Sunday 30 June 2013

Gerobak Alhamdulillah~Aku Melawan Korupsi

0 comments
Setiap pagi Ica memasang tampang cemberut sambil sesekali menendangi kerikil-kerikil kecil yang ia lalui sepanjang jalan. Ia terus menggerutu di belakang Ayah yang mendorong gerobak tekwan dengan penuh perjuangan. Ica sengaja melangkah pelan-pelan agar ia dan Ayah tak berjalan berdampingan.

Sejujurnya Ica tak ingin pergi ke sekolah bersama Ayah. Ia sudah SMP sekarang, sudah bisa menyeberang jalan sendiri, sudah bisa membedakan mana orang baik, mana penculik. Ica sudah besar. Malu rasanya jika pergi sekolah masih diantar Ayah. Terlebih lagi, Ayah bukan seperti ayah teman-teman yang mengantar anaknya dengan motor dan mobil pribadi. Ayah dan Ica hanya jalan kaki, beriring-iringan dengan gerobak bertuliskan “Alhamdulillah”.

“Perhatikan guru, jangan banyak main,” ucap Ayah ketika mereka akhirnya tiba di depan sekolah. Ica mengangguk, cepat-cepat menyalami Ayah. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa ayahnya hanya seorang tukang tekwan keliling. 

Cover Antologi Aku Melawan Korupsi

Tiga paragraf pertama di atas adalah potongan cerita anak yang kuikutsertakan dalam lomba cerita hari anak nasional 2012 oleh Writing Revolution. Alhamdulillah, dari 300-an naskah peserta, Gerobak Alhamdulillah bisa jadi juara 2. Nanti buku antologi ini akan didistribusikan di seluruh toko buku nasional. :)

Saturday 29 June 2013

Ibuku dan Facebook

2 comments
Hatiku tak henti-henti menggerutu. Dinginnya pagi ternyata tak mampu membekukan emosiku. Aku benar-benar marah pada keadaan. Pada kehidupan yang tak pernah memberikanku keadilan.

Aku kesal pada Ibuku. Setelah sembilan tahun lalu ia membuatku putus sekolah karena tidak mampu, hari ini demi sekolah adikku, ibu tega mengorbankan uang tabungan hasil tetes keringatku sendiri. Padahal uang itu telah kurencanakan untuk membeli HP sore nanti. Ah, Ibu begitu tega merampas kebahagiaan yang baru saja ingin kunikmati.

“Kemarin Ibunya Sisi nge-add, setelah ku-konfirm kulihat-lihat timeline-nya. Kayak anak muda, ih amit-amit,” suara sumbang Tante Tati riuh rendah bersama ibu-ibu lain. Pembicaraan seputar facebook memang lebih mendominasi. Meskipun jejaring sosial baru sudah bermunculan, facebook sepertinya tetap di posisi tertinggi. Ibu-ibu ini amat bersemangat ketika bercerita status si Ini dan si Itu, atau tentang comment si A, si B, juga si C.

Aku membereskan piring kotor, mengelap meja yang terkena tumpahan kecap dan kuah tekwan. Tak habis pikir, bisa-bisanya mereka jorok begitu. Tiap kali mereka bubar, pekerjaanku menjadi lebih banyak. Karena saking asyiknya bercerita, ada saja ibu-ibu yang menumpahkan sesuatu di atas meja.

Tiga bulan terakhir, aku menjadi kenek di warung tekwan Mang Cek. Dengan upah sepuluh ribu perhari, kukumpulkan uang untuk membeli HP yang bisa facebook-an. Walau hanya mampu membeli keluaran Cina, aku sudah begitu bahagia. Toh, selama ini aku memang tak pernah ingin punya apa-apa. Kemiskinan yang diturunkan Ibu membuatku tak berani untuk sekedar bermimpi.

Keinginan ber-facebook juga terlintas karena aku terlalu sering mendengar perbincangan ibu-ibu di warung tekwan ini. Pelanggan Mang Cek rata-rata ibu muda yang tengah menunggu anak-anaknya bersekolah di SD yang berada tepat di seberang warung Mamang. Biasanya mereka datang bergerombol, sesuai geng masing-masing.

Seperti rombongan Tante Tati yang usil mengomentari Ibunya Sisi, ibu-ibu lain pun dengan penuh semangat menggunjing tentang suami sampai urusan remeh-temeh ibu-ibu yang tidak termasuk dalam grupnya. Perang status, comment-comment pedas, dan pamer foto profil semakin membuatku penasaran. Bagaimana rupa facebook sebenarnya? Bagaimana bisa ibu-ibu ini tak seperti Ibuku?

Ibuku tak tahu apa itu facebook. Ia juga tak pernah mau tahu. Ibu hanya tertarik pada Kemplang Bakar dagangannya. Ia menargetkan paling tidak tiap harinya lima bungkus Kemplang isi 22 keping laku terjual. Dengan harga jual sepuluh ribu, ibu bisa memperoleh keuntungan empat ribu rupiah perbungkusnya. Jika lima bungkus Kemplang terjual, maka dua puluh ribu keuntungannya itulah yang kemudian ibu belanjakan untuk keperluan kami.

Ibu selalu bangun lebih pagi dari siapa pun, bahkan sebelum ayam jantan berkokok, ia telah sibuk dengan setumpuk cuciannya. Bukan pakaianku, bukan pakaian kami. Ibu menerima upah mencuci pakaian tetangga guna menambah pendapatan. Untuk tenaga yang ia keluarkan itu, ibu dibayar seratus lima puluh ribu perbulan. Uang itu dipergunakan ibu untuk membayar keperluan sekolah adikku.

Bapak telah pergi ketika aku berumur tujuh tahun. Untuk membesarkan aku dan adikku yang baru lima tahun, ibu pontang-panting bekerja serabutan. Tak ada sanak keluarga. Ibu memang yatim piatu sejak ia memutuskan merantau ke Palembang dan menikah dengan Bapakku yang hanya kuli bangunan.

Meskipun penghasilan Bapak pas-pasan, hari-hari kami tetap penuh kebahagiaan. Ya, walaupun akhirnya masa-masa indah itu harus berakhir tragis. Bapak meninggal karena kecelakaan dalam proyek yang tengah ia kerjakan. Sejak itulah kerasnya hidup mulai kurasakan.

Aku terpaksa putus sekolah demi membantu ibu menjaga adikku sementara ia bekerja sebagai pembantu. Mahalnya kebutuhan pokok, membuat ibu terpaksa harus menyambi berjualan bawang di pasar pagi. Ibu juga pernah mencoba-coba berwirausaha dengan membuka warung pecel di depan gubuk kami, tapi usaha itu tak bertahan lama. Sayur-mayur rebusan yang tak laku hari itu akan basi, padahal modal belum balik sama sekali. Ibu sering nombok. Karena itulah ia akhirnya memilih menjadi tukang cuci.

Foto kemplang pinjam dari sini
Berjualan Kemplang Bakar baru ibu lakoni dua tahun terakhir. Kala itu ia diajak majikannya -tetanggaku yang mengupahkan cuciannya pada ibu- mudik ke OKI. Di sanalah ibu berkenalan dengan Kemplang Bakar. Ibu menggunakan uang pegangannya yang hanya sepuluh ribu untuk membeli Kemplang mentah. Ibu belajar cara memanggang, juga cara membuat tempat arang. Sepulangnya ke Palembang, Ibu langsung mencoba peruntungan.

Kemplang mentah yang Ibu beli dengan harga dua ratus, dijual Ibu dengan harga lima ratus setelah dipanggang. Tetanggaku menyukainya. Sebagai salah satu kuliner khas Palembang, Kemplang seakan menjanjikan secercah peluang.

Tiap harinya, Ibu mulai memanggang setelah cucian ia jemur di halaman. Sebelum itu, ibu akan terlebih dahulu menyiapkan sarapan. Aku dan adikku yang terbiasa bangun selepas azan subuh berkumandang, akan mendapati ibu tengah memanaskan arang.

Karena rumah kami tidak terletak di perkampungan Kemplang Bakar yang terkenal itu, ibu terpaksa harus menjajakan dagangannya ke luar rumah jika ingin lebih laku. Mengharapkan penjualan di kalangan tetangga saja tentu tak akan mencukupi kebutuhan kami. Ibu harus berkelana membawa dagangannya dari perumahan satu ke perumahan lainnya. Sejauh yang kutahu, ibu pernah menempuh perjalanan dari Pasar Satelit Sako sampai ke sekitaran Palembang Square dengan berjalan kaki.

“Tahu nggak kabar terbaru? Si Santi anaknya Bu Roni yang nomor dua itu dibawa kabur oleh kenalan barunya di facebook.” Suara Tante Meri membuyarkan ingatanku akan Ibu. Sambil mengiris model pesanan grup Tante Meri, aku terus mengikuti alur cerita mereka.

“Heran, padahal sudah tahu facebook itu dunia maya, masih ditanggapi juga. Di dunia maya itu kita nggak pernah tahu siapa lawan siapa kawan. Jangan terlalu dipercaya. Kan orangnya nggak kelihatan juga.” Kali ini Tante Linda menggebu-gebu menimpali. Meskipun hanya empat orang, warung Mang Cek terdengar gaduh sekali lantaran ibu-ibu itu kian panas bersahut-sahutan.

Merenungi pembicaraan mereka, membuatku teringat kembali pada Ibu. Kekesalanku yang tadi pagi begitu memuncak, perlahan surut. Begitu egoisnya aku jika demi sesuatu yang semu, rela kukorbankan masa depan adikku. Putus sekolah adalah garis hidupku, tapi tidak untuk Si Bungsu. Ia harus mengenyam pendidikan agar hidupnya kelak lebih baik dari aku dan ibu.

***

Hujan di pangkal malam menambah kecemasanku menantikan ibu yang tak kunjung pulang. Tak biasanya ibu pulang malam begini. Biasanya tak lama setibanya aku dari tempat kerjaku, ibu akan menyusul muncul di ambang pintu. Kami akan membersihkan diri untuk persiapan salat magrib berjamaah. Kebiasaan yang diterapkan Bapak ketika ia masih ada itu tetap kami jaga. Tapi meski azan isya telah terdengar di kejauhan, ibu masih belum juga tiba. Hatiku tak karuan, apalagi mengingat tadi pagi aku sempat ngambek lantaran urung facebook-an.

“Assalamualaikum.” Suara Ibu akhirnya terdengar di balik pintu ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Buru-buru kusambut salam Ibu sambil membukakan pintu. Langsung kuserbu ibu dengan pelukan. Tangisku pecah. Sungguh, saat ini kusadari bagiku memiliki Ibu adalah kebahagiaan yang tak mungkin bisa dikalahkan oleh sekedar facebook-an.


***

Sunday 23 June 2013

Gramedia Writing Project

0 comments
Dicari!
Calon penulis berbakat yang siap dibimbing oleh Clara Ng dan dimentori oleh para editor Gramedia Pustaka Utama.

Monday 10 June 2013

Snow in the Heart

2 comments
SNOW IN THE HEART: Kita semua memang harus berpisah, kan?

Inilah salah satu kisah terbaik dalam lomba #JAPANINLOVE Diva Press 2013 yang diikuti ratusan anak muda dari seluruh pelosok nusantara. Kisah-kisah yang menggugah hati kita bahwa cinta itu begitu dahsyat meronai hidup setiap kita. Plus, latar unik budaya Jepang yang begitu kental membingkai semua cerita ini.

Inspiring!
Lagi fokus-fokusnya nulis novel, info lomba #JAPANINLOVE menggelitikku. Lalu, mulai mikir-mikir mau nulis apa. Soalnya ini setting-nya harus Jepang banget. Berhubung sudah lama gak baca komik, jadi rada ngeraba-raba.

Karena ngebet pengen ikutan, aku semedi di boncengan Bang Dian. Emang gitu, aku kalo lagi nyari ide suka tenggelam dalam imajinasi sendiri dan gak peduli sepanjang perjalanan dia cerita apa.

Dapetlah itu ide. Selanjutnya aku browsing kota di Jepang yang pengen kujadiin latar cerpenku. Lanjut nonton film dan anime juga biar dapet feel-nya. Gak cukup di situ, aku beli dua komik serial cantik juga.

Setelah semua siap, aku mulai nulis. Setengah hari kelar, terus kuendapin sampe besoknya editing dan kirim. Alhamdulillah, setelah tuntas hajat yang satu itu, aku bisa fokus lagi nulis novelnya :D

Pas pengumuman, gak nyangka banget ternyata bisa lolos jadi salah satu kontributornya. Belum jadi juara sih. tapi kan lumayan, soalnya ini yang nyelenggarain penerbit mayor yang kalo bikin event pesertanya pasti bejibun. Lomba yang ini aja persertanya sampe 700-an.

Cerpenku judulnya Ikiru Chikara. Tokoh utamanya Rin. Sejak ibunya meninggal empat tahun lalu, hubungan Rin dengan sang ayah menjadi kaku. Ayah Rin yang gila kerja memang mencukupi segala keperluan gadis itu. Tapi Rin justru kesepian. 

Hingga akhirnya ia berteman dengan Miu. Dari Miu-lah Rin mengenal manga. Miu membantu Rin membeli majalah manga, alat-alat gambar, juga berkomunikasi dengan editornya. Hanya saja, Rin selalu kepentok soal cinta. Gadis penyendiri itu belum tau gimana seharusnya menggambarkan cinta. Dan Miu lagi-lagi membantu Rin. Mereka bertukar tempat selama tiga hari. Miu menitipkan Rin pada pacarnya, Makoto. Lalu apa yang terjadi selama tiga hari itu? Baca sendiri lanjutannya di buku Snow in the Heart, ya :D

Cerpenku dalam Snow in the Heart
Aku putus asa. Kupandangi tumpukan manuscript paper yang tergeletak di atas meja. Ada puluhan name yang menjadi sia-sia karena editor manga-ku terus-terusan menolaknya. G-Pen, aneka macam pena, beragam jenis pensil, penghapus, kuas, tinta, dan Screentone Burnisher yang tetap pada tempatnya sejak seminggu lalu itu membuatku makin tak berdaya. Belum ada keinginan sedikit pun untuk menyentuh itu semua.

“Kekuatan manga terletak pada karakteristik yang jelas, pengembangan cerita yang meningkat, dan juga jiwa.”

Suara Kenichi-san kembali terngiang ditelingaku. Pertemuan singkat dengannya terakhir kali itulah yang mematahkan mimpiku untuk menjadi mangaka.

“Romansu manga ini kosong. Terlalu gelap dan sulit dimengerti, kaku, juga kurang penjiwaan. Rin, kamu harus menggambar manga yang bisa dinikmati remaja perempuan.”

Aku hanya bisa mematung mendengarkan kalimat demi kalimat yang diucapkannya.

“Untuk membuat cerita cinta yang realis, setidaknya kamu harus benar-benar tahu bagaimana rasanya cinta.”

Dan kalimat terakhir itulah yang membuatku diam di tempat. Bagaimana rasanya cinta?

Eh, tapi ada sedikit kesalahan yang kayaknya lolos dari mata editor. Aku nulis JKT48 sebagai idola remaja Jepang. Seharusnya yang kutulis itu AKB48. Hehe... 

Tapi secara keseluruhan aku suka. Apalagi proses terbitnya cepet banget. Buku ini malah jadi antologiku yang pertama masuk Gramedia. Padahal ada beberapa event yang lebih dulu kuikuti dan lolos, yang insyaallah juga bakal edar di Toko Buku Nasional. Ada antologi CENAT-CENUT MATEMATIKA (Calon Penerbit: Gramedia Pustaka Utama), STORYCAKE FOR THANKFUL HEARTS (Calon Penerbit: Gramedia), AKU MELAWAN KORUPSI (Calon Penerbit: WR Publishing). 

Terus, masih menanti dua novel yang sedang dierami Penerbit MP dan DP juga. Ah, alhamdulillah.... Mimpi 12 tahun lalu itu mulai terwujud :)

Snow in the Heart di Gramedia Palembang Square

Saturday 8 June 2013

Dua Ballerina

0 comments
Gambar dari sini
Aku merasa ada yang tidak beres. Sejak kuutarakan keinginanku bergabung dengan kelas ballet, Mama mendadak jadi over-protectif. Jam sekolahku selalu dikontrol. Kalau pulang telat sedikit, langsung diinterogasi. Mama juga kerap menelepon wali kelas untuk memastikan keberadaanku. Padahal biasanya mama tak begini. Waktu SMP, aku bebas ikut ekskul apapun. Sastra, PMR, bahkan OSIS. Mama tak pernah mempermasalahkannya. Entah kenapa kali ini larangan mama keras sekali.

“Mungkin karena ballet itu gak populer di sini, Rin.” Alta melontarkan kemungkinan-kemungkinan atas perlakuan mama.

“Bisa jadi. Tapi bukannya itu justru bagus? Seingatku mama paling suka kalo aku mencoba hal-hal baru.” Aku berpikir sejenak. Alta mengernyitkan dahi. Teman sebangkuku ini ikut memutar otak.

“Kalo gitu, mungkin ballet bukan hal baru bagi mamamu. Mungkin ada sesuatu yang pernah terjadi tanpa kamu ketahui.” Aku merenungi ucapan Alta. Bisa jadi memang ada sesuatu yang tidak kuketahui. Selama ini mama cukup terbuka padaku. Kalau ada penolakan pada ide dan keinginanku, mama pasti mengutarakan alasannya dengan jelas. Tapi tidak jika kutanyakan perihal kelas ballet ini. Mama hanya berkata “tidak” tanpa kutahu apa alasannya.

“Terus gimana? Kamu jadi ikutan gak?”

“Tentu. Dari dulu aku pengen banget bisa nari ballet. Aku masuk SMA ini juga karena ada ekskul balletnya. Jadi gak mungkin dong aku nyerah gitu aja?” Alta tersenyum mendengar penuturanku yang begitu menggebu-gebu.

“Jam pulangnya gimana? Mama kamu kan suka nelponin sekolah kalo kamu telat.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebetulnya sama sekali tidak gatal, lalu mendesah keras nyaris putus asa.

“Nanti kita pikirin lagi,” kataku akhirnya.

***

Alunan musik dari kelas ballet menuntun langkahku menuju ruangan latihan itu. Aku mengintip di balik pintu. Barre dipenuhi siswi yang berlatih posisi berdiri dan melekukkan punggung. Dengan leotard biru menyala, pemandangan itu menggodaku untuk melangkah masuk. Entah mengapa, aku merasa begitu akrab dengan suasana seperti ini.

“Lerina?” Suara Miss Letta menyentakku. Ia tersenyum melihatku terkesima memandangi mereka.

“Ayo masuk!” katanya lagi. Aku mengangguk, lalu melangkah ragu-ragu mendekatinya.

“Kamu gak mau coba?”

“Hari ini belum, Miss. Ada jadwal privat. Sebentar lagi mama pasti jemput,” jawabku. Miss Letta tersenyum, lalu sibuk memasang pointe shoes-nya.

“Kamu harus cepat. Penerimaan anggota baru ditutup akhir minggu ini.” Miss Letta menepuk pundakku, lalu melangkah dengan anggun ke kerumunan anggota ekskul ballet yang telah menunggunya. Aku memandangi mereka lagi. Kali ini dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul begitu saja.

“Aku harus ikut, dengan atau pun tanpa izin mama,” tekadku.

Ma, Lerin kerja kelompok di rumah Alta. Nanti pulangnya dianterin.

Kukirim pesan singkat itu pada mama. Setelahnya, dengan mantap kakiku menuju Miss Letta. Aku yakin tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Aku ingin menjadi ballerina!

***

Aku berjingkat-jingkat, masuk tanpa suara. Aku tahu ini sudah terlalu sore. Suasana di kelas ballet yang begitu menyenangkan, membuat waktu terasa bergulir terlalu cepat. Aku amat menikmati latihan-latihan dari Miss Letta. Dengan chiffon skirt yang ia pinjamkan, aku merasa tubuhku begitu ringan. Seperti telah terbiasa, aku bahkan mampu mengenakan pointe shoes milik salah seorang senior. Padahal, menurut Miss Letta, sebagai pemula seharusnya aku mengenakan ballet shoes yang soft itu.

Aku memutar kenop pintu kamar dengan sangat pelan. Pintu kamar terbuka. Mama duduk di atas tempat tidur, melipat tangan di depan dada sambil menatapku tajam.

“Dari mana saja?” Suara mama menyemburkan amarah. Aku tak mampu menjawab. Tak pernah kulihat mama begitu menyeramkan seperti sekarang ini.

“Mama ke rumah Alta, kamu gak ada.” Tatapan dingin dari mata mata membuat tubuhku bergetar hebat.

“Berapa kali mama bilang, jangan ikut kelas ballet? Kenapa masih ngeyel?” Bentakan mama menggema di dalam kamarku. Sepertinya kali ini ia benar-benar marah.

“Kamu harus merenungkan kesalahanmu!” Mama mencengkram pergelangan tanganku. Ia menyeretku ke arah kamar gelap.

“Renungkan baik-baik!” Mama mendorongku masuk ke kamar hukuman ini. Sesaat kemudian, ia mengunci pintu. Dibiarkannya aku terpekur sendirian. Aku terisak. Kupandangi sekeliling. Gelap dan pengap. Butuh waktu yang cukup lama hingga kemudian mataku bisa melihat isi kamar hukuman yang tak pernah kuidamkan ini. Sejak kecil, jika melakukan kesalahan fatal, mama selalu menghukumku di sini. Tapi itu sudah tak pernah dilakukannya lagi sampai hari ini.

Sebenarnya apa salahku? Apakah menggemari ballet adalah hal yang benar-benar terlarang? Aku tak mengerti jalan pikiran mama.

***

Secercah cahaya mentari masuk dari celah-celah ventilasi. Aku membuka mataku. Sepertinya sudah pagi. Dan mama belum juga membukakan pintu, kejam sekali. Aku tak menyangka, mama benar-benar tega menghukumku seperti ini.

Aku memandang ke arah cahaya. Inilah petunjuknya, pikirku. Cahaya itu membuatku mampu melihat daun jendela. Aku berjalan mendekati jendela itu. Meski beberapa kali kakiku tersandung barang-barang bekas, aku tak peduli. Ya, hanya satu tujuanku kini. Aku akan melarikan diri!

Sedikit bersusah payah, akhirnya aku berhasil mencapai jendela itu. Kucari cara untuk membuka gerendel jendela yang telah berkarat karena lama tak dibuka. Aku berpikir sejenak, lalu melayangkan pandangan ke segala penjuru, berharap ada yang bisa dimanfaatkan untuk mendobrak jendela. Tapi mataku kemudian menangkap kotak besar di bawah meja. Entah mengapa, kakiku tiba-tiba saja sudah melangkah ke sana.

Aku menggapai kotak itu, lalu membersihkan debu-debu di atasnya. Begitu familiar. Itulah alasan yang membuatku tak ragu untuk membuka tutupnya. Ballet shoes berwarna pink, pointe shoes krem, leotard dan chiffon skirt beragam warna pastel, juga ballet stocking berwarna krem, putih, dan pink. Kepalaku mendadak sakit melihat benda-benda itu. Rasa mual dan keringat dingin makin memperburuk keadaanku. Lalu tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.

***

Kepalaku rasanya mau pecah. Sesuatu terasa ingin keluar, enatah apa dan bagaimana caranya. Aku pun tak tahu sekarang ada di mana karena sekali pun ingin, mataku seakan tak dapat terbuka. Ada gambaran dan suara-suara berisik dalam pikiranku. Aku melihat diriku yang lebih muda berbalut leotard biru dan ballet shoes pink berdiri di barre. Dengan rambut di-bun, keceriaan tercetak jelas di wajahku. Mama berdiri di hadapanku, tersenyum lebar.

“Lerina, jadilah ballerina mungil kebanggaan mama,” bisiknya.

Lalu gambaran itu menghitam, berganti gambaran lain. Kali ini aku yang sedikit lebih dewasa, mengenakan pointe shoes berwarna krem tampak kelelahan sehabis sesi pointe work. Mama ada di sampingku, setelah menyerahkan botol minum, ia memijit punggung kakiku yang memang terasa pegal.

Belum sempat kucerna semua gambaran itu, pemandangan dalam benakku berubah lagi. Aku berdiri di tengah panggung megah. Memegang ujung chiffon skirt, kuberi salam pada tiga juri di hadapanku, lalu bersiap memulai tarian. Namun tiba-tiba teriakan histeris menggema. Sebelum sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kurasakan sesuatu dari atas sana menghantam tubuhku. Seketika semuanya menjadi gelap.

“Harusnya mereka memastikan lampu panggug itu telah terpasang dengan baik. Aku akan menuntut penyelenggara kejuaraan ini. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu ceroboh?” Suara mama terdengar di sela-sela raungan sirene ambulans dan isak tangis orang di sekelilingku. Lalu semua kembali menghitam.

Rasa mual makin menjadi-jadi. Gambar bergerak itu muncul silih berganti, membuat kepalaku serasa ingin meledak. Lalu seberkas sinar memunculkan gambaran baru. Mama membungkuk di hadapanku. Perlahan-lahan gambar itu makin jelas.

“Kamu sudah sadar, Rin?” tanya mama. Aku mengerjapkan mata, benda-benda di sekitarku sudah tampak jelas. Aku yakin betul, kini aku berada di kamarku sendiri. Sesuatu yang tadi terasa ingin keluar dari kepalaku pun, kini sudah tak ada lagi.

“Kamu gak apa-apa kan, nak?” Mama memelukku. Isak tangisnya tumpah.

***

Pagi mendung, dingin, dan hening. Biasanya pagi-pagi begini mama telah siap dengan seragam kerjanya. Sembari menungguku membenahi peralatan sekolah, mama akan menyiapkan sarapan di meja makan. Tapi pagi ini tak kudapati mama di dapur. Ketika kucari ia di ruang tamu dan ruang keluarga, mama pun tak ada di sana.

“Ma?” Aku membuka pintu kamar mama, lalu berjalan menuju tempat tidur. Mataku terbelalak saat melihat sepatu ballet tergeletak di atas lantai. Sepatu itu milik mama ketika ia masih menjadi ballerina. Aku tahu pasti, sepatu kesayangannya itu adalah pemberian terakhir dari papa.

Aku tertegun memandangi sepatu itu. Seketika, kesejukan menjalari hatiku. Dari kaca jendela kamar mama, kulihat di luar sana hujan tumpah. Tetesan air yang jatuh di kolam membuat bunga teratai bergoyang-goyang, menari dalam hujan yang kian deras.

“Kamu mau menari, Rin?” Tiba-tiba mama muncul di belakangku. Ia mengenakan leotard pink dan stocking dengan warna senada. Di tangan mama, kulihat ada leotard biru milikku. Airmata tiba-tiba turun dari pelupuk mataku. Aku bahagia ketika mama menggenggam tanganku dengan erat.

“Kamu masih mau jadi ballerina seperti mama, kan sayang?” Aku mengangguk, tersenyum. Kuraih leotard dan pointe shoes-ku. Mama juga mengenakan miliknya. Di luar, teratai masih menari-nari dalam iringan hujan. Di sini, ada aku dan mama, menari sebagai dua ballerina. 
***

Kirim Naskah ke Tiga Serangkai

0 comments
Bagaimana cara mengirimkan naskah ke Tiga Serangkai?

Menjawab pertanyaan itu, baca baik-baik tulisan di bawah ini, ya...

1. Tiga Serangkai adalah penerbitan yang menerbitkan buku sekolah dan buku umum. Jika Anda ingin mengirimkan naskah ke Tiga Serangkai, pastikan dulu, naskah untuk buku sekolah (PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK) atau buku umum (anak, remaja, dewasa popular, reliji).

2. Untuk buku umum, Tiga Serangkai memiliki 4 creative imprint. Creative imprint inilah yang logonya tercantum dalam buku-buku terbitan Tiga Serangkai. Creative imprint Tiga Serangkai yaitu:

a. Tiga Ananda
Menerbitkan buku-buku untuk anak maupun remaja (maksimal usia 15 tahun), baik popular maupun reliji.
b. Tinta Medina
Menerbitkan buku-buku reliji dewasa
c. MetaGraf
Menerbitkan buku-buku popular dewasa (khusus nonfiksi)
d. MetaMind
Menerbitkan buku-buku fiksi popular remaja maupun dewasa
e. Tiga Serangkai
Menerbitkan Al - Qur'an

3. Jika Anda bermaksud untuk mengirimkan naskah kepada redaksi Tiga Serangkai, Anda dapat mengajukannya melalui e-mail atau mengirimkannya via pos. Alamat pengiriman via pos:

Tiga Serangkai General Book
Jl. Dr. Supomo No. 23 Solo 57141
Telp. 0271-714344
Faks. 0271-713607

Atau via e-mail ke:
tspm@tigaserangkai.co.id

4. Naskah yang dikirimkan hendaknya dilengkapi dengan surat pengantar, abstraksi/sinopsis naskah yang berisi gambaran singkat isi naskah, outline naskah, yaitu semacam daftar isi lengkap yang mengandung penjelasan tentang materi yang diuraikan setiap bagian, keunggulan atau keunikan naskah, pembaca sasaran yang ingin dicapai, serta portofolio penulis.

5. Naskah via pos dapat berupa hard copy maupun soft copy. Apabila hard copy diharapkan dijilid rapi, sedangkan soft copy bisa berformat Microsoft Word maupun PDF.

6. Jika Anda ingin mengetahui jenis naskah apa saja yang diterbitkan oleh creative imprint Tiga Serangkai, Anda dapat hunting ke toko buku atau mencari di internet buku-buku yang diterbitkan oleh creative imprint Tiga Serangkai.

7. Proses review naskah yang masuk ke redaksi Tiga Serangkai adalah 3 bulan. Akan tetapi, secara bertahap kami akan mengusahakan memberikan jawaban lebih cepat.

8. Naskah yang sudah dikirimkan kepada redaksi Tiga Serangkai tidak akan dikembalikan, kecuali dilengkapi oleh perangko balasan yang cukup (khusus via pos).

9. Info mengenai buku-buku terbaru Tiga Serangkai dapat dilihat melalui website www.tigaserangkai.com, FB Penerbit Tiga Serangkai, maupun Twitter @Tiga_Serangkai


Kirim Naskah ke Pustaka Al-Kautsar

0 comments
PUSTAKA AL-KAUTSAR GROUP, penerbit buku-buku keislaman bermutu, mengundang rekan sekalian untuk ikut mencerdaskan dan menginspirasi masyarakat melalui buku.
    • Buku Anak
    • Buku remaja;
    • Referensi Islam
    • Pengembangan diri (motivasi); Pernikahan; keluarga; pengasuhan anak (parenting); Kisah nyata/ memoar Panduan praktis, tips, dan motivasi
    • Hikmah dan kandungan ibadah
    • Gaya hidup islami Novel
    • Komik/ Novel komik remaja islami
    • Dll (Tema bebas asal sesuai dengan nilai-nilai Islam)
      Syarat Teknis Pengiriman 
      • Panjang halaman minimal sekitar 100-200 halaman untuk dewasa, dan 24-80 halaman untuk anak.
      • Diketik dalam format A4, spasi 1.5, margin 3 cm, font Times 12 point
      • Lengkapi dengan daftar isi dan data diri penulis
      • Untuk buku anak, lengkapi dengan konsep buku (bila berseri)
      • Untuk fiksi (termasuk komik), dilengkapi dengan sinopsis (ringkasan cerita)
      • Untuk komik/ novel komik disertai breakdown cerita per bab dan 5 contoh ilustrasi komik.
      • Dikirimkan dalam bentuk hard copy/ print out. Kecuali bila penulis berada di luar negeri, boleh dikirimkan melalui e-mail.
      • Cantumkan jenis naskah Anda di sudut kiri atas (fiksi/ non fiksi/ remaja/ anak/ parenting, dll)

      Kirimkan naskah Anda ke:

      Pustaka Alkautsar Group
      Jl. Cipinang Muara Raya No. 63, Jakarta Timur 13420

      Penilaian naskah akan memakan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung naskah diterima redaksi. Jika sampai tiga bulan tidak ada konfirmasi apa pun dari Pustaka Al-Kautsar, penulis berhak langsung menarik naskahnya. Print out naskah yang dikirimkan tidak dapat dikembalikan. Print out naskah yang tidak kami terbitkan akan kami musnahkan untuk menjaga hak cipta penulis.

      Keterangan lebih lanjut hubungi (021) 850 7590 ext. 23, e-mail: naskah_alkautsar@gmail.com


      Kirim Naskah ke Puspa Swara

      0 comments
      penerbit puspa swara  
      PUNYA NASKAH ANAK DAN REMAJA
      DAN INGIN JADI PENULIS TERKENAL?



      Kami menantang kamu menghasilkan naskah anak dan remaja yang orisinal, keren, dan unik serta wujudkan mimpimu menjadi penulis top dengan tema-tema berikut.

      KATEGORI ANAK
      Kategori Fiksi:
      • Akidah Islam
      • Akhlak Islam
      • Petualangan
      • Persahabatan
      • Keluarga
      • Hobi/kesenangan
      Kategori Non-Fiksi:
      • Akidah Islam
      • Akhlak Islam
      • Persahabatan
      • Keluarga
      • Hobi/kesenangan
      • Keterampilan hidup (life skill)
      • Kreativitas anak
      • Pengetahuan/sains
      • Referensi (kamus, ensiklopedia, buku pintar)
      KATEGORI REMAJA
      Fiksi
      • Novel bergenre romance (romance murni, romance inspirasi, dan romance komedi)
      • Novel fiksi sejarah, horor, inpiratif
      • Panjang naskah 90-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12
      Komik
      • Komik bergenre komedi/inspirasi
      • Tebal minimal 160 hlm
      Buku Komedi
      • Naskah bergenre komedi, umumnya based on profesi, pengalaman, atau sisi lain
      • Panjang naskah 70-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12
      Kriteria naskah:
      1. Naskah merupakan karya orisinal, bukan terjemahan, saduran, atau jiplakan.
      2. Memiliki cerita yang unik dan nggak pasaran.
      3. Naskah ditulis dengan logis dan sistematis.
      4. Memiliki peluang pasar (marketabilitas) yang bagus.
      Prosedur Pengajuan Naskah:
      1. Surat pengantar.
      2. Sinopsis.
      3. CV (Daftar Riwayat Hidup) dengan alamat lengkap nomor telepon yang dapat dihubungi.
      4. Keseluruhan isi naskah.
      5. Naskah boleh dikirim secara softcopy (via e-mail) ataupun hardcopy (pos) ke:
      E-mail: nur.ihsan@puspa-swara.com
      Pos : Redaksi Puspa Swara
      a.n. Nur Ihsan
      Perumahan Jati Jajar Blok D12 No.1 Cimanggis Jawa Barat 16452

      Sumber: http://octacintabuku.wordpress.com/2013/06/02/syarat-dan-cara-kirim-ke-penerbit-puspa-swara/

      Friday 7 June 2013

      Janji Sang Bayu

      0 comments
      Aku menunggumu, seperti biasa. Seperti saat-saat dulu, semasa kita bersama. Ketika angin berhembus menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon Jarak. Ketika air pasang di bawah jembatan tempat kita berdiri, tegak. Ketika tanganmu dengan lincah menggerakkan nilon ke kiri dan kanan. Ketika itulah aku akan tersenyum memandangimu dan memandangi layang-layang, bergantian. Langit biru menjadi saksi bisu, betapa aku diam-diam mencintaimu.

      “Aku ingin menerbangkan layang-layang sepertimu. Kapan kau akan mengajariku, Bay?”

      Kau hanya mengulum senyum tiap kali kulontarkan pertanyaan itu. Sepertinya kau memang tak pernah berniat mengajariku. Entah mengapa.

      “Anak perempuan itu main boneka, Nila. Di dalam rumah, bukan di sini. Matahari akan membakar kulitmu. Kalau kulitmu gosong, mana ada lelaki yang mau,” jawabmu jika aku benar-benar memaksa ingin tahu. Kau akan terkekeh melihatku yang bersungut-sungut lantaran mendengar jawaban yang menurutku sangat tidak masuk akal itu.

      “Lalu mengapa kau tak pernah mengusirku pulang?”

      Aku memang tak pernah ingin menyerah demi menyelami perasaanmu, meskipun aku tahu kau hanya akan menghadiahiku sebongkah senyum lagi sebagai jawaban atas pertanyaan yang selalu sama, nyaris kulontarkan setiap hari.

      Tapi tetap saja, tak pernah kudapati jawaban dari bibirmu. Sampai sore. Pun ketika langit mulai jingga, ketika burung-burung mencari jalan pulang, ketika kau mengemasi nilon dan layang-layang sebelum toa masjid mengumandangkan panggilan Maghrib. Ketika itulah aku pun mengemasi cintaku. Kusimpan rapat-rapat dalam hati yang telah penuh sesak olehmu.

      ***

      “Nila….”

      Lalu sore itu kau memanggilku dengan nada yang tak biasa. Tak ada layang-layang. Tak ada nilon yang biasa kau pegang. Entah mengapa tiba-tiba kurasakan udara di sekitar kita mengering, menimbulkan perasaan aneh yang membuatku mendadak takut. Takut kehilanganmu.

      “Ayuk Ya menguliahkanku di Palembang. Minggu depan aku berangkat.”

      Kudengar suaramu menggeletar saat kau ucapkan kalimat itu. Sepotong kalimat yang seketika menghancurkan hatiku.

      Tak ada yang mampu kukatakan, kulihat kau pun begitu. Sampai mentari tenggelam sebelum azan Maghrib berkumandang, kita masih saja terdiam. Kau dan aku membisu, memandangi layang-layang lain yang mendarat satu per satu.

      “Tunggu aku, Nila. Setamatnya kuliah, aku akan mencarimu,” ucapmu lirih. Kau mengangkat kelingking kananmu tinggi-tinggi di hadapanku.

      Aku tak mampu berkata sepatah kata pun karena perasaan yang bergejolak di dadaku rasanya begitu menyesakkan. Hingga bila kulontarkan kata, aku takut akan ada air mata yang turun mengaliri kedua belah pipiku. Dan aku tak mau kau melihat itu.

      Aku hanya bisa memaksakan senyum, mengangguk dengan kuat seraya mengaitkan kelingkingku pada kelingkingmu.

      “Sampai kapan pun, aku akan menunggumu,” batinku.

      Kita menikmati jari kelingking yang masih saja bertautan, cukup lama. Hingga kemudian Maghrib memanggil kita untuk pulang.

      ***

      Setelah kepergianmu ke kota, tiap sore masih kulewati seperti biasa. Menikmati angin sepoi yang memain-mainkan rambut ikalku. Dari atas jembatan, kulihat air pun beriak karena angin yang tadinya sepoi, kadang mendadak berubah kencang. Dedaunan bergesekan, seolah menyenandungkan rinduku padamu yang kian hari kurasa kian berloncatan, keluar dari hatiku yang makin penuh sesak olehmu. Kuharap, angin yang kurasakan ini bisa membawanya sampai kepadamu.

      “Nila, ayo pulang!”

      Angin tiba-tiba saja mengering ketika Ayuk Ya lagi-lagi memergokiku di sini. Kakak perempuanmu itu entah mengapa selalu saja memandangku iba. Ia akan memasang tampang memelas, memintaku meninggalkan jembatan ini, melarangku menunggumu lagi.

      Dan aku selalu menjadi tak tega jika ia sudah begitu. Aku akan pulang bersamanya sambil berjanji dalam hati bahwa besok aku akan kembali lagi, menunggumu di sini.

      ***

      Lantunan Tahlil terdengar begitu nyaring dari sini. Rumah kita yang hanya dipisahkan oleh pohon rambutan, membuat ayat-ayat dari rumahmu itu menyusup masuk ke rumahku. Anehnya, aku merasa dadaku begitu sesak karena itu. Pipiku menjadi hangat, kemudian disusul mataku yang mulai berair. Cepat-cepat kuseka sebelum ada yang melihat.

      Aku tak tahu perasaan apa yang tengah melandaku. Kurasakan emosiku mendadak meledak saat kudengar tetangga yang melintasi rumahku menuju rumahmu berbisik-bisik menyebut nama kita. Lalu ketika mata kami bertumbukan, mereka langsung menundukkan kepala sambil mempercepat langkah kakinya menuju rumahmu.

      ***

      Dan sore berikutnya aku kembali lagi. Menunggumu di jembatan tempat kita biasa menerbangkan layang-layang, berdua. Kuingat-ingat saat terakhir kalinya kita bersama. Hari itu adalah hari kepergianmu dari kampung halaman kita.

      “Aku ingin jujur,” katamu tiba-tiba. Jantungku berdegub kencang karenanya.

      “Aku tak ingin kau menerbangkan layang-layang karena aku senang melirikmu dari sudut mataku. Aku senang melihatmu memperhatikanku, Nila. Karena itu pula aku tak pernah mengusirmu.”

      Kau menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan, “Kupikir, kalau kulitmu gosong karena menungguiku main layang-layang, itu akan bagus untukku. Bukankah dengan begitu aku akan jadi satu-satunya lelaki yang menyukaimu?” Kau terkekeh. Semudah itu kau utarakan panjang lebar tentang perasaanmu. Sementara aku mematung, menata hatiku yang makin tak karuan karenamu.

      “Nila, tunggu aku. Aku akan kembali untukmu.”

      Lirih suaramu terdengar lagi. Mataku nanar, cairan bening perlahan turun tak terbendung.

      Kau tahu, Bayu? Aku tak peduli meski semua orang bilang bahwa kepergianmu ke Palembang telah memisahkan kita untuk selamanya. Aku tak peduli meski mereka tak suka melihatku setia menungguimu setiap hari. Aku tak peduli, Bayu. Yang kutahu, di sini kau berjanji bahwa kau akan kembali, mencariku.

      “Nila, berhentilah menyiksa dirimu sendiri! Sudah empat puluh hari, kau harus bisa mengikhlaskan kepergiannya!”

      Ayuk Ya muncul lagi, mengubah suasana hatiku yang tadinya teduh, menjadi kering kembali.

      “Kau harus bisa terima kenyataan, Nila. Kecelakaan kereta waktu itu telah mengambil Bayu, pergi selamanya dari kita!”

      Kudengar isak tangis Ayuk Ya di sela suara sumbangnya tentangmu. Aku tak peduli. Aku tak mau percaya pada apa yang diutarakannya.

      Yang kupercaya hanya satu, Bayu.

      Janjimu.

      Dan janji itulah yang setiap hari membuatku berdiri di sini, menunggumu seperti biasa. Seperti saat-saat dulu, semasa kita bersama. Ketika angin berhembus menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon Jarak. Ketika air pasang di bawah jembatan tempat kita berdiri, tegak. Ketika tanganmu dengan lincah menggerakkan nilon ke kiri dan kanan. Ketika itulah sesungguhnya aku ingin mengatakan, “Aku mencintaimu, Bayu!”

      *** 
      Diterbitkan sebagai penulis tamu dalam buku
      Sensei Cenat-Cenit, 27 Aksara 2013

      Buku solo Chika Chan
       

      Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal