Dian adalah cahaya. Sejak pertama aku mengenalnya, ia menerangi jalanku yang gelap gulita. Ia perlahan-lahan menuntunku mencintai benderangnya dunia yang selama ini kuanggap kejam dan gila, yang pada siapa pun aku tidak dapat percaya.
Aku hidup dalam keluarga yang sedang di ujung tanduk. Masalah ekonomi membelit pinggang, membuatku melewati hari-hari tegang. Aku tak berani mengangkat telepon genggam, takut terdengar nada-nada rentenir yang kejam. Aku malas berbelanja ke pasar, risih pada pandangan tetangga yang jika tetangga lain berduit ia gusar.
Kalau tidak punya gula memikat, maka tidak ada semut yang mendekat, seperti yang dibilang pepatah. Sahabat, kerabat, dan keluarga menjauh seolah keluargaku terkena kusta, hanya karena tidak lagi royal, tidak ikut arisan dan piknik keluarga. Padahal sebelum keluargaku terpuruk, orang-orang itu mengemis mencari muka.
Aku nyaris putus asa menjalani kehidupan yang digariskan oleh-Nya, yang entah sebagai cobaan atau sebagai peringatan karena murka. Dunia membuatku merasa teraniaya, pada siapa pun aku memandang curiga. Aku memilih sendirian. Menjauhi sahabat dan teman-teman.
Hingga kemudian seorang Dian mengetuk masuk ke duniaku. Ia menerangi kemuramdurjaan dengan rinai tawa. Perlahan-lahan ia mampu menjawab asa yang berselip prasangka. Ia menumbangkan asumsi tentang dunia yang membuatku tak berdaya.
“Jangan fokus pada masalah, tapi fokus pada pemecahan masalahnya!” kata Dian ketika kusepakati untuk memulai bisnis bersama.
Ia mengenalkanku pada dunia kanan, kutub positif dunia katanya. Tidak ada putus asa, tidak ada pesimistis di sana. Jika ingin selesai, maka semua harus dimulai. Begitulah kira-kira yang kusimpulkan hingga akhirnya aku mulai menikmati rutinitas mengelola sebuah percetakan kecil-kecilan.
Berangsur-angsur aku mulai bisa membantu ekonomi keluarga. Waktu yang tadinya kugunakan untuk mengutuki keadaan, kini tersita pekerjaan yang tidak ada habisnya. Rejeki berdatangan, membuatku terkadang kewalahan, tapi tidak dengan Dian. Aku tak habis pikir, berapa banyak stok semangat yang memenuhi jiwanya setiap hari, sehingga lelah pun sampai tak mau menghampiri.
Dian tak pernah mengeluh meskipun tubuhnya bercucur peluh. Ia mentransfer semangatnya tiap kali aku hampir menyerah karena mengelola usaha ternyata tidaklah mudah.
“Kuncinya adalah bersyukur, Insya Allah semua terasa nikmat,” ujar Dian setiap kali aku keherahan melihat dirinya yang tak pernah menyerah.
Sampai suatu hari, kecelakaan kecil terjadi. Binding machine yang kami gunakan untuk spiral kalender jatuh menghantam kaki. Mesin dengan berat 10 kg itu mengoyak jempol kakinya, membuat darah mengucur tanpa henti.
Saat itu aku hanya hampu memberi obat merah dan membalut luka dengan kain seadanya. Dian yang pucat menahan sakit, masih memaksakan senyum agar aku tidak panik. Ia memboncengku ke rumah sakit. Sekali lagi, aku mengutuk diri, seandainya aku bisa mengendarai motor, aku pasti akan sedikit berguna baginya.
Di instalasi gawat darurat, Dian memasrahkan kakinya dijahit petugas medis. Ia masih saja tersenyum memandangku yang meringis tiap kali dokter mengangkat benang dan menusukkan kembali pada jempolnya yang menganga.
Ketika resep dan administrasi telah kutuntaskan, aku menuntun Dian yang berjalan tertatih menuju parkiran. Aku cemas tiap kali ada orang yang melintas, takut kakinya tergilas. Tetapi Dian masih tenang-tenang saja.
“Berpikirlah tentang hal baik, maka semua hal akan baik,” katanya masih dengan tersenyum.
Ah, Dian adalah anugerah yang dikirimkan Tuhan. Dian telah menunjukkan padaku betapa dunia ini sesungguhnya indah.
Aku hidup dalam keluarga yang sedang di ujung tanduk. Masalah ekonomi membelit pinggang, membuatku melewati hari-hari tegang. Aku tak berani mengangkat telepon genggam, takut terdengar nada-nada rentenir yang kejam. Aku malas berbelanja ke pasar, risih pada pandangan tetangga yang jika tetangga lain berduit ia gusar.
Kalau tidak punya gula memikat, maka tidak ada semut yang mendekat, seperti yang dibilang pepatah. Sahabat, kerabat, dan keluarga menjauh seolah keluargaku terkena kusta, hanya karena tidak lagi royal, tidak ikut arisan dan piknik keluarga. Padahal sebelum keluargaku terpuruk, orang-orang itu mengemis mencari muka.
Aku nyaris putus asa menjalani kehidupan yang digariskan oleh-Nya, yang entah sebagai cobaan atau sebagai peringatan karena murka. Dunia membuatku merasa teraniaya, pada siapa pun aku memandang curiga. Aku memilih sendirian. Menjauhi sahabat dan teman-teman.
Hingga kemudian seorang Dian mengetuk masuk ke duniaku. Ia menerangi kemuramdurjaan dengan rinai tawa. Perlahan-lahan ia mampu menjawab asa yang berselip prasangka. Ia menumbangkan asumsi tentang dunia yang membuatku tak berdaya.
“Jangan fokus pada masalah, tapi fokus pada pemecahan masalahnya!” kata Dian ketika kusepakati untuk memulai bisnis bersama.
Ia mengenalkanku pada dunia kanan, kutub positif dunia katanya. Tidak ada putus asa, tidak ada pesimistis di sana. Jika ingin selesai, maka semua harus dimulai. Begitulah kira-kira yang kusimpulkan hingga akhirnya aku mulai menikmati rutinitas mengelola sebuah percetakan kecil-kecilan.
Berangsur-angsur aku mulai bisa membantu ekonomi keluarga. Waktu yang tadinya kugunakan untuk mengutuki keadaan, kini tersita pekerjaan yang tidak ada habisnya. Rejeki berdatangan, membuatku terkadang kewalahan, tapi tidak dengan Dian. Aku tak habis pikir, berapa banyak stok semangat yang memenuhi jiwanya setiap hari, sehingga lelah pun sampai tak mau menghampiri.
Dian tak pernah mengeluh meskipun tubuhnya bercucur peluh. Ia mentransfer semangatnya tiap kali aku hampir menyerah karena mengelola usaha ternyata tidaklah mudah.
“Kuncinya adalah bersyukur, Insya Allah semua terasa nikmat,” ujar Dian setiap kali aku keherahan melihat dirinya yang tak pernah menyerah.
Sampai suatu hari, kecelakaan kecil terjadi. Binding machine yang kami gunakan untuk spiral kalender jatuh menghantam kaki. Mesin dengan berat 10 kg itu mengoyak jempol kakinya, membuat darah mengucur tanpa henti.
Saat itu aku hanya hampu memberi obat merah dan membalut luka dengan kain seadanya. Dian yang pucat menahan sakit, masih memaksakan senyum agar aku tidak panik. Ia memboncengku ke rumah sakit. Sekali lagi, aku mengutuk diri, seandainya aku bisa mengendarai motor, aku pasti akan sedikit berguna baginya.
Di instalasi gawat darurat, Dian memasrahkan kakinya dijahit petugas medis. Ia masih saja tersenyum memandangku yang meringis tiap kali dokter mengangkat benang dan menusukkan kembali pada jempolnya yang menganga.
Ketika resep dan administrasi telah kutuntaskan, aku menuntun Dian yang berjalan tertatih menuju parkiran. Aku cemas tiap kali ada orang yang melintas, takut kakinya tergilas. Tetapi Dian masih tenang-tenang saja.
“Berpikirlah tentang hal baik, maka semua hal akan baik,” katanya masih dengan tersenyum.
Ah, Dian adalah anugerah yang dikirimkan Tuhan. Dian telah menunjukkan padaku betapa dunia ini sesungguhnya indah.
“Tulisan ini diikut sertakan dalam GA “Siapa Sahabatmu?” pada blog senyumsyukurbahagia.blogspot.com, hidup bahagia dengan Senyum dan Syukur”
4 comments on "Dian yang Tak Pernah Redup"
wah...sahabat yang baik..
eh salam kenal ya..
uhuk :p
mau nulis ttg Li, ntar dia GR :D
Jangan deh, kebanyakn kisah tentang Li
semoga langgeng sama Masnya... doakan kami juga yaaa
*kapan nikah? kapaaaan?
Salam kenal juga Rahma :)
Tahun ini insyaallah, Tha. Lagi berjuang selesein skripsi, wisuda, nikah :P
Suka ini.. Ini pasti kisah Bg Dian.. Ditunggu undangannya Kak Nchaaa.. Kak Nchaa keren deh.. jadi smgt banget yaa skripsian dikejer2 nikah.. Aya juga mau, hihihi
Post a Comment