Friday, 7 June 2013

Janji Sang Bayu

Aku menunggumu, seperti biasa. Seperti saat-saat dulu, semasa kita bersama. Ketika angin berhembus menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon Jarak. Ketika air pasang di bawah jembatan tempat kita berdiri, tegak. Ketika tanganmu dengan lincah menggerakkan nilon ke kiri dan kanan. Ketika itulah aku akan tersenyum memandangimu dan memandangi layang-layang, bergantian. Langit biru menjadi saksi bisu, betapa aku diam-diam mencintaimu.

“Aku ingin menerbangkan layang-layang sepertimu. Kapan kau akan mengajariku, Bay?”

Kau hanya mengulum senyum tiap kali kulontarkan pertanyaan itu. Sepertinya kau memang tak pernah berniat mengajariku. Entah mengapa.

“Anak perempuan itu main boneka, Nila. Di dalam rumah, bukan di sini. Matahari akan membakar kulitmu. Kalau kulitmu gosong, mana ada lelaki yang mau,” jawabmu jika aku benar-benar memaksa ingin tahu. Kau akan terkekeh melihatku yang bersungut-sungut lantaran mendengar jawaban yang menurutku sangat tidak masuk akal itu.

“Lalu mengapa kau tak pernah mengusirku pulang?”

Aku memang tak pernah ingin menyerah demi menyelami perasaanmu, meskipun aku tahu kau hanya akan menghadiahiku sebongkah senyum lagi sebagai jawaban atas pertanyaan yang selalu sama, nyaris kulontarkan setiap hari.

Tapi tetap saja, tak pernah kudapati jawaban dari bibirmu. Sampai sore. Pun ketika langit mulai jingga, ketika burung-burung mencari jalan pulang, ketika kau mengemasi nilon dan layang-layang sebelum toa masjid mengumandangkan panggilan Maghrib. Ketika itulah aku pun mengemasi cintaku. Kusimpan rapat-rapat dalam hati yang telah penuh sesak olehmu.

***

“Nila….”

Lalu sore itu kau memanggilku dengan nada yang tak biasa. Tak ada layang-layang. Tak ada nilon yang biasa kau pegang. Entah mengapa tiba-tiba kurasakan udara di sekitar kita mengering, menimbulkan perasaan aneh yang membuatku mendadak takut. Takut kehilanganmu.

“Ayuk Ya menguliahkanku di Palembang. Minggu depan aku berangkat.”

Kudengar suaramu menggeletar saat kau ucapkan kalimat itu. Sepotong kalimat yang seketika menghancurkan hatiku.

Tak ada yang mampu kukatakan, kulihat kau pun begitu. Sampai mentari tenggelam sebelum azan Maghrib berkumandang, kita masih saja terdiam. Kau dan aku membisu, memandangi layang-layang lain yang mendarat satu per satu.

“Tunggu aku, Nila. Setamatnya kuliah, aku akan mencarimu,” ucapmu lirih. Kau mengangkat kelingking kananmu tinggi-tinggi di hadapanku.

Aku tak mampu berkata sepatah kata pun karena perasaan yang bergejolak di dadaku rasanya begitu menyesakkan. Hingga bila kulontarkan kata, aku takut akan ada air mata yang turun mengaliri kedua belah pipiku. Dan aku tak mau kau melihat itu.

Aku hanya bisa memaksakan senyum, mengangguk dengan kuat seraya mengaitkan kelingkingku pada kelingkingmu.

“Sampai kapan pun, aku akan menunggumu,” batinku.

Kita menikmati jari kelingking yang masih saja bertautan, cukup lama. Hingga kemudian Maghrib memanggil kita untuk pulang.

***

Setelah kepergianmu ke kota, tiap sore masih kulewati seperti biasa. Menikmati angin sepoi yang memain-mainkan rambut ikalku. Dari atas jembatan, kulihat air pun beriak karena angin yang tadinya sepoi, kadang mendadak berubah kencang. Dedaunan bergesekan, seolah menyenandungkan rinduku padamu yang kian hari kurasa kian berloncatan, keluar dari hatiku yang makin penuh sesak olehmu. Kuharap, angin yang kurasakan ini bisa membawanya sampai kepadamu.

“Nila, ayo pulang!”

Angin tiba-tiba saja mengering ketika Ayuk Ya lagi-lagi memergokiku di sini. Kakak perempuanmu itu entah mengapa selalu saja memandangku iba. Ia akan memasang tampang memelas, memintaku meninggalkan jembatan ini, melarangku menunggumu lagi.

Dan aku selalu menjadi tak tega jika ia sudah begitu. Aku akan pulang bersamanya sambil berjanji dalam hati bahwa besok aku akan kembali lagi, menunggumu di sini.

***

Lantunan Tahlil terdengar begitu nyaring dari sini. Rumah kita yang hanya dipisahkan oleh pohon rambutan, membuat ayat-ayat dari rumahmu itu menyusup masuk ke rumahku. Anehnya, aku merasa dadaku begitu sesak karena itu. Pipiku menjadi hangat, kemudian disusul mataku yang mulai berair. Cepat-cepat kuseka sebelum ada yang melihat.

Aku tak tahu perasaan apa yang tengah melandaku. Kurasakan emosiku mendadak meledak saat kudengar tetangga yang melintasi rumahku menuju rumahmu berbisik-bisik menyebut nama kita. Lalu ketika mata kami bertumbukan, mereka langsung menundukkan kepala sambil mempercepat langkah kakinya menuju rumahmu.

***

Dan sore berikutnya aku kembali lagi. Menunggumu di jembatan tempat kita biasa menerbangkan layang-layang, berdua. Kuingat-ingat saat terakhir kalinya kita bersama. Hari itu adalah hari kepergianmu dari kampung halaman kita.

“Aku ingin jujur,” katamu tiba-tiba. Jantungku berdegub kencang karenanya.

“Aku tak ingin kau menerbangkan layang-layang karena aku senang melirikmu dari sudut mataku. Aku senang melihatmu memperhatikanku, Nila. Karena itu pula aku tak pernah mengusirmu.”

Kau menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan, “Kupikir, kalau kulitmu gosong karena menungguiku main layang-layang, itu akan bagus untukku. Bukankah dengan begitu aku akan jadi satu-satunya lelaki yang menyukaimu?” Kau terkekeh. Semudah itu kau utarakan panjang lebar tentang perasaanmu. Sementara aku mematung, menata hatiku yang makin tak karuan karenamu.

“Nila, tunggu aku. Aku akan kembali untukmu.”

Lirih suaramu terdengar lagi. Mataku nanar, cairan bening perlahan turun tak terbendung.

Kau tahu, Bayu? Aku tak peduli meski semua orang bilang bahwa kepergianmu ke Palembang telah memisahkan kita untuk selamanya. Aku tak peduli meski mereka tak suka melihatku setia menungguimu setiap hari. Aku tak peduli, Bayu. Yang kutahu, di sini kau berjanji bahwa kau akan kembali, mencariku.

“Nila, berhentilah menyiksa dirimu sendiri! Sudah empat puluh hari, kau harus bisa mengikhlaskan kepergiannya!”

Ayuk Ya muncul lagi, mengubah suasana hatiku yang tadinya teduh, menjadi kering kembali.

“Kau harus bisa terima kenyataan, Nila. Kecelakaan kereta waktu itu telah mengambil Bayu, pergi selamanya dari kita!”

Kudengar isak tangis Ayuk Ya di sela suara sumbangnya tentangmu. Aku tak peduli. Aku tak mau percaya pada apa yang diutarakannya.

Yang kupercaya hanya satu, Bayu.

Janjimu.

Dan janji itulah yang setiap hari membuatku berdiri di sini, menunggumu seperti biasa. Seperti saat-saat dulu, semasa kita bersama. Ketika angin berhembus menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon Jarak. Ketika air pasang di bawah jembatan tempat kita berdiri, tegak. Ketika tanganmu dengan lincah menggerakkan nilon ke kiri dan kanan. Ketika itulah sesungguhnya aku ingin mengatakan, “Aku mencintaimu, Bayu!”

*** 
Diterbitkan sebagai penulis tamu dalam buku
Sensei Cenat-Cenit, 27 Aksara 2013

Buku solo Chika Chan

0 comments on "Janji Sang Bayu"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal