menerima kuliah dari Pak Syafarman saat aku dan Gilang masuk. Pandangan seisi kelas tertuju pada kami. Aku akhirnya tahu bagaimana rasanya menjadi anak baru, hal yang dulu sering kuimpikan karena kupikir pasti keren sekali. Ican Satrio, dia orang pertama yang mengajak kami bicara. Mengajari cara menulis absen, memberi copy jadwal kuliah, serta meminjamkan catatan. Untuk Gilang, ia bahkan meminjamkan pena dan buku tulis.

Beberapa saat, aku mengamati karakter teman sekelas satu per satu. Meskipun pandangan pertama bisa saja menipu.

Yang waktu itu cukup menonjol adalah Suryadi. Sang ketua kelas ini gethol menawari seisi kelas untuk masuk ke jaringan MLM-nya. Tapi entah karena alasan apa, semester dua ia Stop Out. Lalu Mami. Awalnya kunilai jilbaber yang membawa-bawa komik ini tukang cari perhatian. Ia terlalu sering bertanya atau berkomentar yang menurutku tidak begitu penting untuk diutarakan. Kemudian perhatianku tersita pada Siska yang menyuruh Any pindah ke sana kemari, membawa ini itu dan bla bla bla. Tukang perintah yang nyenyes, begitu kesan pertamaku untuknya. Sedangkan pada Any, aku merasa iba karena ia menurut saja. Hehe.

Ada Gema yang celingak-celinguk sambil tebar pesona dengan Bambang di sampingnya. Mereka bagai dua sejoli. Kemudian Fikri dengan motornya yang meraung-raung. Ia orang pertama yang mentraktirku teh poci, membelikan tekwan Subhanallah, dan mengantar jemputku ke kampus. Tiap hari. Hingga pada hari ke tiga aku menolak kebaikannya. Aku tak bisa jika ke kampus hanya untuk kuliah lalu pulang. SD-SMP-SMA-MASTER aku terbiasa aktif. Menggerombol dengan teman atau pun berorganisasi.

Master Computer Club
Dari Fikri aku tahu ada tiga organisasi yang bisa kupilih. BEM, MAPALA, dan KOMASIP. Untuk yang pertama aku memang tidak berminat. Di SMP N 9 dulu aku menjadi anggota OSIS, di SMA juga tercatat sebagai anggota MPK, itu saja kurasa cukup. Meski senang berorganisasi, di sini aku ingin jadi warga biasa saja. Untuk MAPALA, sebenarnya aku berminat, tapi saat kuutarakan keinginanku mengikuti DIKSAR, Yuk Opi melarang. “Cukup WWB lah,” katanya. Aku menurut. Pilihan terakhir adalah KOMASIP. Mendengar penuturan Fikri, aku tertarik. Kuputuskan untuk bergabung.
Anggota KOMASIP angkatanku

Seiring berlajannya waktu, aku menjadi akrab dengan Mami, Siska, dan Any. Apa-apa berempat. Begitu pun ketika mendaftar KOMASIP. Sayangnya, Mami tak mendapat izin menginap di malam pengukuhan anggota. Maka, Mami mengurungkan keinginannya. Hal itu kini patut ia syukuri setelah banyak hal yang akhirnya melukai hati kami bertiga ketika berada di organisasi itu.

KOMPAG memang kompak. Harus kuakui, kelasku cukup manis untuk dikenang. Kerja kelompok di rumah Fikri, mancing di rumahku, hangout dari KI sampai Bombaru, mampir di Simpang Dogan, Futsal, Band, dan seabrek kekompakan lainnya kadang membuatku kangen. Inilah salah satu alasan yang membuatku mengulur-ulur waktu untuk menyelesaikan kuliahku dengan cepat, lebih cepat satu semester dari mereka.
Narsis Pas Jam Kosong
Narsis Setelah Paduan Suara
Sonic Futsal, nungguin anak cowok main


Kalau dulu aku merasa malu mengenakan almamaterku, sehingga kusembunyikan aktivitas kuliah agar tak ada teman SMA yang tahu bahwa aku terdampar sendirian di STISIPOL Candradimuka. Kini berangsur-angsur aku mulai bersyukur. Jika tadinya aku tak pernah menuliskan intitusi-ku, kini dengan bangganya kucantumkan STISIPOL Candradimuka di setiap buku yang di dalamnya memuat karyaku.

Keep Fighting!
“Masuk sekolah unggul itu hebat, tapi lebih hebat lagi membuat sekolah tidak unggul menjadi unggul.” Selarik motivasi teman literasi maya, Fitri Rosadela inilah yang kini tengah kuperjuangkan. Tekadku, sebelum wisuda harus ada sesuatu yang bisa kupersembahkan untuk almamaterku, STISIPOL Candradimuka. Semoga.

0 comments on "Kilas Balik"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal