Thursday 25 June 2015

Jadi Ibu Itu... Istimewa!

2 comments
Juni 2015 hampir berakhir, itu artinya sudah 1 tahun gak isi blog. Sejak hamil besar sampai melahirkan dan kini merawat baby, waktu untuk nulis nyaris gak ada lagi. Kadang, kangen banget pengen ketak-ketik, tapi berhubung sudah terlalu lama nganggurin otak, jadinya sering mentok dan keburu Rizieq bangun.

Hmm, saya mulai cerita dari mana, ya? Panjang bener kalo diceritain semua di sini. :D Mungkin dari hari H-nya Dedek aja :)

HPL bidan tanggal 18 Agustus, sedangkan HPL dokter 20 Agustus. Tanggal 10 Agustus karena ada nikahan anaknya Opa Bang Dian, saya dan keluarga kondangan di masjid Taqwa Kambang Iwak. Pulangnya saya dan Mama pisah karena keluarga Bang Dian mau mampir ke toko sebelum balik mudik. Setelah menjamu mereka seadanya, saya dan Bang Dian pamit. Sesuai janji, saya diajak ke PS buat refreshing biar gak tegang menanti hari kelahiran. Kami ke Gramedia buat ngecek stok novel-novel saya, lalu keliling sebentar dan kemudian memutuskan untuk main di Amazone. Walau dengan perut dan badan yang udah besar banget, jalan pun tertatih-tatih, tapi saya dan Debay sangat menikmati. Baru pulangnya, setelah di kasur baru kerasa pegal-pegalnya. Sembari dipijit Bang Dian, saya masih sempat browsing lewat hp tentang tanda-tanda kontraksi.

Besoknya, 11 Agustus jam 7 pagi muncul flek. Saya langsung lapor ke mama dan Bang Dian yang kebetulan belum pergi kerja. Rupanya itu tanda cinta dari Debay. Mama langsung minta Bang Dian cek ke klinik tempat saya biasa kontrol. Karena kliniknya buka dan saya masih kelihatan segar, mama menyarankan Bang Dian untuk pergi mengurus kerjaannya dulu, sambil standby menunggu kabar. Saya masih sempat beres-beres kamar, makan, dan ketawa-ketiwi sampai akhirnya jam 10 kontraksi itu mulai terasa. Mama membawa saya ke klinik dengan becak. Di sana, perawat mengecek pembukaan (sumpah, yang ini gak enak banget) ternyata baru bukaan 1. Perawatnya menyarankan untuk balik ke rumah karena perkiraan sekitar jam 9 malam nanti baru bukaan penuh. Agar rileks dan bukaan bertambah, mama mengajak saya jala-jalan makan bakso. Sayang, saya sudah kehilangan selera karena Debay makin sering nonjok-nonjok di bawah sana. Saya dan mama akhirnya pulang ke rumah.

Di rumah, ternyata kontraksi makin jadi, karena takut saya kesakitan dan gak kuat jalan kalo udah di ujung, akhirnya jam 1 mama membawa saya balik ke klinik. Di sana, saya menunggu sambil baring menahan sakitnya kontraksi. Perawat dan dokter menyarankan saya jalan-jalan atau banyak jongkok agar makin cepat bukaan, tapi saya terlalu lemas untuk bangun dari ranjang. Jadi, saya diminta berbaring menghadap ke kiri saja. Dan sakitnya pun makin hebat. Beberapa kali perawat datang mengecek bukaan. Sampai isya baru bukaan 5 padahal kontraksi sudah bertubi-tubi. Saya sampai gak tahan untuk gak mengejan karena dorongan dari Debay makin kuat. Akhirnya, jam 9 kurang dokter baru ngajak ke ruang tindakan. Ada mama di samping kiri, Bang Dian di samping kanan. Dedek sempat tertahan di pintu lahir karena ketika mengejan, saya kehabisan nafas. Baru yang ketiga kalinya, ketika mama dan dokter bilang jangan stop, saya paksain sampai nafas saya nyaris habis dan lalu terasa kepala Dedek lewat disusul badannya. Tangisannya juga langsung terdengar, bikin Mamak dan Baknya nangis juga saking bahagianya. Saya pikir, semua telah selesai. Tapi ternyata masih ada ari-ari yang katanya lengket, jadi harus dikeluarkan dengan bantuan dokter, terus juga karena ada sobekan, saya mesti menjalani proses jahit-menjahit yang bikin dag-dig-dug.

Sayangnya, karena proses jahit itu, saya jadi gak IMD. Rizieq langsung dikasih sufor pake dot oleh perawatnya. Saya yang gak begitu ngerti, manut aja. Apalagi ASI saya memang belum keluar. Ternyata bagian ini sangat penting. Dan ketika saya sadar, Rizieq keburu bingung puting.

Di rumah, karena terhalang jahitan gerak-gerik saya terbatas. Mama dan Yuk Opi yang mengurus semua keperluan saya dan Rizieq. Saya minum pil pelancar ASI dan obat dari dokter untuk luka jahitan saya. Hari ke-4 barulah ASI saya keluar setelah sebelumnya demam tinggi. Saya pikir masalah selesai, ternyata gak. Karena Rizieq terbiasa ngedot, jadilah Rizieq makin enggan menyusu langsung. Saya demam berkali-kali. Sampai saya terserang sindrom Baby Blues. Saya merasa jauuuuh dari bayi saya sendiri. Saya gak mau menyerah. Saya dan Rizieq terus belajar. Tapi tetap gagal. Meski sudah menyambung puting pun, Rizieq masih gak mau. Saya browsing (masih dengan hp) pengalaman ibu-ibu lainnya. Dan solusinya adalah dengan memompa ASI.

Alhamdulillah, Rizieq mau minum ASI yang saya pompa. Meski sejak itu, tiap 2 jam sekali saya harus siap memompa ASI. Demi Rizieq, dan demi saya juga. Soalnya, lewat sedikit saja jamnya, saya langsung demam sementara Rizieq sudah mulai gak suka susu formula. Jadilah saya kejar-kejaran sama jam menyusu Rizieq. Syukurnya, Rizieq tumbuh subur... jadi merasa gak sia-sia.


Sampai sekarang, saya masih memompa karena meski sering dicoba, Rizieq masih gak mau juga menyusu langsung. Dari jadwal memompa 2 jam sekali, kemudian berubah lagi karena pola Rizieq pun sudah berubah. Menyusunya makin banyak dengan jeda 3-4 jam sekali. Sayangnya, makin ke sini saya mulai susah mematuhi jadwal memompa karena aktivitas di percetakan dan perkembangan Rizieq yang mulai aktif. Sampai umurnya 10 bulan sekarang saya hanya bisa memompa 2-3 kali sehari.

Umur 3 bulan Rizieq sudah bisa tengkurap, 4 bulan mulai belajar merangkak. 6 bulan belajar duduk, 7 bulan mulai duduk dan di usia 8 bulan duduk tegap yang disusul dengan belajar berdiri sambil merayapi meja, pinggiran lemari, dan benda-benda setingginya.

Sungguh, melihat Rizieq berkembang dari hari kehari membuat saya merasa beruntung bisa menjadi ibu. Memang, untuk itu ada hal-hal yang harus saya relakan. Tapi bukankah hidup memang harus memilih? Dan saya senang dengan apa yang saya jalani sekarang. Ya, karena jadi ibu itu... istimewa.


Monday 30 June 2014

Bab 3 Novel Nobody's Perfect

1 comments
Nobody's Perfect (Gramedia Lippo Karawachi)
Yang punya foto: Glenn Alexei ^^
Ketika mantan siswa lain berkutat dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi, Nindy dan Momo justru sibuk dengan program penggendutan badan. Awalnya Momo menolak mentah-mentah ketika Nindy meminta bantuannya untuk menggendutkan badan. Momo yakin Nindy sudah tidak normal. Mana ada gadis proporsional yang ingin menjadi gendut dan jelek? Tapi melihat perjuangan keras Nindy, akhirnya Momo tak tega. Ia tahu, Nindy sedang tidak main-main.

“Kamu udah pikirin sms terakhirku, Nin?”

“Bukan cuma sms terakhir kamu, Mo. Semua yang kamu ucapin mulai dari kita di pohon jambu juga udah kupikirin mateng-mateng. Aku yakin, keputusanku ini tepat.”

“Tapi kamu gak boleh nyesel.”

“Tentu.”

“Oke. Kalo gitu aku bersedia bantuin kamu. Dengan syarat…” Momo menatap Nindy sejenak.

“Kamu yang tanggung semua biayanya, Nin.”

“Berapa?”

“Berapa pun yang nantinya kita keluarin. Bukan apa-apa. Menjadi gendut itu artinya juga menambah pengeluaranmu karena yang kamu butuhin bertambah. Misalnya porsi makanmu jadi dobel, ukuran pakaian juga dobel. Dan itu butuh duit yang dobel juga. Lebih baik kita fair aja. Kalo aku ikut program kamu, otomatis aku bakal ngeluarin duit juga. Nah, aku kan bukan orang kaya, Nin. Jadi kuharap kamu bisa maklum.”

Nindy mengangguk-angguk mendengar kicauan Momo. Ia menarik dua sudut bibirnya keatas. Lalu dengan penuh semangat, Nindy membuka suara.

“Oke. Semuanya aku yang tanggung. Sejak kapan sih duit jadi masalah?” Nindy mengerlingkan matanya. Momo ikut tersenyum senang.

***

“Kita mulai dari sini.”

Momo mengambil secarik kertas dan spidol di atas meja belajar Nindy. Tangannya yang besar dengan pelan menyoreti kertas putih itu dengan garis-garis yang membentuk tabel.

“Yang pertama kali kamu lakukan adalah pasang target.”

Nindy hanya memperhatikan. Ia memasang telinga agar penjelasan Momo dapat ia terima dengan jelas.

“Target itu penting. Karena dengan itu kamu belajar konsisten untuk program penambahan berat badanmu ini. Mulai hari ini kamu catat perkembangan berat badanmu tiap minggunya. Tentukan juga targetmu sampai mana. Kamu ingin beratmu nambah berapa kilo dalam jangka waktu berapa minggu. Target itulah yang harus kamu capai.”

Sejauh ini Nindy masih bisa mencerna maksud Momo. Ia mengambil spidol dari tangan Momo, kemudian mulai menuliskan berat badannya sekarang di tabel minggu pertama.

“Berat badanmu berapa, Mo?”

“Delapan puluh.” Nindy mengangguk, lalu menuliskan angka delapan puluh pada tabel terakhir.

“Serius kamu mau jadi segendut aku?” Momo masih sangsi. Dengan mantap, Nindy mengangguk.

“Serius, Mo. Ini pertama kalinya aku merasa amat-sangat-serius-sekali.” Nindy menekankan dengan pemborosan kata yang memang ia sengaja.

Momo mengangkat alis, kemudian berinisiatif untuk mengambil selotip dan menempelkan tabel target itu di dinding meja belajar Nindy.

“Selanjutnya apa, Mo?”

“Ambil duit… kita keluar!”

***

Nindy menelan ludah saat makanan yang dipesan Momo tiba di hadapan mereka. Nasi Samin dengan Malbi daging, gulai telur, acar timun serta sambal nanas dan kentang goreng di tepian piring tampak menggiurkan bagi Momo. Tapi bagi Nindy yang belum terbiasa dengan porsi besar, semua itu tampak mengerikan. Beberapa kali ia memandangi hidangan yang tersaji di atas meja, lalu memandangi Momo yang telah bersiap untuk makan.

“Selain pasang target, yang lebih penting lagi itu pasang niat mantap-mantap!” Momo melirik ke arah Nindy yang belum juga menyentuh makanan lezat itu.

“Percuma aja kamu pasang target kalo belum apa-apa niat kamu udah kendor cuma karena makanan-makanan ini.” Kalimat Momo langsung menusuk telinga Nindy.

“Untuk menambah berat badan, kamu harus banyak-banyak mengonsumsi karbohidrat, makanan berprotein, dan makanan yang mengandung lemak. Porsinya juga ditambah dari porsi makan kamu yang biasanya, Nin.”

Setelah menjelaskan itu, Momo tampak berdoa sejenak, kemudian segera menyendok nasi khas Palembang itu. Melihat itu, Nindy pun mencoba memantapkan niatnya.

“Oke. Kita coba,” gumam Nindy kemudian. Sebelum menyendok nasinya, Nindy memutuskan untuk mengambil segelas teh manis seperti yang biasa Nindy lakukan sebelum makan. Tapi belum sampai gelas itu terangkat, Momo sudah lebih dulu mencegahnya.

“Jangan minum sebelum makan. Itu membuat perut cepat kenyang. Terlebih lagi minuman manis. Lambung kamu bisa langsung terasa penuh.” Momo menjelaskan di sela-sela kunyahannya.

“Oke… oke….”

Kali ini tanpa pikir panjang Nindy langsung menyambar Nasi Samin itu. Dikunyahnya dengan tidak memikirkan apapun lagi selain niat untuk menambah berat badan.

“Bagus…”

Momo tersenyum puas melihat muridnya itu mulai bisa menikmati prosesi makan siang mereka.

***

Troli belanja yang didorong Nindy sudah hampir penuh, tapi Momo masih saja menjejalkan cemilan-cemilan ke dalamnya. Nindy tidak khawatir soal uang. Ia hanya ketar-ketir tiap kali membayangkan dirinya harus menghabiskan semua cemilan yang dipilihkan Momo itu.

Ada berbagai jenis keripik. Mulai dari keripik singkong, keripik kentang, sampai keripik pangsit. Dari rasa original, balado, sapi panggang, juga ayam bawang. Belum lagi jenis kacang-kacangan. Segala merk dan rasa Momo masukkan ke dalam troli mereka. Kemudian ada juga roti-rotian, pudding cangkir, popcorn, dan kerupuk. Untuk minuman Momo memilih beberapa softdrink bersoda dengan aneka rasa, milkshake, es krim, dan teh kotak.

Nindy menggeleng-gelengkan kepala. Sejujurnya, ia tak tahu bagaimana cara memasukkan semua makanan itu ke dalam perutnya. Bahkan, lemari es di kamarnya pun tidak akan bisa menampung semua, kecuali jika Nindy memasukkan sebagian belanjaannya itu di lemari pendingin milik Mama. Lalu bagaimana ceritanya jika semua makanan itu harus ia pindahkan ke dalam pencernaannya? Nindy menelan ludah tiap kali membayangkannya. Tapi ketika Momo lagi-lagi melirik ke arahnya, Nindy segera berpura-pura menikmati acara belanja cemilan itu.

“Hmm… kamu gak sibuk SMNPTN apa, Mo?” Nindy mengalihkan pikirannya dengan membuka pembicaraan baru.

“Kayak anak-anak lain tuh, semua pada sibuk daftar kuliah.” Nindy menambahkan.

Momo berhenti memilih cemilan. Karena Nindy terlihat mulai keberatan dengan isi troli yang hampir penuh, Momo mengambil alihnya.

“Kamu sendiri?”

“Eh?”

Nindy terheran karena lagi-lagi Momo bukannya menjawab, tapi malah balik mengajukan pertanyaan.

“Kenapa kamu gak ikut-ikutan sibuk kayak mereka?” tanya Momo lagi. Nindy tertunduk. Ia menghela nafas berat.

“Otakku gak sanggup, Mo,” ucapnya lirih.

“Orangtuaku kaya. Sejujurnya aku bisa masuk lewat belakang kalo aku mau. Tapi buat apa? Memaksakan diri itu gak baik kan, Mo? Apalagi dengan cara curang gitu. Cuma bakal nambah-nambahin sampah aja.” Nindy mencoba tersenyum.

Momo menepuk pundaknya. “Bagus. Itu artinya kamu pinter!” Momo tertawa sebentar, kemudian memandang Nindy lagi.

“Tapi bukannya itu berarti kamu nyerah sebelum mencoba?”

Nindy cepat-cepat menggeleng.

“Aku sudah nyoba jauh sebelum temen-temen lain ribut soal kuliah, Mo.” Nindy mendesah.

“Orangtuaku kurang apa coba? Aku diprivatin, dibeliin buku-buku tunjangan, dikursusin, dikasih suplemen otak, dan seabrek usaha lainnya. Tapi hasilnya masih gini-gini aja. Takutnya, kalo aku maksain diri masuk universitas negeri, akunya yang gak sanggup. Dari pada stress terus ujung-ujungnya depresi? Enakan aku kuliah di tempat yang masih bisa dijangkau otakku aja, Mo. Iya kan?” Nindy menutup penjelasannya ketika Momo telah menanggapi dengan anggukan kepala.

“Kalo kamu?” Kali ini Nindy memburu jawaban Momo. Ditungguinya sejenak sampai Momo selesai memilih coklat dan memasukkannya ke dalam troli.

“Aku juga gak mau maksain diri, Nin. Karena kalo aku maksa masuk PTN, artinya aku maksain orangtuaku yang jelas-jelas gak mampu. Kalo aku masih maksa juga, taruhannya pendidikan tiga adikku.” Momo mendesah. Lalu mengarahkan troli ke kasir.

“Jadi soal biaya?”

“Yap.”

Momo mengeluarkan belanjaan mereka satu per satu. Kasir supermarket di hadapan mereka dengan sigap mentotal harga cemilan-cemilan itu.

“Aku mau ambil program keahlian satu tahun. Terus cari kerja, bantu orangtua cari duit sambil nabung dikit-dikit buat kuliah. Gak masalah sih mau PTN atau PTS. Yang penting ilmunya nyampe dan bisa diamalin.”

“Wuih, kamu emang pantes dipanggil suhu. Kata-katanya dalem terus.” Nindy merasa takjub pada sosok Momo yang ternyata memiliki pemikiran yang begitu dewasa. Momo hanya terkekeh mendengarnya.

“Nah, tuh tugasmu. Bayar!” Momo mencibir saat kasir menyebutkan harga yang harus dibayar untuk segunung belanjaan mereka itu. Nindy mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. Setelah menerima kembalian yang hanya beberapa keping recehan, mereka mendorong troli lagi menuju parkiran.

***

Momo mengintruksikan Nindy untuk menepikan Honda Jazz-nya tepat di depan warung jajanan khas Palembang di 26 ilir. Sejak keluar dari supermarket tadi, Momo memang sudah memberi tahu bahwa tujuan mereka selanjutnya adalah menyantap kudapan sore.

Nindy sebenarnya tidak terlalu ingin makan, tapi setelah melangkah masuk ke warung itu, aroma kuah Model seakan menggelitik hidungnya. Mendadak, ia merasa begitu lapar.

Momo memesan dua mangkuk Model, sepuluh pempek ikan kecil, dan dua pempek kapal selam. Ia juga menambahkan Es Kacang dalam pesanannya itu sebelum akhirnya celingak-celinguk mencari tempat duduk yang nyaman. Pilihan Momo jatuh pada meja tepat menghadap kipas angin. Di atas meja itu ada Srikaya. Kudapan manis berwarna hijau yang terbuat dari tepung, telur, santan, dan gula, ditumpuk di atas ketan putih. Selama menunggu pesanan datang, Momo mengajak Nindy untuk melahap habis dua Srikaya itu.

“Simpelnya gini. Makan besar tiga kali sehari, diselingi cemilan. Boleh yang setengah berat kayak di sini, boleh juga yang ringan kayak belanjaan kita tadi. Tambah porsi makanan dari porsi normal kamu. Jangan minum sebelum makan, boleh makan sebelum tidur. Olahraga teratur dan tidur yang cukup.”

Nindy cepat-cepat mencatat penjelasan Momo di Hp-nya. Kalau hanya diingat-ingat, Nindy tak yakin ingatannya akan bertahan lama.

“Dan satu hal lagi yang penting.”

Momo tampak serius. Ia membiarkan Model, Pempek, dan Es Kacang tersaji semua di atas meja mereka, baru kemudian menatap Nindy lekat-lekat.

“Kamu harus bahagia.”

“Bahagia?”

“Ya.”

Momo berdoa sejenak, lalu menusuk Pempek Adaan dengan garpu di tangannya. Nindy mengikuti, meskipun sebenarnya ia masih menunggu-nunggu lanjutan petuah Momo.

“Usaha apapun yang kamu lakukan, gak bakal terasa hasilnya kalo kamu gak menikmati.”

Momo menghirup cuka, Nindy mengikuti lagi.

“Berbahagialah, Nin. Gak semua orang bisa makan makanan enak begini setiap hari,” ucap Momo sebelum akhirnya tenggelam dalam kenikmatannya sendiri. Dan lagi-lagi Nindy mencoba mengikuti.

***

Thursday 1 May 2014

Novel Nobody's Perfect

7 comments
Penulis: Annisa Ramadona
Penyunting: Gari Rakai Sambu
Penerbit: Cakrawala
ISBN: 978-979-383-293-7
Tebal: 168 Halaman
Harga: Rp. 32.000,-

Nobody’s perfect, Nin. Gak ada gading yang gak retak.” Kalimat itu meluncur dari bibir Momo yang masih berisi remahan keripik.

Nindy menatapnya lekat-lekat, menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

"Kamu populer, kaya, dan cantik. Nah, terus kalau kamu juga pintar, orang yang gak populer, gak kaya, dan gak cantik kayak aku kebagian apa dong?"

***

Nindy tak peduli kata-kata Momo, sahabatnya.

Ia terlanjur sakit hati berkali-kali dilukai cowok, Karena itulah ia berniat mengubah dirinya besar-besaran. Maksudnya, benar-benar “besar.” Nindy yang dulunya bertubuh ideal, berkat saran Momo, memutuskan mengonsumsi segala jenis makanan membabi-buta dengan satu tujuan: tak lagi menjadi target incaran cowok-cowok mata keranjang.

Tepat pada saat itulah ia bertemu Tiyo—lelaki yang ia yakini sebagai cinta sejatinya. Nasi sudah menjadi bubur. Tubuhnya terlanjur membulat, dan Tiyo sepertinya tidak meliriknya karena alasan itu. Penyesalan sebesar gunung tak mampu mengembalikan keindahan tubuhnya seperti semula.

Dan di sinilah cerita dimulai…
 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal