Bukit Siguntang, gambar dari sini |
Kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak yang dipenuhi daun-daun kering. Siguntang tak begitu ramai hari ini. Hanya ada beberapa muda-mudi yang tengah bercengkrama di beberapa titik rindang. Ada yang bersama kekasih, ada pula yang menggerombol bersama teman-temannya.
Kujinjing gitar dengan langkah hati-hati, memilih target yang akan kuhibur dengan petikan gitar diiringi suara sumbang Roni. Ya, aku tak pernah sendirian sejak bertemu anak itu lima bulan yang lalu. Di mana alunan gitarku, di situ juga pasti terdengar suaranya, mengalun pilu.
Roni memang tak seharusnya berada di sini. Ia tak punya bakat untuk menggembel sepertiku. Tubuhnya tinggi semampai. Rambut, wajah, dan gigi-giginya bersih. Waktu pertama kali kami bertemu, pakaian yang ia kenakan juga masih terlihat rapi. Saat kupetik gitar menghiburnya, Roni malah menangis menjadi-jadi. Butuh waktu lama hingga akhirnya ia bercerita.
“Aku tak tahu apakah ini keputusan yang benar. Aku hanya berharap bisa hidup dengan benar. Dengan orang yang benar,” ucapnya mengakhiri kata.
Entah malaikat apa yang merasukiku. Aku begitu tersentuh pada penuturan anak tiga belas tahun itu. Ketika ia memohon ikut mengadu nasib bersamaku, aku pun tak kuasa untuk tidak setuju.
“Aku mungkin tak sepenuhnya benar, Roni. Tapi kau bisa pegang janjiku. Aku takkan mengajarimu mencuri, juga takkan pernah memaksamu menjual diri,” janjiku padanya, membuat senyum merekah untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ternyata berbuat baik tak semudah mengucapkannya. Malaikat dan setan buru-buru bertukar tempat ketika aku dan Roni mulai saling menggantungkan diri. Kedekatan emosional mungkin diawali oleh kesamaan nasib kami berdua.
Aku dan Roni sama-sama kabur dari rumah, melarikan diri dari orang-orang yang telah membesarkan kami dengan pamrih. Tak ada yang gratis. Dirawat oleh orang yang tak sedarah membuat kami harus membayar budi dengan pergolakan hebat di dalam hati. Jika Roni dipaksa mencuri dan menjual diri, aku dipaksa menggadaikan keyakinan dengan menggantungkan nasib pada ilmu hitam, pada praktek perdukunan.
“Ini bulu perindu untuk orang-orang yang ingin terus disayang,” kudengar Mak Nin tengah bercengkrama dengan pelanggannya. Aroma kemenyan, dupa, dan bunga tujuh rupa membuat dadaku sesak, entah mengapa.
“Ambilkan air dan garam!” Mak Nin memaksaku bergerak walaupun ogah-ogahan.
“Air ini dicampur tiap kali suamimu minum, sedangkan di sekeliling rumah, tabur garam ini sebelum fajar menyingsing,” jelasnya seraya menyerahkan sebotol air dan sebungkus garam yang ia serobot dari tanganku.
“Jangan lupa Jumat depan kembali lagi ke sini. Bawa mahar yang sudah Mak sebutkan tadi.” Kalimat pamungkas ini tak henti-hentinya membuat hatiku makin menggerutu.
“Mak tahu kau tak suka. Tapi inilah cara Mak membesarkanmu! Cuma ini cara agar kau bisa makan, bisa punya tempat tinggal dan pakaian!” Mak mencak-mencak saat tamunya telah pamit pulang. Sebagai ganjaran atas hatiku yang sejak tadi menggerutu, ia tak henti mengomel sambil tetap mengayunkan rotan, mendaratkan benda itu di telapak tanganku. Berkali-kali. Makin kencang meskipun aku telah sesenggukan.
“Malam ini jangan keluar kamar. Mak ada tamu!” Akhirnya Mak melemparkan rotannya ke lantai. Tanganku perih bukan main tapi hatiku lebih perih lagi. Aku tak punya pilihan, memang.
Mak Nin dukun beranak yang kini beralih menjadi paranormal gadungan. Ia sering berbohong tentang mahar, mandi kembang, rantai babi, bulu perindu, dan beragam jenis barang mistik lainnya. Ia juga menipu pelanggannya yang haus kekayaan dengan pura-pura melipat gandakan uang. Seperti malam ini.
Aku mengintip praktek Mak Nin dari celah pintu kamarku. Lampu dimatikan sejak tamu itu datang membawa puluhan juta uang. Yang lalu disusun rapi dalam kardus. Menurut Mak Nin, uang itulah yang nanti akan berlipat ganda. Ia mempersilakan tamunya mandi kembang tujuh rupa, kemudian disiapkannya segelas susu yang sudah terlebih dahulu ia seduh dengan obat pencahar.
“Minumlah, ini akan membuatmu lebih kuat. Selama ritual berlangsung, jangan pernah tidur, jangan berteriak, dan jangan buang hajat.” Aku hafal betul kalimat ini.
Malam makin larut ketika Mak Nin mulai komat-kamit. Ia beserta orang kepercayaannya mulai membakar kemenyan dan dupa. Aku mulai merasa sesak. Asap yang kian pekat memenuhi seisi rumah dengan aroma pemakaman. Bulu kudukku berdiri, membuatku tergerak untuk segera menutup pintu kamar. Aku tahu persis apa yang akan terjadi setelah ini.
Kututup telingaku dengan bantal, berharap erangan makhluk jadi-jadian itu tak terdengar. Piring-piring yang mulai pecah bergantian dengan teriakan tertahan dari tamu Mak Nin yang ketakutan. Namun, bisa kutebak puncak ketakutan itu akan berakhir sebentar lagi.
“Stop, Mak!” Suaranya terdengar tak tahan. Lelaki itu cepat-cepat melesat ke WC. Saat itulah Mak Nin dan pesuruhnya beraksi, menukar kardus uang dengan kardus berisi tumpukan koran menyerupai uang. Lampu telah menyala ketika lelaki tadi kudengar kembali melangkah ke ruang ritual. Mak Nin memasang tampang prihatin sekaligus menyesal.
“Kita tadi hampir berhasil kalau saja Adik tidak kebelet buang air dan membatalkan prosesi ritual yang seharusnya suci,” Mak begitu pintar berakting. Lelaki itu percaya begitu saja, ia berjanji akan datang kembali dengan mahar yang lebih banyak. Mak Nin kemudian mengantar sampai pintu keluar. Ia masih memasang wajah pilu sesaat sebelum lelaki itu benar-benar hilang ditelan malam.
Wajah Mak Nin malam itu benar-benar menyulut emosiku. Diam-diam kuambil kardus berisi uang asli milik tamu tadi. Kubawa keluar. Dengan berlagak sebagai Robin Hood, kubagikan saja uang itu pada gelandangan. Aku memutuskan untuk tak pulang. Menggembel bagiku jauh lebih baik daripada mengabdikan diri pada Mak Nin, sekalipun aku berhutang budi. Malam itu adalah malam terindah, malam terbebasnya aku dari pergolakan hati.
Tapi ketika pagi menjelang, aku tersadar bahwa tak ada lagi tempat pulang. Aku harus berebut dengan gembel-gembel lain sekedar untuk mendapatkan makan. Aku bimbang, mendadak bayangan Mak Nin menyusup, membuatku ketakutan. Dan setan begitu cepat menghampiri. Mengajakku berlindung pada Narkoba yang kudapatkan dari preman di kolong jembatan.
Roni kerap ikut tersiksa menyaksikan aku terus berhalusinasi di bawah pengaruh obat-obat terlarang. Aku tak bisa lepas dari jerat setan yang selalu membawa Mak Nin dan ritualnya, merasuki hidupku yang kian tak karuan. Tanpa bius Narkoba, aku seakan dikejar-kejar aroma kemenyan.
Pernah dengan sengaja Roni menyembunyikan hasil mengamen kami agar aku tak bisa membeli Putau. Aku mengamuk lantas memukulinya dengan rotan, persis seperti yang dulu Mak Nin lakukan. Pernah pula aku membuat Roni begitu kalut ketika seluruh tubuhku penuh keringat dingin sebesar biji jangung. Mata dan hidungku berair, aku menggeletar, menggigil. Roni berhamburan mencari preman, mengemis barang itu meski sebagai gantinya ia harus ikut mengedarkan.
Ah, Roni. Kau masih terlalu dini untuk mencecap hidup yang begitu keras ini. Jangan pedulikan hidupku lagi. Kehidupanmu jauh lebih berarti. Pergilah, jauhi aku agar setan-setan tak ikut menggerogotimu. Kau masih muda, teman. Masih punya masa depan.
Diam-diam kuambil seutas tali, kugantungkan diri di pohon Mahoni. Aku memutuskan untuk mengakhiri kontrak kehidupan ini. Langit gelap mendung, angin kencang seakan mendukung. Aku menggelepar hebat, terayun-ayun. Sketsa jiwaku terlihat, hingga kemudian lamat-lamat memudar, kelam. Bayang-bayang haram itu menghitam.
Kujinjing gitar dengan langkah hati-hati, memilih target yang akan kuhibur dengan petikan gitar diiringi suara sumbang Roni. Ya, aku tak pernah sendirian sejak bertemu anak itu lima bulan yang lalu. Di mana alunan gitarku, di situ juga pasti terdengar suaranya, mengalun pilu.
Roni memang tak seharusnya berada di sini. Ia tak punya bakat untuk menggembel sepertiku. Tubuhnya tinggi semampai. Rambut, wajah, dan gigi-giginya bersih. Waktu pertama kali kami bertemu, pakaian yang ia kenakan juga masih terlihat rapi. Saat kupetik gitar menghiburnya, Roni malah menangis menjadi-jadi. Butuh waktu lama hingga akhirnya ia bercerita.
“Aku tak tahu apakah ini keputusan yang benar. Aku hanya berharap bisa hidup dengan benar. Dengan orang yang benar,” ucapnya mengakhiri kata.
Entah malaikat apa yang merasukiku. Aku begitu tersentuh pada penuturan anak tiga belas tahun itu. Ketika ia memohon ikut mengadu nasib bersamaku, aku pun tak kuasa untuk tidak setuju.
“Aku mungkin tak sepenuhnya benar, Roni. Tapi kau bisa pegang janjiku. Aku takkan mengajarimu mencuri, juga takkan pernah memaksamu menjual diri,” janjiku padanya, membuat senyum merekah untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ternyata berbuat baik tak semudah mengucapkannya. Malaikat dan setan buru-buru bertukar tempat ketika aku dan Roni mulai saling menggantungkan diri. Kedekatan emosional mungkin diawali oleh kesamaan nasib kami berdua.
Aku dan Roni sama-sama kabur dari rumah, melarikan diri dari orang-orang yang telah membesarkan kami dengan pamrih. Tak ada yang gratis. Dirawat oleh orang yang tak sedarah membuat kami harus membayar budi dengan pergolakan hebat di dalam hati. Jika Roni dipaksa mencuri dan menjual diri, aku dipaksa menggadaikan keyakinan dengan menggantungkan nasib pada ilmu hitam, pada praktek perdukunan.
***
“Ini bulu perindu untuk orang-orang yang ingin terus disayang,” kudengar Mak Nin tengah bercengkrama dengan pelanggannya. Aroma kemenyan, dupa, dan bunga tujuh rupa membuat dadaku sesak, entah mengapa.
“Ambilkan air dan garam!” Mak Nin memaksaku bergerak walaupun ogah-ogahan.
“Air ini dicampur tiap kali suamimu minum, sedangkan di sekeliling rumah, tabur garam ini sebelum fajar menyingsing,” jelasnya seraya menyerahkan sebotol air dan sebungkus garam yang ia serobot dari tanganku.
“Jangan lupa Jumat depan kembali lagi ke sini. Bawa mahar yang sudah Mak sebutkan tadi.” Kalimat pamungkas ini tak henti-hentinya membuat hatiku makin menggerutu.
“Mak tahu kau tak suka. Tapi inilah cara Mak membesarkanmu! Cuma ini cara agar kau bisa makan, bisa punya tempat tinggal dan pakaian!” Mak mencak-mencak saat tamunya telah pamit pulang. Sebagai ganjaran atas hatiku yang sejak tadi menggerutu, ia tak henti mengomel sambil tetap mengayunkan rotan, mendaratkan benda itu di telapak tanganku. Berkali-kali. Makin kencang meskipun aku telah sesenggukan.
“Malam ini jangan keluar kamar. Mak ada tamu!” Akhirnya Mak melemparkan rotannya ke lantai. Tanganku perih bukan main tapi hatiku lebih perih lagi. Aku tak punya pilihan, memang.
Mak Nin dukun beranak yang kini beralih menjadi paranormal gadungan. Ia sering berbohong tentang mahar, mandi kembang, rantai babi, bulu perindu, dan beragam jenis barang mistik lainnya. Ia juga menipu pelanggannya yang haus kekayaan dengan pura-pura melipat gandakan uang. Seperti malam ini.
Aku mengintip praktek Mak Nin dari celah pintu kamarku. Lampu dimatikan sejak tamu itu datang membawa puluhan juta uang. Yang lalu disusun rapi dalam kardus. Menurut Mak Nin, uang itulah yang nanti akan berlipat ganda. Ia mempersilakan tamunya mandi kembang tujuh rupa, kemudian disiapkannya segelas susu yang sudah terlebih dahulu ia seduh dengan obat pencahar.
“Minumlah, ini akan membuatmu lebih kuat. Selama ritual berlangsung, jangan pernah tidur, jangan berteriak, dan jangan buang hajat.” Aku hafal betul kalimat ini.
Malam makin larut ketika Mak Nin mulai komat-kamit. Ia beserta orang kepercayaannya mulai membakar kemenyan dan dupa. Aku mulai merasa sesak. Asap yang kian pekat memenuhi seisi rumah dengan aroma pemakaman. Bulu kudukku berdiri, membuatku tergerak untuk segera menutup pintu kamar. Aku tahu persis apa yang akan terjadi setelah ini.
Kututup telingaku dengan bantal, berharap erangan makhluk jadi-jadian itu tak terdengar. Piring-piring yang mulai pecah bergantian dengan teriakan tertahan dari tamu Mak Nin yang ketakutan. Namun, bisa kutebak puncak ketakutan itu akan berakhir sebentar lagi.
“Stop, Mak!” Suaranya terdengar tak tahan. Lelaki itu cepat-cepat melesat ke WC. Saat itulah Mak Nin dan pesuruhnya beraksi, menukar kardus uang dengan kardus berisi tumpukan koran menyerupai uang. Lampu telah menyala ketika lelaki tadi kudengar kembali melangkah ke ruang ritual. Mak Nin memasang tampang prihatin sekaligus menyesal.
“Kita tadi hampir berhasil kalau saja Adik tidak kebelet buang air dan membatalkan prosesi ritual yang seharusnya suci,” Mak begitu pintar berakting. Lelaki itu percaya begitu saja, ia berjanji akan datang kembali dengan mahar yang lebih banyak. Mak Nin kemudian mengantar sampai pintu keluar. Ia masih memasang wajah pilu sesaat sebelum lelaki itu benar-benar hilang ditelan malam.
Wajah Mak Nin malam itu benar-benar menyulut emosiku. Diam-diam kuambil kardus berisi uang asli milik tamu tadi. Kubawa keluar. Dengan berlagak sebagai Robin Hood, kubagikan saja uang itu pada gelandangan. Aku memutuskan untuk tak pulang. Menggembel bagiku jauh lebih baik daripada mengabdikan diri pada Mak Nin, sekalipun aku berhutang budi. Malam itu adalah malam terindah, malam terbebasnya aku dari pergolakan hati.
Tapi ketika pagi menjelang, aku tersadar bahwa tak ada lagi tempat pulang. Aku harus berebut dengan gembel-gembel lain sekedar untuk mendapatkan makan. Aku bimbang, mendadak bayangan Mak Nin menyusup, membuatku ketakutan. Dan setan begitu cepat menghampiri. Mengajakku berlindung pada Narkoba yang kudapatkan dari preman di kolong jembatan.
***
Roni kerap ikut tersiksa menyaksikan aku terus berhalusinasi di bawah pengaruh obat-obat terlarang. Aku tak bisa lepas dari jerat setan yang selalu membawa Mak Nin dan ritualnya, merasuki hidupku yang kian tak karuan. Tanpa bius Narkoba, aku seakan dikejar-kejar aroma kemenyan.
Pernah dengan sengaja Roni menyembunyikan hasil mengamen kami agar aku tak bisa membeli Putau. Aku mengamuk lantas memukulinya dengan rotan, persis seperti yang dulu Mak Nin lakukan. Pernah pula aku membuat Roni begitu kalut ketika seluruh tubuhku penuh keringat dingin sebesar biji jangung. Mata dan hidungku berair, aku menggeletar, menggigil. Roni berhamburan mencari preman, mengemis barang itu meski sebagai gantinya ia harus ikut mengedarkan.
Ah, Roni. Kau masih terlalu dini untuk mencecap hidup yang begitu keras ini. Jangan pedulikan hidupku lagi. Kehidupanmu jauh lebih berarti. Pergilah, jauhi aku agar setan-setan tak ikut menggerogotimu. Kau masih muda, teman. Masih punya masa depan.
Diam-diam kuambil seutas tali, kugantungkan diri di pohon Mahoni. Aku memutuskan untuk mengakhiri kontrak kehidupan ini. Langit gelap mendung, angin kencang seakan mendukung. Aku menggelepar hebat, terayun-ayun. Sketsa jiwaku terlihat, hingga kemudian lamat-lamat memudar, kelam. Bayang-bayang haram itu menghitam.
***
0 comments on "Bayang Bayang Haram"
Post a Comment