Hatiku tak henti-henti menggerutu. Dinginnya pagi ternyata tak mampu membekukan emosiku. Aku benar-benar marah pada keadaan. Pada kehidupan yang tak pernah memberikanku keadilan.
Aku kesal pada Ibuku. Setelah sembilan tahun lalu ia membuatku putus sekolah karena tidak mampu, hari ini demi sekolah adikku, ibu tega mengorbankan uang tabungan hasil tetes keringatku sendiri. Padahal uang itu telah kurencanakan untuk membeli HP sore nanti. Ah, Ibu begitu tega merampas kebahagiaan yang baru saja ingin kunikmati.
“Kemarin Ibunya Sisi nge-add, setelah ku-konfirm kulihat-lihat timeline-nya. Kayak anak muda, ih amit-amit,” suara sumbang Tante Tati riuh rendah bersama ibu-ibu lain. Pembicaraan seputar facebook memang lebih mendominasi. Meskipun jejaring sosial baru sudah bermunculan, facebook sepertinya tetap di posisi tertinggi. Ibu-ibu ini amat bersemangat ketika bercerita status si Ini dan si Itu, atau tentang comment si A, si B, juga si C.
Aku membereskan piring kotor, mengelap meja yang terkena tumpahan kecap dan kuah tekwan. Tak habis pikir, bisa-bisanya mereka jorok begitu. Tiap kali mereka bubar, pekerjaanku menjadi lebih banyak. Karena saking asyiknya bercerita, ada saja ibu-ibu yang menumpahkan sesuatu di atas meja.
Tiga bulan terakhir, aku menjadi kenek di warung tekwan Mang Cek. Dengan upah sepuluh ribu perhari, kukumpulkan uang untuk membeli HP yang bisa facebook-an. Walau hanya mampu membeli keluaran Cina, aku sudah begitu bahagia. Toh, selama ini aku memang tak pernah ingin punya apa-apa. Kemiskinan yang diturunkan Ibu membuatku tak berani untuk sekedar bermimpi.
Keinginan ber-facebook juga terlintas karena aku terlalu sering mendengar perbincangan ibu-ibu di warung tekwan ini. Pelanggan Mang Cek rata-rata ibu muda yang tengah menunggu anak-anaknya bersekolah di SD yang berada tepat di seberang warung Mamang. Biasanya mereka datang bergerombol, sesuai geng masing-masing.
Seperti rombongan Tante Tati yang usil mengomentari Ibunya Sisi, ibu-ibu lain pun dengan penuh semangat menggunjing tentang suami sampai urusan remeh-temeh ibu-ibu yang tidak termasuk dalam grupnya. Perang status, comment-comment pedas, dan pamer foto profil semakin membuatku penasaran. Bagaimana rupa facebook sebenarnya? Bagaimana bisa ibu-ibu ini tak seperti Ibuku?
Ibuku tak tahu apa itu facebook. Ia juga tak pernah mau tahu. Ibu hanya tertarik pada Kemplang Bakar dagangannya. Ia menargetkan paling tidak tiap harinya lima bungkus Kemplang isi 22 keping laku terjual. Dengan harga jual sepuluh ribu, ibu bisa memperoleh keuntungan empat ribu rupiah perbungkusnya. Jika lima bungkus Kemplang terjual, maka dua puluh ribu keuntungannya itulah yang kemudian ibu belanjakan untuk keperluan kami.
Ibu selalu bangun lebih pagi dari siapa pun, bahkan sebelum ayam jantan berkokok, ia telah sibuk dengan setumpuk cuciannya. Bukan pakaianku, bukan pakaian kami. Ibu menerima upah mencuci pakaian tetangga guna menambah pendapatan. Untuk tenaga yang ia keluarkan itu, ibu dibayar seratus lima puluh ribu perbulan. Uang itu dipergunakan ibu untuk membayar keperluan sekolah adikku.
Bapak telah pergi ketika aku berumur tujuh tahun. Untuk membesarkan aku dan adikku yang baru lima tahun, ibu pontang-panting bekerja serabutan. Tak ada sanak keluarga. Ibu memang yatim piatu sejak ia memutuskan merantau ke Palembang dan menikah dengan Bapakku yang hanya kuli bangunan.
Meskipun penghasilan Bapak pas-pasan, hari-hari kami tetap penuh kebahagiaan. Ya, walaupun akhirnya masa-masa indah itu harus berakhir tragis. Bapak meninggal karena kecelakaan dalam proyek yang tengah ia kerjakan. Sejak itulah kerasnya hidup mulai kurasakan.
Aku terpaksa putus sekolah demi membantu ibu menjaga adikku sementara ia bekerja sebagai pembantu. Mahalnya kebutuhan pokok, membuat ibu terpaksa harus menyambi berjualan bawang di pasar pagi. Ibu juga pernah mencoba-coba berwirausaha dengan membuka warung pecel di depan gubuk kami, tapi usaha itu tak bertahan lama. Sayur-mayur rebusan yang tak laku hari itu akan basi, padahal modal belum balik sama sekali. Ibu sering nombok. Karena itulah ia akhirnya memilih menjadi tukang cuci.
Berjualan Kemplang Bakar baru ibu lakoni dua tahun terakhir. Kala itu ia diajak majikannya -tetanggaku yang mengupahkan cuciannya pada ibu- mudik ke OKI. Di sanalah ibu berkenalan dengan Kemplang Bakar. Ibu menggunakan uang pegangannya yang hanya sepuluh ribu untuk membeli Kemplang mentah. Ibu belajar cara memanggang, juga cara membuat tempat arang. Sepulangnya ke Palembang, Ibu langsung mencoba peruntungan.
Kemplang mentah yang Ibu beli dengan harga dua ratus, dijual Ibu dengan harga lima ratus setelah dipanggang. Tetanggaku menyukainya. Sebagai salah satu kuliner khas Palembang, Kemplang seakan menjanjikan secercah peluang.
Tiap harinya, Ibu mulai memanggang setelah cucian ia jemur di halaman. Sebelum itu, ibu akan terlebih dahulu menyiapkan sarapan. Aku dan adikku yang terbiasa bangun selepas azan subuh berkumandang, akan mendapati ibu tengah memanaskan arang.
Karena rumah kami tidak terletak di perkampungan Kemplang Bakar yang terkenal itu, ibu terpaksa harus menjajakan dagangannya ke luar rumah jika ingin lebih laku. Mengharapkan penjualan di kalangan tetangga saja tentu tak akan mencukupi kebutuhan kami. Ibu harus berkelana membawa dagangannya dari perumahan satu ke perumahan lainnya. Sejauh yang kutahu, ibu pernah menempuh perjalanan dari Pasar Satelit Sako sampai ke sekitaran Palembang Square dengan berjalan kaki.
“Tahu nggak kabar terbaru? Si Santi anaknya Bu Roni yang nomor dua itu dibawa kabur oleh kenalan barunya di facebook.” Suara Tante Meri membuyarkan ingatanku akan Ibu. Sambil mengiris model pesanan grup Tante Meri, aku terus mengikuti alur cerita mereka.
“Heran, padahal sudah tahu facebook itu dunia maya, masih ditanggapi juga. Di dunia maya itu kita nggak pernah tahu siapa lawan siapa kawan. Jangan terlalu dipercaya. Kan orangnya nggak kelihatan juga.” Kali ini Tante Linda menggebu-gebu menimpali. Meskipun hanya empat orang, warung Mang Cek terdengar gaduh sekali lantaran ibu-ibu itu kian panas bersahut-sahutan.
Merenungi pembicaraan mereka, membuatku teringat kembali pada Ibu. Kekesalanku yang tadi pagi begitu memuncak, perlahan surut. Begitu egoisnya aku jika demi sesuatu yang semu, rela kukorbankan masa depan adikku. Putus sekolah adalah garis hidupku, tapi tidak untuk Si Bungsu. Ia harus mengenyam pendidikan agar hidupnya kelak lebih baik dari aku dan ibu.
Hujan di pangkal malam menambah kecemasanku menantikan ibu yang tak kunjung pulang. Tak biasanya ibu pulang malam begini. Biasanya tak lama setibanya aku dari tempat kerjaku, ibu akan menyusul muncul di ambang pintu. Kami akan membersihkan diri untuk persiapan salat magrib berjamaah. Kebiasaan yang diterapkan Bapak ketika ia masih ada itu tetap kami jaga. Tapi meski azan isya telah terdengar di kejauhan, ibu masih belum juga tiba. Hatiku tak karuan, apalagi mengingat tadi pagi aku sempat ngambek lantaran urung facebook-an.
“Assalamualaikum.” Suara Ibu akhirnya terdengar di balik pintu ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Buru-buru kusambut salam Ibu sambil membukakan pintu. Langsung kuserbu ibu dengan pelukan. Tangisku pecah. Sungguh, saat ini kusadari bagiku memiliki Ibu adalah kebahagiaan yang tak mungkin bisa dikalahkan oleh sekedar facebook-an.
Aku kesal pada Ibuku. Setelah sembilan tahun lalu ia membuatku putus sekolah karena tidak mampu, hari ini demi sekolah adikku, ibu tega mengorbankan uang tabungan hasil tetes keringatku sendiri. Padahal uang itu telah kurencanakan untuk membeli HP sore nanti. Ah, Ibu begitu tega merampas kebahagiaan yang baru saja ingin kunikmati.
“Kemarin Ibunya Sisi nge-add, setelah ku-konfirm kulihat-lihat timeline-nya. Kayak anak muda, ih amit-amit,” suara sumbang Tante Tati riuh rendah bersama ibu-ibu lain. Pembicaraan seputar facebook memang lebih mendominasi. Meskipun jejaring sosial baru sudah bermunculan, facebook sepertinya tetap di posisi tertinggi. Ibu-ibu ini amat bersemangat ketika bercerita status si Ini dan si Itu, atau tentang comment si A, si B, juga si C.
Aku membereskan piring kotor, mengelap meja yang terkena tumpahan kecap dan kuah tekwan. Tak habis pikir, bisa-bisanya mereka jorok begitu. Tiap kali mereka bubar, pekerjaanku menjadi lebih banyak. Karena saking asyiknya bercerita, ada saja ibu-ibu yang menumpahkan sesuatu di atas meja.
Tiga bulan terakhir, aku menjadi kenek di warung tekwan Mang Cek. Dengan upah sepuluh ribu perhari, kukumpulkan uang untuk membeli HP yang bisa facebook-an. Walau hanya mampu membeli keluaran Cina, aku sudah begitu bahagia. Toh, selama ini aku memang tak pernah ingin punya apa-apa. Kemiskinan yang diturunkan Ibu membuatku tak berani untuk sekedar bermimpi.
Keinginan ber-facebook juga terlintas karena aku terlalu sering mendengar perbincangan ibu-ibu di warung tekwan ini. Pelanggan Mang Cek rata-rata ibu muda yang tengah menunggu anak-anaknya bersekolah di SD yang berada tepat di seberang warung Mamang. Biasanya mereka datang bergerombol, sesuai geng masing-masing.
Seperti rombongan Tante Tati yang usil mengomentari Ibunya Sisi, ibu-ibu lain pun dengan penuh semangat menggunjing tentang suami sampai urusan remeh-temeh ibu-ibu yang tidak termasuk dalam grupnya. Perang status, comment-comment pedas, dan pamer foto profil semakin membuatku penasaran. Bagaimana rupa facebook sebenarnya? Bagaimana bisa ibu-ibu ini tak seperti Ibuku?
Ibuku tak tahu apa itu facebook. Ia juga tak pernah mau tahu. Ibu hanya tertarik pada Kemplang Bakar dagangannya. Ia menargetkan paling tidak tiap harinya lima bungkus Kemplang isi 22 keping laku terjual. Dengan harga jual sepuluh ribu, ibu bisa memperoleh keuntungan empat ribu rupiah perbungkusnya. Jika lima bungkus Kemplang terjual, maka dua puluh ribu keuntungannya itulah yang kemudian ibu belanjakan untuk keperluan kami.
Ibu selalu bangun lebih pagi dari siapa pun, bahkan sebelum ayam jantan berkokok, ia telah sibuk dengan setumpuk cuciannya. Bukan pakaianku, bukan pakaian kami. Ibu menerima upah mencuci pakaian tetangga guna menambah pendapatan. Untuk tenaga yang ia keluarkan itu, ibu dibayar seratus lima puluh ribu perbulan. Uang itu dipergunakan ibu untuk membayar keperluan sekolah adikku.
Bapak telah pergi ketika aku berumur tujuh tahun. Untuk membesarkan aku dan adikku yang baru lima tahun, ibu pontang-panting bekerja serabutan. Tak ada sanak keluarga. Ibu memang yatim piatu sejak ia memutuskan merantau ke Palembang dan menikah dengan Bapakku yang hanya kuli bangunan.
Meskipun penghasilan Bapak pas-pasan, hari-hari kami tetap penuh kebahagiaan. Ya, walaupun akhirnya masa-masa indah itu harus berakhir tragis. Bapak meninggal karena kecelakaan dalam proyek yang tengah ia kerjakan. Sejak itulah kerasnya hidup mulai kurasakan.
Aku terpaksa putus sekolah demi membantu ibu menjaga adikku sementara ia bekerja sebagai pembantu. Mahalnya kebutuhan pokok, membuat ibu terpaksa harus menyambi berjualan bawang di pasar pagi. Ibu juga pernah mencoba-coba berwirausaha dengan membuka warung pecel di depan gubuk kami, tapi usaha itu tak bertahan lama. Sayur-mayur rebusan yang tak laku hari itu akan basi, padahal modal belum balik sama sekali. Ibu sering nombok. Karena itulah ia akhirnya memilih menjadi tukang cuci.
Foto kemplang pinjam dari sini |
Kemplang mentah yang Ibu beli dengan harga dua ratus, dijual Ibu dengan harga lima ratus setelah dipanggang. Tetanggaku menyukainya. Sebagai salah satu kuliner khas Palembang, Kemplang seakan menjanjikan secercah peluang.
Tiap harinya, Ibu mulai memanggang setelah cucian ia jemur di halaman. Sebelum itu, ibu akan terlebih dahulu menyiapkan sarapan. Aku dan adikku yang terbiasa bangun selepas azan subuh berkumandang, akan mendapati ibu tengah memanaskan arang.
Karena rumah kami tidak terletak di perkampungan Kemplang Bakar yang terkenal itu, ibu terpaksa harus menjajakan dagangannya ke luar rumah jika ingin lebih laku. Mengharapkan penjualan di kalangan tetangga saja tentu tak akan mencukupi kebutuhan kami. Ibu harus berkelana membawa dagangannya dari perumahan satu ke perumahan lainnya. Sejauh yang kutahu, ibu pernah menempuh perjalanan dari Pasar Satelit Sako sampai ke sekitaran Palembang Square dengan berjalan kaki.
“Tahu nggak kabar terbaru? Si Santi anaknya Bu Roni yang nomor dua itu dibawa kabur oleh kenalan barunya di facebook.” Suara Tante Meri membuyarkan ingatanku akan Ibu. Sambil mengiris model pesanan grup Tante Meri, aku terus mengikuti alur cerita mereka.
“Heran, padahal sudah tahu facebook itu dunia maya, masih ditanggapi juga. Di dunia maya itu kita nggak pernah tahu siapa lawan siapa kawan. Jangan terlalu dipercaya. Kan orangnya nggak kelihatan juga.” Kali ini Tante Linda menggebu-gebu menimpali. Meskipun hanya empat orang, warung Mang Cek terdengar gaduh sekali lantaran ibu-ibu itu kian panas bersahut-sahutan.
Merenungi pembicaraan mereka, membuatku teringat kembali pada Ibu. Kekesalanku yang tadi pagi begitu memuncak, perlahan surut. Begitu egoisnya aku jika demi sesuatu yang semu, rela kukorbankan masa depan adikku. Putus sekolah adalah garis hidupku, tapi tidak untuk Si Bungsu. Ia harus mengenyam pendidikan agar hidupnya kelak lebih baik dari aku dan ibu.
***
Hujan di pangkal malam menambah kecemasanku menantikan ibu yang tak kunjung pulang. Tak biasanya ibu pulang malam begini. Biasanya tak lama setibanya aku dari tempat kerjaku, ibu akan menyusul muncul di ambang pintu. Kami akan membersihkan diri untuk persiapan salat magrib berjamaah. Kebiasaan yang diterapkan Bapak ketika ia masih ada itu tetap kami jaga. Tapi meski azan isya telah terdengar di kejauhan, ibu masih belum juga tiba. Hatiku tak karuan, apalagi mengingat tadi pagi aku sempat ngambek lantaran urung facebook-an.
“Assalamualaikum.” Suara Ibu akhirnya terdengar di balik pintu ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Buru-buru kusambut salam Ibu sambil membukakan pintu. Langsung kuserbu ibu dengan pelukan. Tangisku pecah. Sungguh, saat ini kusadari bagiku memiliki Ibu adalah kebahagiaan yang tak mungkin bisa dikalahkan oleh sekedar facebook-an.
***
2 comments on "Ibuku dan Facebook"
Ibu adalah segalanya. kita akan tahu bagaimana mulianya hati ibu setelah ada 'sesuatu' yang menyadarkan kita :')
ini kisah nyatakah? sepertinya cerpen ya? hehe
Iya, kadang butuh disentil dulu baru sadar :)
Ini fiksi, Tha. Kuharap, aku dan ibuku nasibnya gak kayak cerita ini :)
Post a Comment