Juni 2015 hampir berakhir, itu artinya sudah 1 tahun gak isi blog. Sejak hamil besar sampai melahirkan dan kini merawat baby, waktu untuk nulis nyaris gak ada lagi. Kadang, kangen banget pengen ketak-ketik, tapi berhubung sudah terlalu lama nganggurin otak, jadinya sering mentok dan keburu Rizieq bangun.
Hmm, saya mulai cerita dari mana, ya? Panjang bener kalo diceritain semua di sini. :D Mungkin dari hari H-nya Dedek aja :)
HPL bidan tanggal 18 Agustus, sedangkan HPL dokter 20 Agustus. Tanggal 10 Agustus karena ada nikahan anaknya Opa Bang Dian, saya dan keluarga kondangan di masjid Taqwa Kambang Iwak. Pulangnya saya dan Mama pisah karena keluarga Bang Dian mau mampir ke toko sebelum balik mudik. Setelah menjamu mereka seadanya, saya dan Bang Dian pamit. Sesuai janji, saya diajak ke PS buat refreshing biar gak tegang menanti hari kelahiran. Kami ke Gramedia buat ngecek stok novel-novel saya, lalu keliling sebentar dan kemudian memutuskan untuk main di Amazone. Walau dengan perut dan badan yang udah besar banget, jalan pun tertatih-tatih, tapi saya dan Debay sangat menikmati. Baru pulangnya, setelah di kasur baru kerasa pegal-pegalnya. Sembari dipijit Bang Dian, saya masih sempat browsing lewat hp tentang tanda-tanda kontraksi.
Besoknya, 11 Agustus jam 7 pagi muncul flek. Saya langsung lapor ke mama dan Bang Dian yang kebetulan belum pergi kerja. Rupanya itu tanda cinta dari Debay. Mama langsung minta Bang Dian cek ke klinik tempat saya biasa kontrol. Karena kliniknya buka dan saya masih kelihatan segar, mama menyarankan Bang Dian untuk pergi mengurus kerjaannya dulu, sambil standby menunggu kabar. Saya masih sempat beres-beres kamar, makan, dan ketawa-ketiwi sampai akhirnya jam 10 kontraksi itu mulai terasa. Mama membawa saya ke klinik dengan becak. Di sana, perawat mengecek pembukaan (sumpah, yang ini gak enak banget) ternyata baru bukaan 1. Perawatnya menyarankan untuk balik ke rumah karena perkiraan sekitar jam 9 malam nanti baru bukaan penuh. Agar rileks dan bukaan bertambah, mama mengajak saya jala-jalan makan bakso. Sayang, saya sudah kehilangan selera karena Debay makin sering nonjok-nonjok di bawah sana. Saya dan mama akhirnya pulang ke rumah.
Di rumah, ternyata kontraksi makin jadi, karena takut saya kesakitan dan gak kuat jalan kalo udah di ujung, akhirnya jam 1 mama membawa saya balik ke klinik. Di sana, saya menunggu sambil baring menahan sakitnya kontraksi. Perawat dan dokter menyarankan saya jalan-jalan atau banyak jongkok agar makin cepat bukaan, tapi saya terlalu lemas untuk bangun dari ranjang. Jadi, saya diminta berbaring menghadap ke kiri saja. Dan sakitnya pun makin hebat. Beberapa kali perawat datang mengecek bukaan. Sampai isya baru bukaan 5 padahal kontraksi sudah bertubi-tubi. Saya sampai gak tahan untuk gak mengejan karena dorongan dari Debay makin kuat. Akhirnya, jam 9 kurang dokter baru ngajak ke ruang tindakan. Ada mama di samping kiri, Bang Dian di samping kanan. Dedek sempat tertahan di pintu lahir karena ketika mengejan, saya kehabisan nafas. Baru yang ketiga kalinya, ketika mama dan dokter bilang jangan stop, saya paksain sampai nafas saya nyaris habis dan lalu terasa kepala Dedek lewat disusul badannya. Tangisannya juga langsung terdengar, bikin Mamak dan Baknya nangis juga saking bahagianya. Saya pikir, semua telah selesai. Tapi ternyata masih ada ari-ari yang katanya lengket, jadi harus dikeluarkan dengan bantuan dokter, terus juga karena ada sobekan, saya mesti menjalani proses jahit-menjahit yang bikin dag-dig-dug.
Sayangnya, karena proses jahit itu, saya jadi gak IMD. Rizieq langsung dikasih sufor pake dot oleh perawatnya. Saya yang gak begitu ngerti, manut aja. Apalagi ASI saya memang belum keluar. Ternyata bagian ini sangat penting. Dan ketika saya sadar, Rizieq keburu bingung puting.
Di rumah, karena terhalang jahitan gerak-gerik saya terbatas. Mama dan Yuk Opi yang mengurus semua keperluan saya dan Rizieq. Saya minum pil pelancar ASI dan obat dari dokter untuk luka jahitan saya. Hari ke-4 barulah ASI saya keluar setelah sebelumnya demam tinggi. Saya pikir masalah selesai, ternyata gak. Karena Rizieq terbiasa ngedot, jadilah Rizieq makin enggan menyusu langsung. Saya demam berkali-kali. Sampai saya terserang sindrom Baby Blues. Saya merasa jauuuuh dari bayi saya sendiri. Saya gak mau menyerah. Saya dan Rizieq terus belajar. Tapi tetap gagal. Meski sudah menyambung puting pun, Rizieq masih gak mau. Saya browsing (masih dengan hp) pengalaman ibu-ibu lainnya. Dan solusinya adalah dengan memompa ASI.
Alhamdulillah, Rizieq mau minum ASI yang saya pompa. Meski sejak itu, tiap 2 jam sekali saya harus siap memompa ASI. Demi Rizieq, dan demi saya juga. Soalnya, lewat sedikit saja jamnya, saya langsung demam sementara Rizieq sudah mulai gak suka susu formula. Jadilah saya kejar-kejaran sama jam menyusu Rizieq. Syukurnya, Rizieq tumbuh subur... jadi merasa gak sia-sia.
Sampai sekarang, saya masih memompa karena meski sering dicoba, Rizieq masih gak mau juga menyusu langsung. Dari jadwal memompa 2 jam sekali, kemudian berubah lagi karena pola Rizieq pun sudah berubah. Menyusunya makin banyak dengan jeda 3-4 jam sekali. Sayangnya, makin ke sini saya mulai susah mematuhi jadwal memompa karena aktivitas di percetakan dan perkembangan Rizieq yang mulai aktif. Sampai umurnya 10 bulan sekarang saya hanya bisa memompa 2-3 kali sehari.
Umur 3 bulan Rizieq sudah bisa tengkurap, 4 bulan mulai belajar merangkak. 6 bulan belajar duduk, 7 bulan mulai duduk dan di usia 8 bulan duduk tegap yang disusul dengan belajar berdiri sambil merayapi meja, pinggiran lemari, dan benda-benda setingginya.
Sungguh, melihat Rizieq berkembang dari hari kehari membuat saya merasa beruntung bisa menjadi ibu. Memang, untuk itu ada hal-hal yang harus saya relakan. Tapi bukankah hidup memang harus memilih? Dan saya senang dengan apa yang saya jalani sekarang. Ya, karena jadi ibu itu... istimewa.
Sungguh, melihat Rizieq berkembang dari hari kehari membuat saya merasa beruntung bisa menjadi ibu. Memang, untuk itu ada hal-hal yang harus saya relakan. Tapi bukankah hidup memang harus memilih? Dan saya senang dengan apa yang saya jalani sekarang. Ya, karena jadi ibu itu... istimewa.