Tuesday 16 July 2013

Notes Proses Kreatif Menulis

2 comments
Huaaah... sudah lama gak corat-coret blog. Bingung mau nulis apa. Kalo online juga paling-paling buka email bentar, buka blog liat statistik, ngintipin twitter penerbit, terus promo novel Cinta Harus Memiliki di facebook. Bawaannya malesss... Ya, mungkin karna masih belum terbiasa sama pola puasa. Tiap hari perut kondisinya labil. Banyak gerak dikit, langsung eneg. Padahal target pas puasa ini banyak banget.

Nah, itung-itung mancing keinginan nulis, jadinya aku paksain posting sesuatu di sini. Aku mau kasih liat notes kreatif punyaku. Hmm... ini semacam diary menulisku gitu. Dari dulu aku memang hobi bikin catatan harian. Jadi, waktu awal tahun lalu  liat Mbak Ayu Utami nerbitin notes kreatif ini, aku langsung beli.



Notes Kreatif Ayu Utami
Notes Kreatifku :)
Ada tips menulis bergambar dari  Mbak Ayu

Di halaman awal dan akhir notes ini ada tips menulis dari Mbak Ayu Utami, pake ilustrasi lucu pula. Jadi gampang ngerti dan gak bosenin. Nah, halaman selebihnya kosong. Jadi, kupake buat corat-coret.

Sejak beli, notes ini selalu kubawa-bawa. Isinya full tentang proses nulis. Mulai dari inspirasi yang kadang muncul tiba-tiba, plot yang kususun setelah ada waktu, tanggalan yang bisa kutulisi, bahan tulisan, info penerbit, sampai daftar naskah. Dengan cara ini rasanya lebih terorganisir. Aku juga gak perlu online dulu kalo mau intip persyaratan penerbit A B atau C. Kan kalo online suka kebablasan. Hehe...

Email naskah di ACC biar semangat terus nulisnya :)

Info kirim naskah biar gak online kalo lagi serius :P

Tanggalan dan corat-coret plot

Tanggalan ini mulai dari start nulis sampe acc

Cara ini efektif juga loh buat nampung ide. Jadi, kalo si ide muncul di waktu dan tempat yang gak tepat, langsung kukurung di notes ini biar gak kabur. Soalnya aku pernah baca status penerbit (lupa penerbit mana) katanya, ide itu akan menguap dan hilang saat kita menunda untuk menuliskannya.

Jadi, boleh lah kalo kamu mau coba bikin corat-coret gini juga :D

Saturday 6 July 2013

Novel Cinta Harus Memiliki ~ Coming Soon

6 comments
Ya, Allah... Alhamdulillah banget... Rasanya surprise waktu tadi liat ini. Dag-dig-dug-serr... Akhirnya setelah satu... dua... tiga... hmm... empat bulan menunggu, Cinta Harus Memiliki sekarang tinggal antri di percetakannya, terus... beredar deh di seluruh toko buku Nasional. Yeyy... Makasih Medpress.Fiksi.... Makasih Mas GRS.... Di tanganmu kok kayaknya novel ini jadi kereeen kece badai, ya. Sampe serr serr gimana gitu waktu baca blurb-nya. :D

Penulis: Annisa Ramadona
Penyunting: Gari Rakai Sambu
Penerbit: Media Pressindo
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 164 halaman
ISBN: 978-979-911-329-0

“Kalo kamu gak bisa memilikinya, kurangilah cintamu, Ray. Berjuanglah untuk mencintai apa yang kamu miliki…”

                                                        ***

Tadinya kau bagiku adalah udara, ada namun tak terlihat. Tak sedikit pun ulahmu yang aneh itu menarik perhatianku. Termasuk ketika dengan bodohnya diam-diam kau gores nama kita di Pohon Cinta. Sejak saat itu takdir seperti mencatat kau dan aku dalam sebuah kutukan indah bernama cinta.

Lama-kelamaan, kau kian menjelma serupa udara yang sebenar-benarnya. Tanpa menghirup kesejukanmu, aku tak akan bertahan hidup walau sedetik saja. Tanpa kamu, aku hanyalah kulit dan tulang tak bernyawa.

Sebagian orang ditakdirkan untuk memiliki apa yang dia cintai. Tapi sebagian lainnya ditakdirkan untuk mencintai apa yang ia miliki. Harus kuakui, memiliki cintamu adalah kutukan terindah yang teramat berarti di hidupku.

Friday 5 July 2013

Bayang Bayang Haram

0 comments
Bukit Siguntang, gambar dari sini
Kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak yang dipenuhi daun-daun kering. Siguntang tak begitu ramai hari ini. Hanya ada beberapa muda-mudi yang tengah bercengkrama di beberapa titik rindang. Ada yang bersama kekasih, ada pula yang menggerombol bersama teman-temannya.

Kujinjing gitar dengan langkah hati-hati, memilih target yang akan kuhibur dengan petikan gitar diiringi suara sumbang Roni. Ya, aku tak pernah sendirian sejak bertemu anak itu lima bulan yang lalu. Di mana alunan gitarku, di situ juga pasti terdengar suaranya, mengalun pilu.

Roni memang tak seharusnya berada di sini. Ia tak punya bakat untuk menggembel sepertiku. Tubuhnya tinggi semampai. Rambut, wajah, dan gigi-giginya bersih. Waktu pertama kali kami bertemu, pakaian yang ia kenakan juga masih terlihat rapi. Saat kupetik gitar menghiburnya, Roni malah menangis menjadi-jadi. Butuh waktu lama hingga akhirnya ia bercerita.

“Aku tak tahu apakah ini keputusan yang benar. Aku hanya berharap bisa hidup dengan benar. Dengan orang yang benar,” ucapnya mengakhiri kata.

Entah malaikat apa yang merasukiku. Aku begitu tersentuh pada penuturan anak tiga belas tahun itu. Ketika ia memohon ikut mengadu nasib bersamaku, aku pun tak kuasa untuk tidak setuju.

“Aku mungkin tak sepenuhnya benar, Roni. Tapi kau bisa pegang janjiku. Aku takkan mengajarimu mencuri, juga takkan pernah memaksamu menjual diri,” janjiku padanya, membuat senyum merekah untuk pertama dan terakhir kalinya.

Ternyata berbuat baik tak semudah mengucapkannya. Malaikat dan setan buru-buru bertukar tempat ketika aku dan Roni mulai saling menggantungkan diri. Kedekatan emosional mungkin diawali oleh kesamaan nasib kami berdua.

Aku dan Roni sama-sama kabur dari rumah, melarikan diri dari orang-orang yang telah membesarkan kami dengan pamrih. Tak ada yang gratis. Dirawat oleh orang yang tak sedarah membuat kami harus membayar budi dengan pergolakan hebat di dalam hati. Jika Roni dipaksa mencuri dan menjual diri, aku dipaksa menggadaikan keyakinan dengan menggantungkan nasib pada ilmu hitam, pada praktek perdukunan.

***

“Ini bulu perindu untuk orang-orang yang ingin terus disayang,” kudengar Mak Nin tengah bercengkrama dengan pelanggannya. Aroma kemenyan, dupa, dan bunga tujuh rupa membuat dadaku sesak, entah mengapa.

“Ambilkan air dan garam!” Mak Nin memaksaku bergerak walaupun ogah-ogahan.

“Air ini dicampur tiap kali suamimu minum, sedangkan di sekeliling rumah, tabur garam ini sebelum fajar menyingsing,” jelasnya seraya menyerahkan sebotol air dan sebungkus garam yang ia serobot dari tanganku.

“Jangan lupa Jumat depan kembali lagi ke sini. Bawa mahar yang sudah Mak sebutkan tadi.” Kalimat pamungkas ini tak henti-hentinya membuat hatiku makin menggerutu.

“Mak tahu kau tak suka. Tapi inilah cara Mak membesarkanmu! Cuma ini cara agar kau bisa makan, bisa punya tempat tinggal dan pakaian!” Mak mencak-mencak saat tamunya telah pamit pulang. Sebagai ganjaran atas hatiku yang sejak tadi menggerutu, ia tak henti mengomel sambil tetap mengayunkan rotan, mendaratkan benda itu di telapak tanganku. Berkali-kali. Makin kencang meskipun aku telah sesenggukan.

“Malam ini jangan keluar kamar. Mak ada tamu!” Akhirnya Mak melemparkan rotannya ke lantai. Tanganku perih bukan main tapi hatiku lebih perih lagi. Aku tak punya pilihan, memang.

Mak Nin dukun beranak yang kini beralih menjadi paranormal gadungan. Ia sering berbohong tentang mahar, mandi kembang, rantai babi, bulu perindu, dan beragam jenis barang mistik lainnya. Ia juga menipu pelanggannya yang haus kekayaan dengan pura-pura melipat gandakan uang. Seperti malam ini.

Aku mengintip praktek Mak Nin dari celah pintu kamarku. Lampu dimatikan sejak tamu itu datang membawa puluhan juta uang. Yang lalu disusun rapi dalam kardus. Menurut Mak Nin, uang itulah yang nanti akan berlipat ganda. Ia mempersilakan tamunya mandi kembang tujuh rupa, kemudian disiapkannya segelas susu yang sudah terlebih dahulu ia seduh dengan obat pencahar.

“Minumlah, ini akan membuatmu lebih kuat. Selama ritual berlangsung, jangan pernah tidur, jangan berteriak, dan jangan buang hajat.” Aku hafal betul kalimat ini.

Malam makin larut ketika Mak Nin mulai komat-kamit. Ia beserta orang kepercayaannya mulai membakar kemenyan dan dupa. Aku mulai merasa sesak. Asap yang kian pekat memenuhi seisi rumah dengan aroma pemakaman. Bulu kudukku berdiri, membuatku tergerak untuk segera menutup pintu kamar. Aku tahu persis apa yang akan terjadi setelah ini.

Kututup telingaku dengan bantal, berharap erangan makhluk jadi-jadian itu tak terdengar. Piring-piring yang mulai pecah bergantian dengan teriakan tertahan dari tamu Mak Nin yang ketakutan. Namun, bisa kutebak puncak ketakutan itu akan berakhir sebentar lagi.

“Stop, Mak!” Suaranya terdengar tak tahan. Lelaki itu cepat-cepat melesat ke WC. Saat itulah Mak Nin dan pesuruhnya beraksi, menukar kardus uang dengan kardus berisi tumpukan koran menyerupai uang. Lampu telah menyala ketika lelaki tadi kudengar kembali melangkah ke ruang ritual. Mak Nin memasang tampang prihatin sekaligus menyesal.

“Kita tadi hampir berhasil kalau saja Adik tidak kebelet buang air dan membatalkan prosesi ritual yang seharusnya suci,” Mak begitu pintar berakting. Lelaki itu percaya begitu saja, ia berjanji akan datang kembali dengan mahar yang lebih banyak. Mak Nin kemudian mengantar sampai pintu keluar. Ia masih memasang wajah pilu sesaat sebelum lelaki itu benar-benar hilang ditelan malam.

Wajah Mak Nin malam itu benar-benar menyulut emosiku. Diam-diam kuambil kardus berisi uang asli milik tamu tadi. Kubawa keluar. Dengan berlagak sebagai Robin Hood, kubagikan saja uang itu pada gelandangan. Aku memutuskan untuk tak pulang. Menggembel bagiku jauh lebih baik daripada mengabdikan diri pada Mak Nin, sekalipun aku berhutang budi. Malam itu adalah malam terindah, malam terbebasnya aku dari pergolakan hati.

Tapi ketika pagi menjelang, aku tersadar bahwa tak ada lagi tempat pulang. Aku harus berebut dengan gembel-gembel lain sekedar untuk mendapatkan makan. Aku bimbang, mendadak bayangan Mak Nin menyusup, membuatku ketakutan. Dan setan begitu cepat menghampiri. Mengajakku berlindung pada Narkoba yang kudapatkan dari preman di kolong jembatan.

***

Roni kerap ikut tersiksa menyaksikan aku terus berhalusinasi di bawah pengaruh obat-obat terlarang. Aku tak bisa lepas dari jerat setan yang selalu membawa Mak Nin dan ritualnya, merasuki hidupku yang kian tak karuan. Tanpa bius Narkoba, aku seakan dikejar-kejar aroma kemenyan.

Pernah dengan sengaja Roni menyembunyikan hasil mengamen kami agar aku tak bisa membeli Putau. Aku mengamuk lantas memukulinya dengan rotan, persis seperti yang dulu Mak Nin lakukan. Pernah pula aku membuat Roni begitu kalut ketika seluruh tubuhku penuh keringat dingin sebesar biji jangung. Mata dan hidungku berair, aku menggeletar, menggigil. Roni berhamburan mencari preman, mengemis barang itu meski sebagai gantinya ia harus ikut mengedarkan.

Ah, Roni. Kau masih terlalu dini untuk mencecap hidup yang begitu keras ini. Jangan pedulikan hidupku lagi. Kehidupanmu jauh lebih berarti. Pergilah, jauhi aku agar setan-setan tak ikut menggerogotimu. Kau masih muda, teman. Masih punya masa depan.

Diam-diam kuambil seutas tali, kugantungkan diri di pohon Mahoni. Aku memutuskan untuk mengakhiri kontrak kehidupan ini. Langit gelap mendung, angin kencang seakan mendukung. Aku menggelepar hebat, terayun-ayun. Sketsa jiwaku terlihat, hingga kemudian lamat-lamat memudar, kelam. Bayang-bayang haram itu menghitam.

***

Monday 1 July 2013

Cici pun Menempuh Hidup Baru

0 comments
Undangan Cici dan Edo
Beneran kaget waktu dapet undangan dari Cici. Gak nyangka banget dia bakal nikah duluan. dulu, jaman SMA (waktu masih sama-sama aktif di WWB) Ci termasuk sohib yang kayaknya belum mau nikah cepet-cepet. Apalagi waktu itu dia punya masalah yang kompleks banget sama mantan pacarnya.

Pisah dari SMA kita sibuk masing-masing. Walau rumah masih satu kelurahan, tapi nyaris gak pernah ketemuan. Pernah ada satu kali sengaja mampir ke warung martabaknya (waktu itu Cici masih kuliah di UNSRI) dan kita sempet ketemu. Pernah juga waktu baru-baru tamat dari Master, Ci gak sengaja mampir ke ABA Garment. Terus ketemuan lagi waktu Ci dateng nikahan Yuk Opi, sekalinya lagi pas ngelayat salah satu senior WWB. Mungkin cuma empat itu yang beneran tatap muka setelah SMA. Selebihnya, cuma sering liat Ci waktu dia jaga warung martabaknya.
Dona & Cici di nikahan Yuk Opi
Nah, sempet heran juga satu tahun terakhir ini dia gak keliatan di warungnya itu. Berhubung nope ganti, akun FB-nya juga nonaktif, maka hilang kontaklah kami. Sempet nyari di google, tapi orang dengan nama Sri Hartati ada buanyak banget. Terus baru-baru kemarin coba nyari di twitter. Rupanya ada (ya, walaupun gak di-follow. Soalnya akun  itu dibuat cuma untuk dunia nulis. Jadi temen di luar dunia itu berhubungannya lewat medsos lain aja) dari situ akhirnya terjawab, Cici sekarang kerja di Cilegon. Aih, jauhnya. Dari foto-foto Ci, dia kayaknya berubah banget pula. Hiks. :'(

Beberapa hari lalu, seorang temen tempat langganan PMSB beli yasin ngasih tau kalo Cici nitip undangan. Langsung aja diambil Bang Dian, terus liatin tanggalnya. Dan resepsinya itu tepat pada 30 Juni 2013. Ah, cepet banget... Bang Dian yang ikut Ziarah Kubro jelas gak bisa nemenin. Akhirnya terpaksa gandengan sama Mama.
Dona dan Mama :)
Kami dateng kepagian, pas hujan turun dan Mamang angkotnya dengan baik hati nurunin di depan Gedung Wanita Sriwijaya Rajawali, jadi gak kebasahan. Sempet disangka panitia juga lantaran baru segelintir orang yang dateng. Mungkin juga karena pake baju ungu, persis konsep pernikahannya Cici. Tapi heran, rasanya dari dulu Ci sukanya warna pink.

Gak ketemu satu pun anak SMA N 6 Palembang. Yang ada malah dosen STISIPOL Candradimuka yang ternyata bosnya si mempelai pria di PT. PUSRI. Selain itu gak liat. Mungkin mereka datengnya belakangan.

Berhubung jarang dateng ke acara nikahan, jadi antusias banget sama rangkaian acaranya. Mulai dari tari-tarian, sambutan, sampe proyektor yang nampilin video akad nikah jumat kemarin juga diliatin. Maksudnya buat belajar gitu. Nanya-nanya juga sama Mama kalo kami nanti gitu gak. Hehe.

Terus setelah makan, langsung salaman sama pengantinnya. Cici cantik banget. Beneran suer! Gak nyangka kalo Ci yang dulu sedikit nomboy itu bisa jadi 'perempuan' pol.
Cici dan Edo
Ah, jadi kangen jaman dulu. Jadi inget-inget masa kami masih lengket karena WWB. Masih inget gimana kami selalu jadi bahan ledekan gegara gak pernah naik gunung, susah ijin kegiatan luar, bolos bareng, jalan-jalan ke Sungai Gerong, naik bis ke Bina Darma demi menyemangati anggota WWB yang ikut kejuaraan panjat dinding. Kami yang jarang keluar juga suka banget nyasar.

Pernah ada satu kali kami pulang kemaleman. Cici takut banget dimarahin orang rumahnya. Terus Ci nelpon. Ternyata setelah sampe di kamarnya, dia gak keluar lagi padahal belum makan seharian. Ci waktu itu bilang laper banget, perutnya ditusuk-tusuk. Sayangnya, gak ada yang bisa dilakuin selain dengerin rintihannya lewat telpon yang juga sama sembunyi-sembunyian dari orang rumah. Hiks.

Terus waktu ulang tahun, Ci yang gak bisa keluar malem, mendanai Kak Raden dan Feb buat kasih kejuatan tepat di pukul 00 WIB. Terus, Ci yang memang sudah ngatur rencana itu, cuma bisa ngucapin lewat telpon.

Masih banyak lagi suka-duka sama Cici. Pokoknya semua hal itu bener-bener ngangenin.

Pesan-kesan Cici buat Dona, jaman binder dulu :D
Tapi, namanya juga hidup. Waktu kan terus berputar. Sekarang memang sudah saatnya Ci pun menempuh hidup baru. Cuma bisa doa semoga Ci dan Edo jadi keluarga Samara. Doain nyusul akhir tahun nanti, ya :)

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal