Sunday, 16 December 2012

Treadmill di Eskalator



Tragedi memalukan ini terjadi ketika aku kelas dua SMA. Waktu itu keluarga dari Aceh sedang berlibur ke Palembang. Karena Palembang Trade Center (PTC) baru launching, maka sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan. Kakek dan nenek ikut tertarik, mengingat PTC merupakan mall terbesar pertama di Palembang waktu itu. Apalagi di Takengon, Aceh Tengah, tempat tinggal mereka, belum ada mall sama sekali.

Aku yang kurang suka keramaian awalnya menolak ketika ayah memintaku menemani kakek dan nenek mengunjungi PTC. Tapi rayuan ibu akhirnya mendorongku untuk pergi. Apalagi kakek dan nenek terlihat begitu bersemangat.

“Kalau Ampera dan Sungai Musi, nenek sudah sering kesana, Pak. Antar nenek beli baju, ya. Nanti Ipak* nenek belikan satu,” bujuk nenek waktu itu, tawaran menggiurkan yang akhirnya membuatku setuju.

Awalnya semua lancar-lancar saja. Kakek dan nenek kubawa masuk dari satu outlet ke outlet lain, berburu pakaian yang mereka inginkan. Belum puas mengitari lantai dasar, nenek menarik tanganku, mengarahkan langkah ke lantai dua.

Aku merasakan genggaman tangan nenek kian erat ketika kami hendak menaiki eskalator. Ragu-ragu nenek melangkahkan kakinya, dan berhasil. Eskalator membawa kami naik, memburu di lantai dua. Nenek menemukan baju kurung idamannya di salah satu butik muslimah. Sedangkan kakek batal mencari pakaian, ia tiba-tiba saja ingin mengganti kacamatanya di optik yang tengah menggelar diskon besar-besaran.

Puas berkeliling, akhirnya giliranku tiba. Aku yang sejak tadi mengincar baju di lantai dasar, dengan menggebu-gebu menuntun nenek, mengikutiku.

Tapi langkah kaki kami terhenti tepat di depan eskalator turun. Kali ini nenek menggenggam jemariku lebih erat dari genggamannya ketika kami naik tadi. Aku meyakinkan nenek untuk terus maju. Melihat kegalauannya, kuputuskan untuk memberikan aba-aba. Ia mengangguk, dan aku mulai melangkah.

Detik berikutnya, tragedi memalukan itu terjadi. Aku yang lebih dulu menginjak tangga berjalan itu terpaksa harus berlari-lari melawan arus karena tanganku masih digenggam erat oleh nenek yang tak kunjung menginjakkan kakinya di eskalator itu. Nenek diam disana, sedangkan aku sudah terlanjur, naik tidak, turun tidak.

Aku mulai panik. Ketika tangga pijakanku melaju turun, aku melompat naik ke tangga di atasnya. Seperti sedang fitness dengan treadmill elektrik di depan umum. Begitu seterusnya sampai nafasku terengah-engah kelelahan.

“Ayo, nek… Turun, nek…!” tak henti-hentinya aku meminta. Nenek masih saja ragu-ragu, sampai kemudian sekawanan cowok sipit, sepertinya keturunan Cina, akan turun menggunakan eskalator. Nenek melepaskan tanganku, kakiku berhenti melompat, eskalator membawaku turun dengan cepat.

Nenek dan kakek kemudian menyusul turun dengan sekawanan Cina tadi. Aku tak berani menoleh, apalagi berterima kasih karena mereka telah membantu kakek dan nenek untuk turun. Yang kuinginkan saat itu hanyalah menghilang, pulang!

Aku tak jadi membeli baju, terlanjur malu.

Sekarang kusadari bahwa mengantar kakek dan nenek melancong sesungguhnya adalah kewajibanku sebagai cucu, bukan karena iming-iming baju baru. Dan sepertinya niat tidak tulus itulah yang kemudian menuntunku pada tragedi treadmill di eskalator itu.

1 April 2012

* Ipak adalah panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Gayo (Takengon, Aceh Tengah)

1 comments on "Treadmill di Eskalator"

Ruby on 23 December 2012 at 19:43 said...

ahahaha
kenangan takan terlupakan ya :P

anyway, join my giveaway! :D
win a gift voucher for free ❤
and get all stuffs in indonesia in half price :)

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal