Thursday 10 January 2013

Becak Hias

0 comments
Postingan atas permintaan Bang Dian.

Sore kemarin, waktu lagi siap-siap nutup PMSB, tiba-tiba Bang Dian teriak-teriak minta HP. Mau moto Becak katanya. Setelah beberapa kali jepret, Bang Dian nanya sama Mamang becaknya, ada acara apa sampe becaknya dihias begitu. Ternyata di Pakjo ujung sana lagi ada Mini Market yang baru buka. Untuk memeriahkan, becak-becak itu dihias dengan banner produk jualan mereka. Waktu siangnya aku sempet liat sih, ada beberapa becak hias itu lewat depan toko.

Nah, ini dia penampakannya :D



Dosen Imut

0 comments

Pak Mawardi
Pengantar Ilmu Komunikasi merupakan mata kuliah yang pertama kali mempertemukanku dengan sosok berwibawa itu. Ia memperkenalkanku pada ilmu yang sesungguhnya merupakan kunci untuk menaklukkan dunia. Ia tak pernah menghabiskan seluruh jam pelajaran dengan membahas banyak hal. Selalu saja disisakannya kira-kira lima belas menit terakhir untuk menyudahi mata kuliah, apalagi jika seisi kelas telah menunjukkan gelagat tak lagi bisa menerima materi.

Begitulah, menurutnya orang komunikasi harus mengerti mulai dari bahasa lisan sampai ke bahasa tubuh lawan bicaranya. Ia tak mungkin melanjutkan, jika mahasiswa tak lagi bisa mencerna apa yang ia jelaskan. Karena itulah, ia lebih suka menerangkan inti pembahasan diawal pertemuan, kemudian mengulasnya sampai mahasiswa benar-benar mengerti.

“Lebih baik sedikit tapi mahasiswa menguasai, daripada banyak tapi tak ada yang mengerti,” katanya.

Tiap kali masuk kelas pada pertemuan berikutnya, ia selalu mengajukan pertanyaan, mengulang kembali apa yang telah ia berikan pada pertemuan sebelumnya. Hal ini untuk memastikan bahwa mahasiswa telah benar-benar mengerti, sekaligus mendesak mahasiswa untuk kembali mengulang pelajarannya di rumah.

Terkadang ia terlihat begitu menyeramkan, karena ketika mengajar ia tak ingin ada aktivitas lain selain memperhatikan. Ia pernah dengan tegas menegur seorang teman yang mengobrol ketika ia menjelaskan, membuat seisi kelas ikut terkena imbasnya.

Meskipun begitu, bagiku ada kharisma tersendiri yang terpancar dari sorot mata dan senyum manisnya. Seringkali ia berhenti di tempat tongkronganku bersama teman-teman, hanya untuk sekedar menyapa, atau iseng-iseng menyembunyikan salah satu sepatu temanku. Terkadang pula ia memberikan informasi serta pengarahan, tanpa diminta sekalipun. 

Kutaksir umurnya sekitar enam puluh tahunan, terlihat dari rambut hitamnya yang mulai menguban. Tubuhnya tidak tinggi tegap dan berisi. Menurutku, ia imut-imut. Bukan hanya karena postur tubuhnya yang mungil. Keimutannya terlihat ketika ia mulai jahil. Dan itulah yang aku suka.

Pak Mawardi, ketika pertama kali kulihat namanya sebagai pembimbing akademikku, aku senang bukan kepalang. Ia memang sudah begitu melekat di hati mahasiswa. Sudah seperti bapak yang mengayomi anak-anaknya. Pertemuan dengannya dalam ruang kuliah kunikmati sampai semester lima, cukup lama. Membuat kerinduan kadang kala muncul saat mengingat proses belajar mengajar dengannya.

Pak Mawardi adalah dosen imut versiku. Aku rasa, masih ada banyak dosen imut lainnya di STISIPOL Candradimuka. Asalkan mau sedikit lebih membuka mata dan hati kita, maka dosen-dosen akan terlihat “imut” sesuai dengan karakter dan ilmu yang diberikannya.

*Diterbitkan dalam buku Aku, Kamu, Kita, dan Candradimuka

Tuesday 8 January 2013

Kantong Kresek Pak Bangsa

0 comments

Beliau adalah Pak Bangsa Brahmana, salah satu dari tiga guru killer di sekolahku. Rambut hitamnya telah menguban, jalannya tak lagi gagah. Goresan umur mengeriput wajahnya yang sangar. Logat bataknya pun sesekali terdengar parau.

“Bikin malu!” bentaknya tiap kali siswa mematung di hadapan blackboard.

Beliau mengajar mata pelajaran Fisika. Cara mengajarnya tidak biasa. Pak Bangsa tidak banyak menjelaskan. Satu jam pelajaran akan habis hanya dengan menguraikan bagaimana akhirnya diperoleh Gaya Coulomb atau bagaimana mendapatkan rumus Ggl induksi.

“Hei, Pangeran yang di ujung sana, maju Kau!” panggilnya menggeletar. Seisi kelas menahan tawa sekaligus mengelus dada lega, kecuali seorang temanku yang kini menjadi mangsanya.

Setiap mengajar Pak Bangsa selalu menggilir siswa satu persatu menguraikan rumus-rumus fisika di muka kelas. Entah tidak tahu sama sekali atau terlalu takut sehingga paling banyak seorang siswa hanya mampu menjawab sebaris rumus saja. Itu pun salah.

"Apa yang kau tulis itu...??? Bulat-bulat, kotak-kotak!!!! Duduk!!!" Suaranya menggelegar, wajah temanku memerah malu, penghuni kelas menahan tawa lagi.

Sebenarnya bentakan Pak Bangsa menciutkan nyali kami, tapi tampang innocent-nya menggetik urat geli. Karena itulah, kami hanya bisa menyembunyikan tawa dan tidak memuntahkannya keluar.

Satu jam pelajaran bersama Pak Bangsa selalu menjadi satu jam penuh doa. Berharap Allah mempercepat waktu agar tidak sampai giliran untuk maju. Hingga akhirnya bel pelajaran usai membubarkan doa, menggoreskan senyum lega pada wajah-wajah yang tak mengerti Fisika, aku salah satunya.

***

“Tapi Pak Bangsa itu eksentrik. Susah ditebak.” Aku mengernyitkan dahi. Mbak Opi mengangguk. Ia menarik selimut, kemudian melanjutkan ceritanya. Aku dan Mbak Opi satu SMA, jadi sebelum tidur kami memang biasa ngerumpi seputar masalah sekolah.

“Pak Bangsa nggak pernah membawa tas. Beliau ke mana-mana cuma menenteng kantong kresek hitam. Entah apa alasannya, yang jelas kayaknya nggak mungkin kalau Pak Bangsa nggak punya tas.”

Aku mengangguk mengingat Pak Bangsa ketika memasuki kelas. Benar juga, selama ini aku tidak terlalu ngeh. Mungkin saking deg-degan jadi aku cuma fokus berdoa sambil menunduk pura-pura membuka buku pelajaran di meja.

“Tapi Pak Bangsa guru yang langka, Beliau tipe guru jaman dulu. Guru yang bener-bener pure mengajar, bukan cuma mencari gaji. Penilaiannya juga sedikit beda. Yakin deh, banyak yang jeblok nilai fisikanya kalau nggak benar-benar mengerti.” Mbak Opi menatap langit-langit.

“Mbak juga dulu kebakaran rapot gara-gara yang mengajar fisikanya Pak Bangsa,” lanjutnya sambil senyum-senyum kuda.

***

Tawa Bang Rusdi membahana di markas besar klub Pecinta Alamku. Kami sedang sharing dengan topik yang sama. Pak Bangsa Brahmana.

“Sekarang sih mending, Pak Bangsa sudah ubanan, coba dulu waktu jaman Abang SMA, Beliau masih gahar! Suka ada kapur tulis mampir di jidat,” Bang Rusdi menunjuk jidatnya.

“Pak Bangsa dulu identik juga dengan motor Vespa-nya. Nah... si motor Vespa ini nggak ada jok belakangnya, jadi iseng-iseng kami tanya sebabnya pada Beliau. Terus apa coba jawabannya?” Sekarang giliran Bang Anton mengulas masa lalu.

“SUPPAYAA TAK AADA ORANGG YANG MAU BONNCENGNG…!!!”

Bang Anton menirukan logat khas Pak Bangsa, kami terpingkal-pingkal mendengarnya.

“Pak Bangsa memang unik,” sambungnya di tengah tawa.

***

Sampai akhirnya pengumuman wali kelasku memberitahu bahwa akan ada acara pelepasan guru, Pak Bangsa Brahmana akan pensiun. Mengingat umur Beliau, memang sudah pantas jika guru nyentrik itu menyudahi masa baktinya.

Ada rasa haru. Meskipun gaya mengajar Pak Bangsa memang tidak biasa dan terkadang membuat spot jantung juga, tapi siswa-siswa tetap merasa kehilangan. Mesakipun garang, Beliau dengan senang hati mau mengajari dan mengulang pelajaran lagi jika siswa bertanya, di luar jam sekolah sekali pun. Selain itu Beliau juga enak diajak bercerita.

Semua yang ada pada Pak Bangsa memang khas, sangat membekas. Itulah yang akhirnya membuat para siswa sepakat untuk memberikan sebuah cinderamata. Tanda terimakasih atas jasa-jasanya yang tak mungkin terbalaskan melalui benda yang tak seberapa nilainya.

***

Dan hari pelepasan itu tiba, setelah upacara resmi dan sambutan-sambutan dari Kepala Sekolah serta guru lainnya, sekarang giliran penyerahan cinderamata. Ketua OSIS menyerahkan kado istimewa dari kami, siswa-siswa yang akan merindukannya. Sebuah tas kulit hitam untuk menggantikan kantong kreseknya!

***

Aku meninggalkan tempat kursus komputerku. Setelah tamat SMA aku memutuskan untuk mengambil program pendidikan komputer satu tahun untuk kemudian mencari pekerjaan dan melanjutkan sekolahku ke bangku kuliah.

Ku-stop bis kota jurusan Perumnas. Penumpang berjejalan. Aku tak punya pilihan. Sekarang memang jam makan siang sekaligus jam sekolah usai. Aku terpaksa berdiri di pinggir pintu, nyaris keluar.

Ketika pandanganku menyapu ruas jalanan di Simpang Polda, mataku tertumbuk pada sosok pria yang menyusuri jalan dengan perlahan. Ingin rasanya kuhentikan laju bis yang mulai menjauh, membuat sosoknya kian pudar dari penglihatanku. Pak Bangsa Brahmana. Ya, rambutnya yang putih menguban, bahkan tak menyurutkan semangatnya melangkahkan kaki sambil menenteng kantong kresek berisi buku-buku. Aku tersenyum. Ah Pak Bangsa, Beliau masih nyentrik rupanya. 

*based on true story

Pernah diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Sumeks 2012
Nominasi 25 Cerpen terbaik kategori Pemuda 20-27 tahun


Tulisan ini dibuat setahun yang lalu. Waktu baru kembali nulis setelah vakum 5 tahun lamanya. Masih acak-acakan, tapi iseng-iseng kuikutsertakan di ajang PENA SUMSEL GEMILANG. Alhamdulillah, nyangkut sebagai nominasi peraih anugerah, meskipun belum berhasil menyabet juara. Wajar sih, mengingat cerita ini masih jauh dari kriteria cerpen yang biasa dimuat di Citra Budaya.

Sejujurnya ketika menulis cerita ini tahun lalu, aku niat ikut lomba Unforgettable Teacher, entah siapa penyelenggaranya dulu. Tapi karena kepentok DL, akhirnya urung. Sedangkan cerita satunya lagi tentang guru matematikaku, Bu Gukguk kukirim ke audisi naskah Cenat Cenut Matematika yang alhamdulillah lolos dan kini sedang menanti terbit di Gramedia Pustaka Utama.

Menuliskan true story itu lumayan asyik, walaupun kadang malu-maluin. Tapi yang jelas, saat memutar ulang kenangan, kadang kita menemukan bahwa sebenarnya banyak hal manis yang hampir terlupakan.


Kelas 3 IPS 1 SMA N 6 Palembang

Monday 7 January 2013

Jingga

0 comments

Antologi di Pustaka Inspirasiku
Maret 2012


Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini…

Hujan masih menari-nari. Menyelimuti Jingga dalam sunyi. Menanti Alam membawakan sepotong roti.

Menanti, seperti pelangi setia menunggu hujan reda…

Ini adalah hari keempat sejak pertemuan mereka yang terakhir kali. Waktu itu Jingga menggigil dalam hujan yang mengguyuri pasar dini hari. Air matanya meleleh tanpa henti, mengaliri kedua belah pipi yang nyaris tak pernah dicuci.
Jingga demam tinggi, Alam hanya bisa menyelimutinya dengan kardus bekas yang ia ambil dari tong sampah di pinggir warung nasi.
“Aku hanya punya remah-remah roti untuk kau makan hari ini.” Alam berkata lirih. Wajah Jingga begitu pucat, dingin angin menusuk-nusuk tubuhnya yang kian bergeletar menahan lapar.
“Setidaknya kau harus bertahan sampai pagi nanti. Aku tahu kau kuat, Jingga. Berjanjilah, kau bisa bertahan dan tidak akan mati kelaparan! Bertahanlah sampai hujan reda, besok kita akan melihat pelangi bersama.” Alam meracau tak karuan. Ia merasakan pipinya mulai memanas, air mata luruh perlahan.
“Aku akan membelikanmu roti, Jingga. Asalkan kau diam di sini sampai POL PP pergi!” Alam membisikkan janji di telinga Jingga, membenarkan letak kardus yang menyelimuti gadis kecil itu, kemudian bergegas pergi.
Kegelisahan mengepung Alam sendirian. Penyesalan menggerogoti hatinya yang kian terluka melihat kondisi Jingga. Semua karena kesalahannya.
Alam dan Jingga dibesarkan bersama di Panti Asuhan Pelangi. Mereka dititipkan di sana sejak bayi. Meski tak bertalian darah, mereka hidup layaknya saudara sejati. Sampai kemudian Jingga dilirik sepasang suami istri untuk diadopsi, Alam tak bisa menerima adik seperjuangannya itu pergi. Diam-diam ia menyusun strategi untuk membawa Jingga lari dari panti sehari sebelum pasangan itu menjemput Jingga sebagai anak angkatnya.
Awalnya semua baik-baik saja. Alam dan Jingga merasakan kebebasan yang selama ini mereka inginkan. Tak ada aturan, tak ada ibu dan bapak pemilik panti yang biasanya membatasi ruang gerak mereka. Tak ada hapalan, seperti yang biasa dijejalkan tiap malam, juga tak ada paksaan untuk menyambut tamu panti yang datang memberikan sumbangan.
Mereka tinggal dimana saja, tak mandi kecuali katika hujan, juga menghabiskan sisa celengan untuk membeli makanan, tapi mereka menikmatinya.
Semua menjadi sulit ketika persediaan uang perlahan habis. Untuk tetap makan, Alam terpaksa mengemis atau mengais sampah. Sedangkan Jingga hanya bisa mengekor kemana pun Alam pergi.

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka…

Hujan belum mau berhenti. Sejak Alam terjaring razia POL PP empat hari lalu, Jingga tak makan sedikitpun, ia diusir kesana kemari, hingga menggelandang di pinggir pertokoan. Menggigil, Jingga menanti Alam kembali, membawakannya sepotong roti seperti yang ia janjikan.
“Jingga, bangun! Hujan sudah berhenti!” Suara Alam terdengar sayup-sayup. Jingga ingin membuka mata, ingin melihat Alam secepatnya. Namun mata itu seolah tak mau terbuka.

Sampai hujan memulihkan luka…

“Jingga, lihat! Di langit ada pelangi, ada kamu, Jingga! Aku juga sudah bawa roti sesuai janjiku. Kita pergi dari sini, Jingga!” Suara Alam terdengar panik. Ia mengguncang-guncang tubuh Jingga yang terbujur lemah.
Sekuat tenaga Jingga terus mencoba membuka mata, melawan sakit yang kian menjadi-jadi. Sekali ini saja, Jinggaingin melihat pelangi, melihat Alam membawakannya roti. Sekali ini saja, sebelum Jingga mengabadi dalam tujuh warna pelangi. Sebelum ia mati.

*lirik lagu Efek Rumah Kaca, Desember

*Diterbitkan dalam buku Rembulan Singgah sesaat, Leutika Prio 2012

Judul: Rembulan Singgah Sesaat

ISBN: 978-602-225-526-0
Terbit: Oktober 2012
Halaman : 218, BW : 219, Warna : 0
Harga: Rp. 45.000,00

Deskripsi:
Rembulan Singgah Sesaat, menepis keraguan yang selama ini bergelayut di hati Suhadi. Laki-laki itu dengan setia menanti mantan istrinya yang pergi bekerja menjadi TKW di luar negeri. Setelah menceraikannya, tepat pada hari keberangkatannya, Suhadi berharap bisa kembali rujuk saat Warsih, mantan istrinya pulang dua tahun kemudian.

Setiap malam dipandangnya langit pekat. Berharap rembulan akan singgah di atas Kampung Sukadamai. Singgah di hatinya yang diliputi rasa rindu tiada tara. Ia sangat berharap Warsih akan kembali ke pangkuannya sebagaimana rembulan selalu setia bertengger di cakrawala malam. Sekelam apapun. Tetapi, akankah nasib berpihak kepadanya. Akankah perempuan berwajah rembulan itu kembali singgah di hati Suhadi untuk selamanya? Ataukah Tuhan memiliki rencana lain, yang sama sekali tak pernah diduganya? Sebuah novelet indah karya Kamiluddin Azis, yang akan mempermainkan perasaan Anda saat dan setelah membacanya.

Dalam buku ini juga terdapat serangkaian kisah singkat dan puisi-puisi indah yang disajikan dengan begitu memesona. Kisah penuh makna yang digali dengan sepenuh hati ini dirangkai oleh penulis-penulis yang tergabung dalam grup Pustaka Inspirasi-ku, yakni : Kamiluddin Azis ~ Wirasatriaji ~ Iruka Danishwara W ~ Gagak Sandoro ~ Petra Shandi ~ Poery Permata ~ Roma DP ~ Annisa Ramadona ~ Nimas Kinanthi ~ Vinny Erika Putri ~ Fitria Handayani Meilana Sari ~ Remunggai M ~ Asep Fauzi Sastra ~ Ali Bachtiar ~ Emma Marlinah ~ Harry Gunawan ~ Muhammad Dede Firman ~ Ken A. Rion ~ Fanny YS ~ Prast Respati Zenar ~ Arini Riesha Septiana ~ Eleazar Latif ~ Aliyah Maulidah ~ Atika Nur Sabrina ~ Vysel Arina ~ Elsa Aprilia ~ Junita Susanti ~ Ayesha Syarif ~ Marlyn Christ ~ Rivyana Intan Prabawati ~ Septiani Ananda Putri ~ Aldy Istanzia Wiguna

Kado Terindah

0 comments

Antologi Kado Terindah

Oktober 2012

Ulang tahun adalah momentum berharga yang selalu diperingati dengan suka cita oleh anggota keluarga kami. Mama akan memasak masakan spesial dan membebaskan urusan beres-beres rumah. Papa akan menyiapkan uang saku lebih agar bisa mentraktir teman-teman sepulang sekolah. Pokoknya, semua serba istimewa di hari itu.

Ulang tahun masing-masing juga tak pernah luput dari ingatan seisi rumah yang hanya dihuni oleh lima anggota keluarga. Papa, Mama, Yuk Opi, Aku, dan Win. Kalender di ruang keluarga selalu ditandai untuk mengingatkan tanggal-tanggal spesial tersebut. Biasanya kami akan sumbangan untuk membeli kado, walaupun kadang Papa dan Mama menyumbang lebih besar.

Tapi ternyata waktu bisa merubah kebiasaan yang indah itu. Sejak keluargaku mengalami krisis ekonomi, ulang tahun mulai kami peringati seadanya. Jangankan untuk membeli kado, masakan spesial pun kadang tak bisa Mama sajikan. Seperti ulang tahunku pada 2007 lalu.

Pagi-pagi Mama dan Papa yang lebih dulu mengucapkan selamat ketika aku melangkah keluar kamar tidur. Lalu Yuk Opi menyusul menyalami dan mencium pipi.

“Kami gak bisa kasih apa-apa selain doa,” ujar Papa penuh sesal. Aku berusaha tersenyum, meskipun sebenarnya menginginkan sesuatu yang spesial.

Ulang tahun tanpa sesuatu yang istimewa rasanya memang menyedihkan. Namun, aku juga tak ingin memaksakan keadaan. Apalagi jika sampai menyusahkan. Yang penting ucapan dan doa selamat tak pernah terlupakan sama sekali.

“Kejutaaan!” Win tiba-tiba menyodorkan sebuah kado. Adik laki-laki jahilku itu tampak mencurigakan. Ia tak berhenti tersenyum lebar ketika mengucapkan selamat padaku seraya menunggu aku membuka kado itu.

Tak ingin terlihat penasaran, dengan santai kubuka kado yang dibungkus seadanya itu. Papa, Mama, Yuk Opi, dan Win yang menunggu di sekelilingku, terus melempar senyum mencurigakan.

BONEKA RIMAU!

Seisi rumah terpingkal-pingkal ketika telinga belang Maskot PON XVI itu menyembul keluar. Siapa yang mau dihadiahi boneka PON di hari ulang tahun? Aku melempar boneka itu ke arah Win, tapi ia dengan sigap menangkis.

“Itu kado bergilir! Sekarang giliran Yuk Dona!” Ia tak henti-hentinya tertawa. Memang, boneka itu adalah kenang-kenangan PON 2004 di Sumatera Selatan yang didapatkan Papa dari bos di kantornya. Entah siapa yang pertama kali memulai. Tiap kali ada anggota keluarga yang merayakan ulang tahun saat keuangan tak memungkinkan, maskot Rimau itu keluar sebagai kado bergilir.

Boneka itu kerap kali mengisi hari ulang tahun anggota keluarga kami. Seisi rumah akan terasa hangat karena membaur dalam tawa karenanya. Kado bergilir itu sampai sekarang masih tersimpan dengan baik. Meskipun kami telah mampu membeli kado dan menyajikan makanan spesial seperti sediakala, namun Maskot Rimau tetap menjadi kado terindah yang mengingatkan kami tentang kebersamaan di masa-masa susah. Boneka itu menjadi saksi bahwa perayaan dan hadiah ulang tahun bukanlah jaminan kebahagiaan. Asalkan bersama keluarga, hari apa pun akan terasa indah.

*Diterbitkan dalam buku Kado Terindah, Soega Publishing 2012

Judul : KADO TERINDAH
Penulis : Nur Hanifah, Ria Hidayah, dkk
Penerbit : Soega Publishing
ISBN :978-602-18767-7-0
Tebal : 140 hlm
Harga : 35rb (BELUM TERMASUK ONGKIR)

Kontributor :
Arinda Shafa, Yusrotun Karimah, Ririn Arums, Adhita Prawatyo, Aini Eka Yulianti, Hilma Yarisya, Annisa Ramadona, Azizah Nur Fitriana, Cantika Diptra, Choerunnisa, Diah Agustinengsih, Frisca Ade Susanti, Hannan Izzaturrofa, Habibul Munna, Ismi Khadijah, Hadi Kristian, Ken Hanggara, Leli Erwinda, Marjan Anura, Munic Talova Bhakri, M. Syambul Qulub, Naelil Ixa, Nenny Makmun, Ni Ketut Tini Sri, Peri Bulan, Rahel Simbolon, Rara Siah, Ria Hidayah, Rin Agustia Nur Maulida, Rizkia Rodhia Rohima, Sandi Iswahyudi, Irwan Sanja, Shafira Bayugiri, Syifa Yulia, Vita Ayu Kusuma Dewi, Yuphe Himura, Zulzilah Arth

Sinopsis :
Alhamdulillahirabbli alamin...
Kami semua menghembus nafas lega. Kutatap bayi perempuan yang tengah terlelap di samping ibunya. Wajahnya mirip sekali denganku. Setelah melantunkan adzan dan iqamat di kedua telinganya, kupandangi Istriku yang tengah tersenyum. Lirih mengucapkan sesuatu.

"Barakallah. Selamat milad ya, Mas. Semoga kelahiran anak kita ini menjadi kado terindah yang tak terlupakan buatmu."

Masya Allah. Kutepuk dahiku. Hari ini genap usiaku yang ke-24. Dan aku, bahkan sama sekali tak ingat hari ulang tahunku sendiri. Terimakasih, Ya Allah. Karunia ini begitu indah.

[Cuplikan FTS : A Cute Babygirl]

Selamanya Cinta

0 comments

Antologi di Antologi Es Campur

Juni 2012

di kala hati resah
seribu ragu datang memaksaku


Seperti biasa, diam-diam kuresapi petikan gitarnya dari halaman rumahku. Aku tak tahu persis siapa nama pemuda itu, bagaimana perangai serta kesehariannya, bahkan wajahnya pun hanya mampu kuterka dari suara indah yang mengalun mengiringi sebuah lagu, lagu yang begitu mewakili perasaanku.

rindu semakin menyerang
kalaulah aku dapat membaca pikiranmu
dengan sayap pengharapanmu
ingin terbang jauh


Entah sejak kapan rindu terasa begitu menggebu. Yang kutahu, nyanyian gitar tiap sore itu mendendangkan semangat dalam kehampaan hidupku. Aku merindukan kehadirannya dalam persembunyianku. Meskipun sebenarnya aku tak pernah tahu bagaimana pendapatnya terhadapku. Bagaimana ia melihatku yang tak pernah bisa melihatnya.

biar awanpun gelisah
daun-daun jatuh berguguran
namun cintamu kasih terbit laksana bintang
yang bersinar cerah menerangi jiwaku


Aku terlahir sebagai penyandang tuna netra. Tak ada warna dalam duniaku, semua hanya hitam, kelam. Tak ada hal yang bisa membuatku benar-benar bahagia, atau sebaliknya, aku tak pernah merasakan sedih yang menyiksa. Karena kehampaan menyelimutiku sejak aku dilahirkan.

Kujalani hari-hari biasa, sampai pemuda itu hadir dengan petikan gitarnya. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa yang datangnya dari sini, dari dalam hati. Getaran itu kian terasa dari hari ke hari, tiap kali ia meracuni otakku dengan lagu indah itu. Aku menjadi lebih bersemangat ketika terjaga di pagi buta, karena aku tahu ketika senja suara itu akan membuatku bahagia. Aku tak tahu ini apa namanya, mungkinkah ini yang dinamakan cinta?

andaikan ku dapat mengungkapkan
perasaanku hingga membuat kau percaya
akan kuberikan seutuhnya
rasa cintaku selamanya…
selamanya… 


Makin lama kurasa cinta ini makin menyiksa. Ia membuatku terpenjara dalam ketidak berdayaan perasaanku padanya. Kerap kali kurasakan rindu menyayat hatiku yang tak pernah bisa mengungkapkan betapa aku mencintainya.

Hingga sore itu tiba. Aku begitu penasaran menunggunya yang tak kunjung datang. Tak ada petikan gitar, tak ada lantunan suara merdunya. Aku menunggunya hingga senja mulai tenggelam, berharap ia kembali mengisi semangat jiwaku agar mampu bertahan dalam kerasnya kehidupan.

Aku memberanikan diri mendekati kontrakkannya. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa melewati rimbun halaman rumah itu. Sepertinya cintalah yang menuntunku ke sana.

Namun tiba-tiba, kudengar langkah kaki datang. Aku bingung, takut kalau-kalau ia memergoki cintaku yang kian membuncah. Buru-buru kucari tempat bersembunyi. Beberapa kali kakiku tersandung, jatuh menyentuh rumput di halaman itu. Aku juga tak peduli ketika tubuhku menabrak pohon-pohon rindang. Yang aku inginkan sekarang hanyalah menghilang.

andaikan ku dapat mengungkapkan
perasaanku hingga membuat kau percaya
akan kuberikan seutuhnya
rasa cintaku
rasa cinta yang tulus dari dasar
lubuk hatiku


Entah kemana larinya keberanian dari cinta yang menuntunku kemari. Kini aku terkulai lemas. Merasakan kebutaanku memenjara cinta yang tadi begitu berkobar. Aku terkungkung dalam ruang hitam, di mana cintaku tak dapat bergerak keluar. Tak dapat samapi pada muaranya. Di sana, di hatinya.

“Aluna?!” Aku merasa tubuhku bergetar hebat ketika ia menyebut namaku. Kurasakan tangan lembutnya membimbingku berdiri, mengeluarkanku dari kelamnya penjara cinta ini.

Tuhan, jalinkanlah cinta
bersama selamanya…


Aku ragu ketika ia menuntunku perlahan. Tapi genggaman tangannya seolah memberiku kepercayaan. Sekali ini saja, aku ingin percaya pada cinta yang kurasakan.

Ia memetik gitarnya, kurasakan aliran cinta kembali memompa semangatku untuk ikut memuntahkan semua rasa yang kupendam sejak lama, sejak cinta itu hadir dan menyapa.

andaikan ku dapat mengungkapkan
perasaanku hingga membuat kau percaya
akan kuberikan seutuhnya
rasa cintaku selamanya…
selamanya…


*Diterbitkan dalam buku Warna Warni Cinta, Ae Publishing 2012

Judul : Warna-Warni Cinta
Penulis : Anisa Ae, Radindra Rahman, dkk
Jumlah Halaman : vi + 162 hlmn
ISBN : 978-602-7748-04-0
Harga : 42.000 (belum ongkir)

CARA PEMESANAN :
Ketik: WWC # NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
Kirim ke : 085732631400
Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.

“Ngelamunin apa sih, Bro? Oh, gue tahu, lu lagi ngamatin Cleo, ‘kan? Bener, ‘kan?” tanya temannya sok tahu.
Bujang menganggukkan kepala.
“Gimana caranya ya, nakhlukin hati Cleo? Kok rasanya rintangan makin menanjak. Apa emang gue gak berjodoh sama Cleo?”
“Bahasa lu kayak pujangga aja, Bro. Gue kasih tahu ya, Bro, memikat hati cewek itu ada tekniknya, bukan cuma ngayal doang!”
“Lu tahu tekniknya? Apa-apa? Kasih tahu gue dong!”
Semilir angin seketika menyapa Bujang. Menyibak rambut cepaknya seperti adegan-adegan menegangkan di televisi, seperti mendapatkan sesuatu yang akan mengubah hidupnya. Ya, teknik yang diberikan oleh temannya sudah membawa angin segar tersendiri bagi Bujang. Ibarat kata, seperti membakar semangat hidup Bujang.

Apa sih teknik yang diberikan temannya kepada Bujang? Apakah Bujang bisa mendapatkan hati Cleo? Simak semuanya hanya di buku ini. Tidak hanya kisah cinta Bujang, tapi juga memuat kisah cinta yang lain. Cinta yang berwarna.

Percikan Cinta

0 comments

Antologi di Bunga Fiksi
Juni 2012

Dian menurunkan kecepatan sepeda motornya ketika merapat ke bundaran air mancur di samping Masjid Agung Palembang. Percikan air yang bermandikan cahaya lampu warna-warni itu membuat hatiku lupa pada kelalaiannya sepanjang siang. Ya, lelaki Aquarius-ku ini terkadang amat fokus dengan pekerjaan, sehingga membuatku harus rela menghabiskan siang hanya dengan menunggunya yang tak kunjung datang.

Ia mendapati wajah kusutku menyambut kedatangannya selepas kerja, sama kusut dengan wajahnya. Membuatku bertanya-tanya, mungkin ia sedang merencanakan kejutan dan pura-pura marah padaku yang seharusnya justru marah padanya karena baru datang menjelang malam.

Sepanjang perjalanan ia tak banyak bicara, aku makin gelisah. Dian mengendarai surpa-fit birunya begitu kencang, tak romantis seperti biasa. Tak ada senyum, apalagi bincang-bincang. Dian masih bungkam meskipun kami telah tiba di rumah Mama.

“Selamat ulang tahun, Dona!” Mama membukakan pintu seraya mengecup kedua belah pipiku. Ia meninggalkan kami untuk beberapa saat, kemudian datang kembali dengan kue ulang tahun di tangannya. Kali ini Dian mulai membuka suara, menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” bersama Mama.

Senyumku masih mengembang mengingat kejutan kecil beberapa jam lalu itu, ketika Dian memintaku memandang air mancur, meresapi suasana romantis yang menyusup dalam gemericiknya.

“Menikahlah denganku!” Hatiku terpasung saat ia dengan lembut memasangkan cincin tepat di jari manisku. Aku terkejut, takjub.

*Diterbitkan dalam buku The Dams delicious, Pustaka Jingga 2012 

Judul: The Damn Delicious
Penulis: Bunga Fiksi & Friends
ISBN: 978-602-18832-1-1
Tebal: 229 hlm
Ukuran: 14x20
Harga: 36.000

Sinopsis:
Kau beri kasih tanpa pamrih, sayangmu tanda tanda seru, mencinta tanpa tanda tanya. Mana mungkin aku mencampakkan jiwamu yang tulus dan setia mengusik tanpa tanda titik. Kau tetap duduk di sebelahku, menggengam erat tanganku meski aku kerap menghujam palu ke kepala hingga kakimu. Kau biarkan bahumu ditinju gelagat manjaku, kau biarkan dadamu ditimpa berliter airmata gulanaku, kau biarkan perutmu menjadi sarang lampiasan amarahku. Manusia macam apa kau, Lelakiku? Apa artiku bagimu?

Begundalku, kau segalanya bagiku, Monosodium Glutamat yang membuat rasaku kian kuat dan tambah pekat. Jawabmu.

Buku ini sudah bisa dipesan melalui sms ke 0856 4545 9192 dengan format pesan judul buku-nama lengkap-alamat lengkap-jumlah buku-no hp

Asalkan Kau Ada

0 comments

Antologi di Pustaka Inspirasiku
Februari 2012

Ada yang hilang. Kekosongan menyergapku seharian ini. Setelah kau pamit mudik tadi pagi, aku menghabiskan waktu dengan membersihkan semua sudut ruang kerja kita yang tidak mungkin bisa aku bereskan jika kau ada.

Komputer dan perangkat keras percetakan sudah dipenuhi debu. Entah berapa lama tidak dibersihkan. Belum lagi tumpukan berbagai jenis kertas yang memenuhi meja kerja, rak buku, sampai etalase.

Acara beres-beres memang menyita tenaga, terkadang malah membuatku dongkol. Sering sekali aku menyapu sambil bersungut-sungut mengomelimu. Bagaimana tidak? Jika kau ada, ruang kerja kita tak pernah bisa rapi. Semua benda yang telah aku bereskan pagi-pagi, akan berantakan lagi siang hari. Ada saja yang membuatmu berhasil memporak-porandakan kertas yang telah aku susun dengan susah payah.

Kunci, stampel, nota, memo, dan benda-benda kecil lainnya cepat sekali hilang dari tempatnya. Kau selalu lupa meletakkan kembali setelah digunakan. Sungguh kebiasaan yang menjengkelkan.

Mungkin perbedaan gender membuat kebiasaan kita juga berbeda. Aku terbiasa meletakkan barang-barang pada tempatnya setelah digunakan, terbiasa merapikan meja kerja, juga membersihkan debu yang mengganggu pandangan. Sedangkan kau sebaliknya. Tak pernah mempedulikan semua hal itu kecuali jika aku benar-benar telah mengamuk.

Meskipun begitu, aku tak sanggup untuk berlama-lama marah padamu. Usaha yang kita rintis bersama ini tidak akan berkembang seperti sekarang tanpa perjuangan kerasmu. Terlebih lagi kau tak pernah mengeluh lelah meski terkadang harus membanting tulang.

Hal itulah yang saat ini sedang kukenang. Baru kali ini aku tahu rasanya kau tinggalkan. Sendirian disini membuatku merindukan ketidakpedulianmu. Merindukan makan siang bersama meskipun setelah makan kau akan meninggalkan sampahmu begitu saja. Aku juga merindukan salah tingkahmu setiap kali kau kebingungan mencari kunci yang telah berkali-kali aku peringatkan untuk diletakkan dengan benar.

Aku merindukan semuanya, semua perbedaan saat kita bersama. Karena setelah hari ini ruang kerja kita bersih mengkilap, aku masih saja merasa ada yang kurang. Kesepian menyergapku sendirian. Hari menjadi begitu panjang. Aku tiba-tiba saja menginginkan kau untuk segera pulang.

Masih lebih baik jika ruang kerja kita berantakan, kertas berhamburan, stempel, nota, kunci, dan pena kau hilangkan. Masih lebih baik seperti itu, daripada semua ada pada tempatnya tetapi kau tak ada.

Karena ternyata perbedaan membuat kita menjalani hari dengan penuh warna....

*Diterbitkan dalam buku Curhat Colongan Sahabat Inspirasiku, Leutikaprio 2012

CURHAT COLONGAN SAHABAT INSPIRASIKU
(BUKU PERDANA GRUP PUSTAKA INSPIRASIKU)

Sunday 6 January 2013

Kilas Balik

0 comments
Mengulur-ulur waktu. Mungkin itulah yang kini sesungguhnya kulakukan. Liburan semester tujuh hampir berakhir, aku tahu itu dari sms Siska tadi malam. 14 Januari masuk, katanya. Bagiku sebenarnya tak begitu penting. SKS sudah kulahap tuntas sampai semester kemarin. Aku tak punya mata kuliah lagi yang mengharuskanku datang ke kampus tepat waktu. Urusanku kini hanya pada SKRIPSI yang berkas pengajuan judulnya baru kuserahkan 4 Januari kemarin. Benar-benar ketinggalan kereta jika aku berniat ikut Seminar Proposal periode pertama, pertengahan Januari nanti.

Aku sendiri bingung pada niatku. Di satu sisi, aku ingin segera diwisuda. Ingin secepatnya membanggakan orangtua melalui gelar sarjana. Dengan lepasnya aku dari dunia perkuliahan, kupikir paling tidak akan ada waktu lebih untuk berkarya. Setidaknya sampai aku dipinang. :D
Jalan-jalan sepulang kuliah
Di sisi lain, aku masih ingin berkumpul dengan para sahabat. Ingin diwisuda dan foto bersama saat mengenakan toga. Masih ingin menikmati masa lajang yang sepertinya akan segera berakhir jika aku segera wisuda. Sebenarnya juga masih ada keinginan menghasilkan sebuah karya bersama untuk kelak dikenang.

Aku ingat, dulu tak terlintas sedikit pun di benakku untuk menjadi bagian dari STISIPOL Candradimuka. Tentu saja aku tak pernah mengidam-idamkan Perguruan Tinggi Swasta yang terkenal dengan kelas karyawannya ini. Tidak sedikit pun meski SMA-ku dulu bisa dibilang tetanggaan.

Yup. Sebagaimana siswa SMA Negeri 6 Palembang lainnya, aku tentu berharap bisa melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri. Apalagi mengingat riwayat sekolahku sejak SD-SMP-SMA memang berembel-embel Negeri.

Hiruk-pikuk pendaftaran dan ujian masuk PTN seusai pengumuman kelulusan SMA sebenarnya pernah kurasakan. Aku juga masih ingat rasa bahagia ketika namaku tertera pada pengumuman lulus yang terpampang di koran. Betapa waktu itu teman-teman dekat langsung memberi ucapan selamat karena mereka bahkan tak menemukan namanya di daftar calon mahasiswa UNSRI itu.

Dan aku pun masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya kecewa karena Allah ternyata merencanakan lain. Papa mengaku tak punya biaya untuk menguliahkanku di sana. Ia belum mempersiapkan uang pangkal yang harus dibayar ketika daftar ulang. Memang, keadaan ekonomi keluargaku saat itu sedang hancur-hancurnya.

Untuk mengobati luka, Papa mendaftarkanku di Lembaga Pendidikan Profesional Komputer (LPP) Master Komputer Palembang. Ia yang memilihkan jurusan, jam belajar, dan semua yang menunjang pendidikanku di sana. Aku menurut saja, pasrah. Tak lagi berani berharap lebih.

Setengah tahun di sana, akhirnya pekerjaan datang. Aku ditawari mengisi kursi resepsionis sekaligus kasir di sebuah perusahaan jasa laundry bergengsi di Palembang. Sang pemilik tercatat sebagai pengusaha sekaligus tokoh politik terkemuka, sehingga pelanggan yang harus kuhadapi juga adalah orang-orang wah. Istana Gubernur, Kapolda, dan beberapa kepala daerah adalah pelanggan tetapnya.

Setelah tiga bulan, pekerjaan itu akhirnya kutinggalkan. Karena terlalu pontang-panting akibat berkurangnya karyawan, aku jadi tak bisa membagi waktu untuk menjaga kesehatan. Berat badanku turun drastis. Orangtuaku miris. Atas persetujuan mereka, aku mengajukan pengunduran diri.

Kulanjutkan pendidikan komputerku yang tinggal satu semester. Hingga kemudian lulus dengan nilai yang cukup membanggakan. Tapi entah mengapa belum juga ada keinginan untuk kembali bekerja. Padahal ekonomi keluargaku saat itu makin memburuk saja.

Kelulusan
Setengah tahun menganggur, akhirnya aku menerima tawaran tetangga menjaga toko seragam sekolah di pasar tradisional dekat rumah. Memang aku terkesan pasrah. Bahkan orang-orang pasar heran mengapa aku mau-mau saja menjadi bagian dari mereka, orang yang selalu dipandang setengah mata. Aku sendiri tak begitu tahu alasannya. Mungkin karena aku sudah tak berani lagi bermimpi.

Toko yang khusus menjual perlengkapan sekolah itu dihuni oleh empat orang perempuan, termasuk aku. Gaji yang kuperoleh memang jauh dari cukup, tapi setidaknya ada pemasukan bulanan. Kerjaku di sana hanya menunggui dagangan, melayani calon pembeli yang datang, dan jika jarum jam mengarah ke pukul empat sore, aku berbenah kemudian pulang.

Tapi lambat laun akhirnya aku merasa ada yang salah. Di toko inikah masa depanku? Bagaimana dengan nilai-nilai yang dulu kuperjuangkan? Bagaimana dengan ilmu yang ingin terus dan terus kukembangkan?

Pertanyaan demi pertanyaan bergumul di otakku. Yang membuatku berpikir, hingga membulatkan tekadku. Suatu saat aku akan kembali memeluk buku. Aku akan kembali mendalami pelajaran komputerku. Juga akan kembali bersaing demi membanggakan kedua orangtuaku.

Hingga dua tahun kemudian aku pamit mundur dari toko baju yang nyaman itu. Kudaftarkan diri di STISIPOL Candradimuka karena kutahu biayanya tak akan membuat Papa susah. Hari sabtu mendaftar, senin langsung kuliah. Aku tak ikut OPDIK karena memang kuliah telah dimulai satu minggu. Aku terlambat karena memang keinginan kuliah muncul terlalu tiba-tiba.

Masih kuingat senin itu aku datang diantar Papa. Sebagai mahasiswa baru, kutangkap rasa penasaran di mata mahasiswa lain yang kutahu kemudian bahwa mereka teman sekelasku. Gilang, salah satu teman di Master Komputer, kuajak bersamaku. Bukan untuk mengantar, tapi untuk mendaftar. Karena ketika suatu lebaran kami berkumpul, ia ternyata memiliki keinginan yang sama. Kuliah dengan biaya yang murah.

Kelas pagi itu sedang menerima kuliah dari Pak Syafarman saat aku dan Gilang masuk. Pandangan seisi kelas tertuju pada kami. Aku akhirnya tahu bagaimana rasanya menjadi anak baru, hal yang dulu sering kuimpikan karena kupikir pasti keren sekali. Ican Satrio, dia orang pertama yang mengajak kami bicara. Mengajari cara menulis absen, memberi copy jadwal kuliah, serta meminjamkan catatan. Untuk Gilang, ia bahkan meminjamkan pena dan buku tulis.

Beberapa saat, aku mengamati karakter teman sekelas satu per satu. Meskipun pandangan pertama bisa saja menipu.

Yang waktu itu cukup menonjol adalah Suryadi. Sang ketua kelas ini gethol menawari seisi kelas untuk masuk ke jaringan MLM-nya. Tapi entah karena alasan apa, semester dua ia Stop Out. Lalu Mami. Awalnya kunilai jilbaber yang membawa-bawa komik ini tukang cari perhatian. Ia terlalu sering bertanya atau berkomentar yang menurutku tidak begitu penting untuk diutarakan. Kemudian perhatianku tersita pada Siska yang menyuruh Any pindah ke sana kemari, membawa ini itu dan bla bla bla. Tukang perintah yang nyenyes, begitu kesan pertamaku untuknya. Sedangkan pada Any, aku merasa iba karena ia menurut saja. Hehe.

Ada Gema yang celingak-celinguk sambil tebar pesona dengan Bambang di sampingnya. Mereka bagai dua sejoli. Kemudian Fikri dengan motornya yang meraung-raung. Ia orang pertama yang mentraktirku teh poci, membelikan tekwan Subhanallah, dan mengantar jemputku ke kampus. Tiap hari. Hingga pada hari ke tiga aku menolak kebaikannya. Aku tak bisa jika ke kampus hanya untuk kuliah lalu pulang. SD-SMP-SMA-MASTER aku terbiasa aktif. Menggerombol dengan teman atau pun berorganisasi.

Master Computer Club
Dari Fikri aku tahu ada tiga organisasi yang bisa kupilih. BEM, MAPALA, dan KOMASIP. Untuk yang pertama aku memang tidak berminat. Di SMP N 9 dulu aku menjadi anggota OSIS, di SMA juga tercatat sebagai anggota MPK, itu saja kurasa cukup. Meski senang berorganisasi, di sini aku ingin jadi warga biasa saja. Untuk MAPALA, sebenarnya aku berminat, tapi saat kuutarakan keinginanku mengikuti DIKSAR, Yuk Opi melarang. “Cukup WWB lah,” katanya. Aku menurut. Pilihan terakhir adalah KOMASIP. Mendengar penuturan Fikri, aku tertarik. Kuputuskan untuk bergabung.
Anggota KOMASIP angkatanku

Seiring berlajannya waktu, aku menjadi akrab dengan Mami, Siska, dan Any. Apa-apa berempat. Begitu pun ketika mendaftar KOMASIP. Sayangnya, Mami tak mendapat izin menginap di malam pengukuhan anggota. Maka, Mami mengurungkan keinginannya. Hal itu kini patut ia syukuri setelah banyak hal yang akhirnya melukai hati kami bertiga ketika berada di organisasi itu.

KOMPAG memang kompak. Harus kuakui, kelasku cukup manis untuk dikenang. Kerja kelompok di rumah Fikri, mancing di rumahku, hangout dari KI sampai Bombaru, mampir di Simpang Dogan, Futsal, Band, dan seabrek kekompakan lainnya kadang membuatku kangen. Inilah salah satu alasan yang membuatku mengulur-ulur waktu untuk menyelesaikan kuliahku dengan cepat, lebih cepat satu semester dari mereka.
Narsis Pas Jam Kosong
Narsis Setelah Paduan Suara
Sonic Futsal, nungguin anak cowok main


Kalau dulu aku merasa malu mengenakan almamaterku, sehingga kusembunyikan aktivitas kuliah agar tak ada teman SMA yang tahu bahwa aku terdampar sendirian di STISIPOL Candradimuka. Kini berangsur-angsur aku mulai bersyukur. Jika tadinya aku tak pernah menuliskan intitusi-ku, kini dengan bangganya kucantumkan STISIPOL Candradimuka di setiap buku yang di dalamnya memuat karyaku.

Keep Fighting!
“Masuk sekolah unggul itu hebat, tapi lebih hebat lagi membuat sekolah tidak unggul menjadi unggul.” Selarik motivasi teman literasi maya, Fitri Rosadela inilah yang kini tengah kuperjuangkan. Tekadku, sebelum wisuda harus ada sesuatu yang bisa kupersembahkan untuk almamaterku, STISIPOL Candradimuka. Semoga.
 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal