Alhamdulillah... siang tadi dapet sms dari Aya kalo cerpen Japan in Love-ku lolos. Bener-bener gak nyangka, soalnya aku sempet pesimis mengingat ini kali pertama ikutan event mayor sekaligus juga kali pertama bikin cerita setting Jepang. Walaupun belum berhasil jadi yang terbaik, tapi masuk 76 besar dari 700-an naskah itu rasanya sesuatuuu :D
Nah, beberapa jam kemudian ada postingan sang Juri analisis tentang cerpen Teru Teru Bozu yang berhasil memboyong notebook Asus itu. Buat pelajaran, kubaca sampe tuntas. Menurutku inilah kunci buat lolos event mayor kayak gini. Kalo dipelajari, bisa jadi bekal buat ikut event-event Diva berikutnya.
Cekidot!
ANALISIS CERPEN “TORU-TORU BOZU” KARYA RAFANDHA (CERPEN TERBAIK LOMBA #JAPANINLOVE)
#JapanInLove adalah sebuah lomba mengarang cerpen
berlatar Jepang yang digelar hanya 10 hari (tanggal 20-30 Maret 2013) oleh DIVA
Press. Saya sendiri menjadi jurinya. Berdua dengan penyair Mas Toan Achmad Muchlis Amrin, si ahli puasa Daud, suami Nyai Zizi,
ayah gus Fawa. Tahu berapa naskah
cerpen yang harus saya seleksi? Lebih dari 700 cerpen!
Saya menilai dan memutuskan cerpen yang “layak
terbit” hanya dalam 9 hari! Gimana cara menjurinya? Jangan-jangan....aiihhh...trektekdungcess... (sorry, saya menulis analisis cerpen ini sambil dengerin lagu
dangdut koplo Tak Tunggu Balimu di-repeat permanen!)
Oke, tentu subyektivitas ada. Iya dong, saya kan
masih hidup, berpikir, berempati, niscaya saya nggak bakal pernah bisa memisahkan
diri dari subyektivitas. Tetapi, saya sengaja menulis anlsisis cerpen ini
supaya jadi pengetahuan buat semua peserta lomba-lomba DIVA Press yang telah
dan atau akan diadakan bagaimana cara saya melakukan penilaian.
Maafkanlah wahai
sayangku...terpaksa meninggalkanmu...hookk hookk
Aku tak membenci dirimu dan
melepaskan cintamu...
Kau tahu diriku kutahu
dirimu... #jare sopo...traktakdesss...
#Enakbangetsumpahkoplonya!
Oke, lanjut!
Bayangkan, membaca 700-an cerpen dalam 9 hari?
Saya melakukannya dengan cara saya sendiri!
Pertama, setiap cerpen yang pada paragraf
pertamanya saja sudah amburadul teknik, kalimat pembuka, bertele-tele, typo seabrek, tanpa ampun saya buang!
Nggak perlu lagi deh baca ke halaman kedua, apalagi sampai habis, hanya
buang-buang waktu. Penulis yang ginian pastilah kemampuan tekniknya masih
rendah atau tipe penulis yang abai terhadap detail dan tidak membaca ulang
karyanya! Yang ginian nggak bakal jadi penulis keren!
Kedua, cerpen-cerpen yang berhasil lolos
halaman pertama, saya lanjutkan baca. Jika saya menemukan keganjilan teknik
atau logika cerita, saya toleransi sehalaman lagi. Jika tidak berhasil dijawab
keganjilan itu, saya buat pesawat-pesawatan kertas dong! Mengapa cuma sehalaman?
Bisa saja kan jawabannya ada di halaman sekian? Oke, ini cerpen, cerpen,
cerpennnnn atuuhh, yang terbatas
halamannya, bukan novel!
Ketiga, yang berhasil lolos seleksi awal ini,
saya cermati kekuatan logika ceritanya. Betapa seabrek yang nggak penting benar
menjadikan alur tabrakan-tabrakan sebagai logika cerita ketemuan cowok dan
cewek. Hadeehh, kalau benar di alam nyata ini gara-gara tabrakan orang lalu
mudah dapat pacar, pastilah para jomblo akurat yang anyep seanyep-anyepnya sejak lahir itu sudah menabrakkan diri dari lama
kali. Jika pengen dapat pacar bermobil, tentu cukup menabrakkan diri pada mobil
dong! Jika pengen dapat suami sopir truk molen kayak cita-cita @AvifahVe, ya
cukup menabrakkan diri ke trukj molen to.
Keempat, saya cermati “kekuatan latarnya”.
Bagaimana pun, tema lomba ini adalah #JapanInLove, tentu bau Jepangnya harus kerasa
tengik banget kan. Bukan cuma sok beraroma Jepang. Ini sekaligus membedakan
antara penulis yang doyan menggali data dan tidak. Yang mikir tentang Sakura
dan Hanami seabrek, otomatis kompetisinya sangat keras. Kenapa nggak mikir yang
lain, yang juga Jepang, kayak Teru-Teru
Bozu Rafandha ini? Unik, segar! Atau, kenapa juga nggak mikir untuk
menuliskan ide Miwon, Ajinomoto, Rinso, Kroto gitu sih?
Begitulah saya menilai dengan cepat. Pasti, metode
saya debatable secara ilmiah, tapi
saya sih asyik-asyik aja atuh, bodoh teuing atuh mah, toh saya yang
jadi jurinya kan. At least, saya
punya metode tertentu, dan inilah hasilnya!
Mengapa Teru-Teru
Bozu Kupilih sebagai yang Terbaik?
Opo wes tego sliramu
Misahke roso tresno…
#Asyiiikkk…trak-trak…
Beberapa
“kecerdasan penulis” dalam cerpen Teru-Teru Bozu Rafandha yang saya catatkan di sini:
Pertama, pilihan idenya genius! Saat orang
berpikir bahwa Jepang adalah tentang Sakura, Hanami, Tokyo, Kyoto, salju,
Kagawa, Miyabi (hoo...oohhh),
Rafandha sangat genius memilih Teru-Teru
Bozu (boneka penangkal hujan menurut kepercayaan masyarakat Jepang, yang
bila dipasang terbalik, dipercaya dapat
menurunkan hujan). Nggak pasaran! Nggak expired!
Unik, segar, nyeleneh, no mainstream,
dan itulah memang ciri penulis cerdas!
Kedua, kalimat pembukanya sangat tidak
bertele-tele, sok puisiwanisme J, tetapi langsung menohok, menusuk,
menghunjam, menjleb, menerjang, menghantam, menerkam, mengiris,
menginternalisasi, mengintercourse
rasa penasaran pembacanya.
Simak ini:
“Itu…
teru-teru bozu, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dipasang terbalik?”
“Biar hujan.”
Sangat
menggoda rasa ingin tahu! Bandingkan dengan kalimat pembuka kajol sejenis gini:
Vivi, my honey, ahhhhh…
Betapa matahari adalah pusat cahaya yang
begitu agung bernama matahari. Begitu pun cintaku padamu yang menyimpan
matahari agung di dalamnya, sedalam kusimpan rahasia hidupku bahwa aku adalah
tukang tukar sandal di masjid setiap shalat Jum’at….
Opo iki, opo iki, ikiii opoooooo!!! Cerpen
kok ngene iki, opo iki opo ikiiii…. #gemes!
Ketiga, kekuatan setting Jepang yang sangat lebur. Fusion of horizons (istilah tokoh Hermeneutika Filosofis Hans-Georg
Gadamer) antara Rafandha selaku penulis yang orang Palembang
(kutahu kok Bim, kamu tinggal di desa pula! J), yang Jakarta aja
kagak pernah tahu, apalagi Jepang, dengan penggalian data kultur Jepang yang
serius menghasilkan “kawinan” yang benar-benar beranak taste Jepang!
Keempat, alur cerita begitu mengalir
sedemikian enaknya untuk dicicip oleh siapa pun pembacanya, dengan latar
pengetahuan macam apa pun. Anak
SD pasti juga paham baca cerpen
ini. Apalagi anak tua yang kelakuannya masih bocah SD, kayak @DenmasTono
@DebbyNiken @rezanufa @srangga2 @RiriAlie @endikooeswoyo, pasti pahaammmm!
Jangan
membayangkan bahwa alur ceritanya lantas begitu landai sehingga enak banget
dibaca. Tidak! Kekuatan utama cerpen ini justru bukan ada di situ, tapi
bagaimana Rafandha menyelipkan suspensi-suspensi yang mengejutkan, layaknya
keperkasaan VR46 melipat Pedrosa dan Marquez di Losail Qatar kemarin (coba
kalau Lorenzo nggak penakut lari duluan gitu, pasti dilibas juga dia atuh). Liat Lorenzo ngacir sejak
pertama, apa coba gregetnya? Garing! Tapi coba lihat Rossi yang penuh suspense, subhanallah atuh kan gregetnya, passion-nya, gaharnya di dada! Ya,
itulah beda Rossi ma yang lain atuh…
Kejutan,
sentakan, begitu tubi hadir di antara aliran cerita yang lancar. Dan tentu,
untuk bisa melakukan ini, diperlukan kekuatan teknik, kematangan ide, dan
pembacaan berulang-ulang untuk memperdalam ide dan mengoreksi
kelemahan-kelamahan. So, nggak
bosen-bosen kan
saya selalu ngomong (jika ngeyel
tentu perlu pake terapi diacuhin deh) bahwa SANGAT PENTING untuk mendinginkan
dulu karyamu, mendiamkan dulu beberapa jenak, lalu membaca ulang dan ulang lagi
karyamu. Jangan gragas begitu jadi
main send and send, wah itu pasti
banyak boroknya!
Simak ini:
Gadis itu sepertinya sudah
selesai melakukan tugasnya. Ia langsung saja berlari kecil menjauhiku.
Aku menatap boneka teru-teru
bozu yang dipasangnya di pohon itu.
Boneka itu…
Memasang ekspresi sedih.
Lalu:
“Karena...karena hanya
setelah hujan aku bisa bahagia,” ujarnya pelan.
Aku melihat matanya
berkaca-kaca. Seperti akan ada air yang jatuh dari sudut matanya.
“Maksudmu?”
“Aku harus pergi.” Ia
bangkit dari tempatnya duduk, lalu langsung pergi.
Lagi-lagi, aku berujar dalam
hati, apa yang membuatnya demikian?
Kelima, pesan moral. Tentu,
subyektivitas penulis menghasratkan penyampaian pesan moral dalam karya,
termasuk dalam Teru-Teru Bozu ini. Pesan moral apa pun silakan, itu subyektif.
Tapi yang penting, penulis tidak perlu menjadi ustadz dalam karyanya, jadi juru
khutbah. Dan Teru-Teru Bozu berhasil
melakukannya dengan sangat piawai. Tanpa sadar, begitu smooth, pembaca terasuki oleh pesan moral Rafandha, dan di sinilah
bedanya karya fiksi dengan non-fiksi. Sebuah karya fiksi yang tidak hanya
mengusung kisah, tapi juga inspirasi yang smooth
dan bermanfaat bagi pembacanya.
Keenam, pemecahan konflik. Yang menarik
lagi dari Teru-Teru Bozu ini
ialah alur adegan saat si “aku” memecahkan masalah utama (konflik tokoh) si
gadis itu dengan cara yang sangat alamiah, logis, kreatif. Di akhir analisis
ini, saya sertakan cerpen utuhnya untuk Anda baca sebagai pembuktinya.
Ketujuh, kecerdasan ending. Teru-Teru
Bozu begitu hebat dalam
mengakhiri ceritanya. Benar, dikisahkan juga si tokoh ini saling jatuh cinta.
Tapi tidak disajikan dengan klise dan
pasaran.
Itulah hasil
analisis saya, boleh setuju boleh tidak: kuharap
dirimu mengerti diriku tak mungkin kita terus begini…traktakdesss…
Kekurangan
cerpen Teru-Teru Bozu
Rafandha sudah saya emailkan langsung ke penulisnya. Itu pun hanya menurut saya
ya.
Berikut kutipan lengkap cerpen Teru-Teru Bozu Rafandha:
Teru-Teru
Bozu
Rafandha
“Itu… teru-teru
bozu, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dipasang
terbalik?”
“Biar hujan.”
***
Komaba-Todaime, Meguro, Tokyo
Fuyu, 35oC
Aku mengayuh sepedaku
secepat angin ke Komabano Park. Udara musim panas di Tokyo sangat menyengat
hari ini. Di saat orang Jepang yang lainnya berbondong-bondong menuju pantai,
aku lebih memilih ke sungai Meguro di Komabano Park.
Komabano Park sendiri jadi tempat magis bagiku.
Pertama kali aku ke Tokyo, hal yang menggelitikku adalah gerbang taman ini.
Gerbang Komabano Park terdiri atas dua bagian. Sebelah kanan dan kiri. Di gerbang
sebelah kanan, dibuat bentuk
padi-padi yang sedang berkembang dan burung-burung yang beterbangan. Sedangkan
sisi sebelah kirinya, padi-padi tersebut masih ada, namun terdapat kakashi yang berdiri tegak. Jadi bila
digabungkan, gerbang itu seperti replika sawah.
Komabano Park tampak lengang dan aku pun mempercepat
langkah. Suasana Komabano Park tak ubahnya sebuah taman tanpa rimbun pepohonan.
Pohon-pohon sakura sudah gugur sejak akhir musim semi lalu.
Lama
aku mengayuh sepeda. Aku
tertarik pada satu sosok yang tampak sedang berusaha meraih cabang pohon Sakura
di pinggir Sungai Meguro.
Penasaran, aku menghampirinya.
“Itu… teru-teru
bozu, kan?” aku bertanya ketika melihat satu boneka putih di kepalan tangannya yang
mungil.
Dia menoleh menghadapku sekilas, lalu kembali ke posisinya semula.
Aku mendadak diam melihat apa yang dilakukannya.
Tali yang menggantung di teru-teru bozu
itu berada pada posisi tidak biasa.
“Kenapa
dipasang terbalik?” tanyaku heran setelah memastikan apa yang aku lihat itu
benar.
“Biar hujan,” jawabnya pendek.
Aku mengerenyitkan dahi, menatap gadis di
hadapanku yang sedang menggantungkan boneka berkepala gundul itu di sebuah
pohon sakura di Komabano Park. Setahuku, orang-orang Jepang
sangat membenci hujan. Sama sepertiku. Kebanyakan orang-orang Jepang mengutuk
butir-butir air itu.
“Kau suka hujan?” aku bertanya heran.
Gadis itu menggeleng. “Iie,” ujarnya sambil
berusaha mengikatkan simpul pada pohon itu.
Aku hanya mengamati parasnya. Yang paling
membuatku terkesan adalah potongan rambutnya yang dibuat pendek model bob dengan poni yang lurus menutupi
keningnya dan pipinya yang membuatku gemas setengah mati: seperti mochi.
“Jadi?”
Gadis itu sepertinya sudah selesai melakukan
tugasnya. Ia langsung saja berlari kecil menjauhiku.
Aku menatap boneka teru-teru bozu yang dipasangnya di pohon itu.
Boneka itu…
Memasang ekspresi sedih.
***
“Masih memasang itu?”
Aku melihat gadis itu pada hari berikutnya. Ia
memakai kimono musim panas atau yukata berwarna merah muda, berdiri di depan pohon sakura yang sudah
meranggas. Kemarin, hari sangat cerah, bahkan cenderung panas. Jadi dapat
disimpulkan, teru-teru bozu-nya tidak
berhasil kemarin.
“Seperti yang kau lihat,” ujarnya sambil mengangkat bahu.
Aku lantas mendekat padanya, membantunya
mengaitkan boneka itu ke pohon. “Tsuyu baru
saja berakhir dua minggu lalu di Tokyo. Dan, kau pikir hujan akan turun?”
Ia melirikku sekilas. “Apa salahnya berharap?” ia berkata santai.
“Memang sih. Tapi, harapan kadang membuatmu buta.
Tidak berpikir realistis,” sanggahku menjawab pertanyaan darinya.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir
mungilnya. Aku pun tidak berusaha untuk membuka percakapan.
“Arigatō
gozaimasu,” ucapnya sambil
membungkuk.
Aku tersenyum kecil. “Dō itashimashite.”
Dia kemudian duduk di rerumputan. Aku pun
mengikutinya.
“Buat apa melakukan ini?” aku bertanya sambil mengerenyitkan dahi.
Dia menoleh menatapku. Rambutnya melayang dengan
sempurna diterpa embusan angin.
“Melakukan apa?” tanyanya balik sambil
mengerlingkan matanya.
“Kau bilang tidak suka hujan, mengapa kau malah ingin
hujan turun?”
Sungguh aneh konsep yang ada di kepalaku.
Bagaimana bisa orang yang tidak menyukai sesuatu, tapi mengharuskan sesuatu itu hadir.
Ia menengadahkan kepalanya ke atas. Seperti
memikirkan sesuatu.
“Karena...karena hanya setelah hujan aku bisa
bahagia,” ujarnya pelan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Seperti akan ada
air yang jatuh dari sudut matanya.
“Maksudmu?”
“Aku harus pergi.” Ia bangkit dari tempatnya duduk,
lalu langsung pergi.
Lagi-lagi, aku berujar dalam hati, apa yang membuatnya demikian?
***
Hari ini, hujan turun rintik-rintik.
Aku mengamati butir-butir air itu dari balik
jendela kamarku. Aku tidak suka hujan. Hujan melambatkan semua hal, termasuk
waktu. Aku akhirnya lebih memilih mengambil game
portabel dari lemari sambil
menyetel lagu AKB 48– Gomen-ne Summer.
Hari ini, hujan turun rintik-rintik.
Mendadak aroma hujan mengingatkanku pada gadis
itu. Pastilah saat ini ia sedang tersenyum bahagia melihat teru-teru bozu-nya berhasil. Atau, mungkin saat ini ia sedang menari-nari di bawah
hujan? Ataukah ia lebih memilih meringkuk di kasur, mengenakan selimut tebal,
lalu memainkan game portabel sepertiku?
Pikiran-pikiranku tentangnya membayang seiring
turunnya hujan. Yang jelas, pastilah ia sedang bahagia sekarang.
Tunggu,
mengapa aku memikirkan gadis itu?
***
Rasa penasaran membawaku kembali ke Komabano Park
keesokan harinya. Entah mengapa aku mengharapkan sosok gadis itu datang.
Dan sesuai perkiraanku, gadis itu memang ada. Di
tempat yang sama dua hari lalu.
“Mengapa datang lagi?” tanyaku heran. Kemarin
hujan, seharusnya ia tidak datang ke sini lagi untuk memasangkan boneka itu.
“Kemarin, tidak ada dia,” ujarnya tanpa ekspresi.
Ia hanya memandang lurus ke depan.
“Dia?”
“Hai.”
Aku semakin tidak mengerti. Dia? Siapa dia?
Mendadak, ada yang meledak-ledak di ulu hatiku. Namun entah. Aku tidak bisa
mendeskripsikannya.
“Maksudmu?” aku bertanya lagi. Penasaran.
Pernah merasakan ketika kau bertanya sesuatu dan kau
mengharapkan jawaban darinya, sementara di sisi lainnya kau malah tidak ingin mendengarnya?
Aku sukar mengatakannya. Tapi yang jelas, begitu keadaanku saat ini.
“Niji
ga arimasen.”
“Eh?”
“Kemarin, tidak ada pelangi.”
Aku merasakan ledakan-ledakan tadi langsung
diguyur air es dingin.
“Kau..., selama ini...hanya pelangi?” Aku berusaha menenangkan perasaanku sendiri.
“Ya, pelangi.”
“Hanya pelangi? Kau mengharapkan sesuatu yang sama
sekali tidak kau suka hanya untuk melihat pelangi?”
Dia menatapku tajam.
“Jangan kau pikir segalanya semudah yang kau bayangkan,” bentaknya keras.
Ia mulai bangkit dari tempat kami duduk, lalu beranjak pergi. Aku pun langsung
menahannya.
“Kenapa?” tanyaku pelan, merasa bersalah.
Aku membalikkan badannya.
Ia...menangis?
“Gomen
nasai,” ucapku.
Ia menyapu air mata dari pipinya. “Daijōbu desu.”
“Kau tahu, perempuan itu adalah orang yang paling
susah dalam menyembunyikan perasaannya. Dan jika kau berkata kau baik-baik
saja, aku tidak melihatnya demikian.” Aku menarik napas panjang. “Kau...kenapa?”
tanyaku hati-hati.
Aku mengajaknya kembali duduk. Namun saat ini,
kepalanya menyandar di pundakku.
“Okaa-san
bilang, pelangi adalah jalan menuju surga,” ia membuka ceritanya, “saat kau
tidak ada lagi di dunia ini, kau akan menjelma jadi satu dari warna pelangi
itu.”
Aku mengangguk paham. Aku pernah dengar tentang
mitos itu dari ibuku ketika aku kecil.
“Okaa-san bilang, kita bisa
menemui orang-orang yang tidak ada itu saat datang pelangi. Dan itu yang sedang
aku lakukan sekarang. Aku...sedang berusaha bertemu Okaa-san.”
“Dia?”
“Meninggal, dua minggu lalu. Saat tsuyu. Hujan-hujan. Ia...tertabrak truk.”
Aku bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut
matanya. Refleks, aku
menyekanya dengan tangan kananku.
“Maka dari itu..., aku selalu ingin bertemu dengannya lagi. Aku...hanya
ingin melihatnya lagi,” ujarnya sesengukkan.
Aku mendekapnya erat, tidak bisa berkata apa-apa.
Dalam diam, aku berbicara.
“Menangislah. Buat apa berpura-pura kuat?
Menangislah karena memang kau ingin menangis. Itu akan membuatmu lebih baik,”
aku berujar sambil mengusap-usap kepalanya.
Dan, ia menangis.
Dan, itu adalah nyanyian paling pilu dalam hidupku.
***
Pompa
angin dan kaca.
Aku memasukkan barang-barang itu ke dalam tas
selempang yang kukenakan, lalu
mengayuh sepeda ke Komabano Park.
Dia
pasti masih di sana.
Pasti.
***
“Sudah kuduga, kau akan datang kembali ke sini,”
aku berujar ketika melihat gadis itu.
Tidak ada yang berubah darinya. Masih tanpa
ekspresi. Masih tanpa senyum. Masih...sedih.
“Ayo ikut aku sebentar.” Aku menarik tangannya ke
sisi Sungai Meguro.
Sensasi dingin langsung menyambar ke kaki kami
berdua ketika aliran sungai memecah di kaki.
“Duduk di sini,” perintahku sambil menunjuk satu
tempat di pinggir sungai itu.
Kukeluarkan alat-alat yang sedari tadi ada di tas
selempangku. Pompa air dan kaca.
Aku menaruh kaca di sisi lain sungai. Sinar matahari langsung terpantul
mengikuti aliran sungai. Yang kedua, aku ambil pompa angin dari tasku lalu
mulai mengisinya dengan air Sungai Meguro.
Semoga
berhasil, aku berdoa
dalam hati sambil mengarahkan pompa itu ke sinar matahari yang dipantulkan oleh
kaca.
Gadis itu menatapku heran, namun aku tidak peduli.
“Kau tahu, aku pernah merasakan kehilangan.
Ayahku, beberapa tahun lalu. Aku memang sedih, sungguh. Seolah-olah semua jadi
hancur berantakan. Sama sepertimu.”
Aku kemudian menyemburkan air dari pompa yang ada.
Butir-butir air itu langsung saja menimpa sinar matahari, membentuk spektrum-spektrum warna-warni: pelangi.
Ia tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan.
Aku bisa melihat ia sesenggukan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku hanya ingin kau tahu, kebahagiaan itu diciptakan. Bukan
menunggu dengan sendirinya. Kebahagiaan itu ada dalam diri setiap orang. Bukan
bergantung pada hal lainnya,” jelasku panjang lebar.
“Kini, kau tidak perlu menunggu hujan terlebih
dahulu, baru kau bisa melihatnya. Kau tidak perlu lagi berpura-pura menunggu
hal yang sama sekali tidak kau sukai untuk melihat hal yang kau suka. Kau hanya
perlu terbuka, untuk melihat sekelilingmu. Melihat kebahagiaan di sekitarmu.”
“Dan, jika kau sudah bisa melakukan itu, kau akan
bahagia,” tutupku.
Aku melihat ia menunduk. Dan perlahan, air mata turun dari pipinya.
Kami berdua membisu. Aku pun menghampirinya.
“Arigatō
gozaimasu. Terima kasih sudah
membuatku sadar,” ujarnya sambil mengusap air mata di pipinya. Ia kemudian
menegakkan kepalanya, lalu
tersenyum.
Melihat itu, aku ikut tersenyum. Dadaku mendadak
bergetar hebat. Ada perasaan seolah-olah ketika melihat senyumannya, semua hal
indah di dunia ini kalah akan kehadirannya. Keindahan yang melebihi seribu pohon
sakura yang bermekaran serentak.
“Siapa namamu?” tanyaku gugup. Entah apa yang aku
gugupkan. Aku hanya merasa...
...gugup.
“Mit...Mitsuko Ka..Katone,” ia menjawab
terbatas-bata. Seketika mukanya bersemu merah seperti buah plum.
Aku tertawa geli melihatnya seperti itu. “Aku tahu
mengapa kau tidak suka hujan,” ucapku padanya.
“Katamu pertama kali, semua orang Jepang membenci
hujan,” ujarnya yang mulai berani menatapku.
“Berbeda kasus denganmu. Mitsuko berarti
cerah. Kau pasti benci hujan,” aku berkata sambil
tersenyum lebar.
“Dan...memang benar…. Suaramu sangat indah seperti kotone. Alunan harpa,” lanjutku.
Ia tampak salah tingkah aku puji seperti itu. Aku
bahkan heran sendiri, dari mana kata-kata itu keluar. Mengapa aku mendadak romantis? Tunggu, romantis?
“Namamu?” tanyanya balik kepadaku.
“Hisashi Masaki.”
“Cocok.”
“Eh?”
“Kau memang seperti kayu besar. Tempat semua orang
bersandar.” Ia mengerlingkan matanya yang bulat dan teduh itu.
Kali ini, giliranku yang salah tingkah. Untuk mengisi kekosongan, aku mengambil teru-teru bozu itu dari tangannya. Ia
tampak heran dengan apa yang aku lakukan, namun ia biarkan.
Aku mengambil spidol dari tas selempang yang
kubawa, lalu kucoretkan sebuah lengkung ke atas di bawah gambar hidung yang
dibuatnya.
Ia mengerenyitkan dahi. Heran. Namun, aku tetap tidak
peduli.
Setelah selesai, aku pun lantas menggantungkannya pada pohon sakura di belakang kami.
“Aku harap besok cerah,” kataku pelan.
Ia tampaknya mendengar apa yang aku ucapkan,
lalu tersenyum kecil.
Semoga tidak ada lagi hujan di matanya,
aku merapalkan harapan-harapanku.
Setelah memasangkannya ke atas pohon, aku berbalik
menatap Mitsuko-san, lalu
menggenggam tangannya.
“Mitsuko-san, besok, maukah kau berkencan
denganku?”
*) Cerpen ini sebenarnya memiliki beberapa footnote, tapi tidak saya sertakan.
Gambar pinjem di sini |
2 comments on "Biar Lolos Event Diva Press"
Aiiih ada nama Aya di siiniiii.. Makasiiih kak Nchaaa.. Selamat yaaa.. Ini Aya mau posting di Blog juga ah ^_^ buat pengingat, heheheh
Hehe... iya :)
Di lapak aslinya postingan ini penuh kontroversi, tapi kalo Nisa paling seneng ada analisisnya gini... Bisa buat belajar :D
Post a Comment