Gambar dari sini |
Aku merasa ada yang tidak beres. Sejak kuutarakan keinginanku bergabung dengan kelas ballet, Mama mendadak jadi over-protectif. Jam sekolahku selalu dikontrol. Kalau pulang telat sedikit, langsung diinterogasi. Mama juga kerap menelepon wali kelas untuk memastikan keberadaanku. Padahal biasanya mama tak begini. Waktu SMP, aku bebas ikut ekskul apapun. Sastra, PMR, bahkan OSIS. Mama tak pernah mempermasalahkannya. Entah kenapa kali ini larangan mama keras sekali.
“Mungkin karena ballet itu gak populer di sini, Rin.” Alta melontarkan kemungkinan-kemungkinan atas perlakuan mama.
“Bisa jadi. Tapi bukannya itu justru bagus? Seingatku mama paling suka kalo aku mencoba hal-hal baru.” Aku berpikir sejenak. Alta mengernyitkan dahi. Teman sebangkuku ini ikut memutar otak.
“Kalo gitu, mungkin ballet bukan hal baru bagi mamamu. Mungkin ada sesuatu yang pernah terjadi tanpa kamu ketahui.” Aku merenungi ucapan Alta. Bisa jadi memang ada sesuatu yang tidak kuketahui. Selama ini mama cukup terbuka padaku. Kalau ada penolakan pada ide dan keinginanku, mama pasti mengutarakan alasannya dengan jelas. Tapi tidak jika kutanyakan perihal kelas ballet ini. Mama hanya berkata “tidak” tanpa kutahu apa alasannya.
“Terus gimana? Kamu jadi ikutan gak?”
“Tentu. Dari dulu aku pengen banget bisa nari ballet. Aku masuk SMA ini juga karena ada ekskul balletnya. Jadi gak mungkin dong aku nyerah gitu aja?” Alta tersenyum mendengar penuturanku yang begitu menggebu-gebu.
“Jam pulangnya gimana? Mama kamu kan suka nelponin sekolah kalo kamu telat.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebetulnya sama sekali tidak gatal, lalu mendesah keras nyaris putus asa.
“Nanti kita pikirin lagi,” kataku akhirnya.
Alunan musik dari kelas ballet menuntun langkahku menuju ruangan latihan itu. Aku mengintip di balik pintu. Barre dipenuhi siswi yang berlatih posisi berdiri dan melekukkan punggung. Dengan leotard biru menyala, pemandangan itu menggodaku untuk melangkah masuk. Entah mengapa, aku merasa begitu akrab dengan suasana seperti ini.
“Lerina?” Suara Miss Letta menyentakku. Ia tersenyum melihatku terkesima memandangi mereka.
“Ayo masuk!” katanya lagi. Aku mengangguk, lalu melangkah ragu-ragu mendekatinya.
“Kamu gak mau coba?”
“Hari ini belum, Miss. Ada jadwal privat. Sebentar lagi mama pasti jemput,” jawabku. Miss Letta tersenyum, lalu sibuk memasang pointe shoes-nya.
“Kamu harus cepat. Penerimaan anggota baru ditutup akhir minggu ini.” Miss Letta menepuk pundakku, lalu melangkah dengan anggun ke kerumunan anggota ekskul ballet yang telah menunggunya. Aku memandangi mereka lagi. Kali ini dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul begitu saja.
“Aku harus ikut, dengan atau pun tanpa izin mama,” tekadku.
Ma, Lerin kerja kelompok di rumah Alta. Nanti pulangnya dianterin.
Kukirim pesan singkat itu pada mama. Setelahnya, dengan mantap kakiku menuju Miss Letta. Aku yakin tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Aku ingin menjadi ballerina!
Aku berjingkat-jingkat, masuk tanpa suara. Aku tahu ini sudah terlalu sore. Suasana di kelas ballet yang begitu menyenangkan, membuat waktu terasa bergulir terlalu cepat. Aku amat menikmati latihan-latihan dari Miss Letta. Dengan chiffon skirt yang ia pinjamkan, aku merasa tubuhku begitu ringan. Seperti telah terbiasa, aku bahkan mampu mengenakan pointe shoes milik salah seorang senior. Padahal, menurut Miss Letta, sebagai pemula seharusnya aku mengenakan ballet shoes yang soft itu.
Aku memutar kenop pintu kamar dengan sangat pelan. Pintu kamar terbuka. Mama duduk di atas tempat tidur, melipat tangan di depan dada sambil menatapku tajam.
“Dari mana saja?” Suara mama menyemburkan amarah. Aku tak mampu menjawab. Tak pernah kulihat mama begitu menyeramkan seperti sekarang ini.
“Mama ke rumah Alta, kamu gak ada.” Tatapan dingin dari mata mata membuat tubuhku bergetar hebat.
“Berapa kali mama bilang, jangan ikut kelas ballet? Kenapa masih ngeyel?” Bentakan mama menggema di dalam kamarku. Sepertinya kali ini ia benar-benar marah.
“Kamu harus merenungkan kesalahanmu!” Mama mencengkram pergelangan tanganku. Ia menyeretku ke arah kamar gelap.
“Renungkan baik-baik!” Mama mendorongku masuk ke kamar hukuman ini. Sesaat kemudian, ia mengunci pintu. Dibiarkannya aku terpekur sendirian. Aku terisak. Kupandangi sekeliling. Gelap dan pengap. Butuh waktu yang cukup lama hingga kemudian mataku bisa melihat isi kamar hukuman yang tak pernah kuidamkan ini. Sejak kecil, jika melakukan kesalahan fatal, mama selalu menghukumku di sini. Tapi itu sudah tak pernah dilakukannya lagi sampai hari ini.
Sebenarnya apa salahku? Apakah menggemari ballet adalah hal yang benar-benar terlarang? Aku tak mengerti jalan pikiran mama.
Secercah cahaya mentari masuk dari celah-celah ventilasi. Aku membuka mataku. Sepertinya sudah pagi. Dan mama belum juga membukakan pintu, kejam sekali. Aku tak menyangka, mama benar-benar tega menghukumku seperti ini.
Aku memandang ke arah cahaya. Inilah petunjuknya, pikirku. Cahaya itu membuatku mampu melihat daun jendela. Aku berjalan mendekati jendela itu. Meski beberapa kali kakiku tersandung barang-barang bekas, aku tak peduli. Ya, hanya satu tujuanku kini. Aku akan melarikan diri!
Sedikit bersusah payah, akhirnya aku berhasil mencapai jendela itu. Kucari cara untuk membuka gerendel jendela yang telah berkarat karena lama tak dibuka. Aku berpikir sejenak, lalu melayangkan pandangan ke segala penjuru, berharap ada yang bisa dimanfaatkan untuk mendobrak jendela. Tapi mataku kemudian menangkap kotak besar di bawah meja. Entah mengapa, kakiku tiba-tiba saja sudah melangkah ke sana.
Aku menggapai kotak itu, lalu membersihkan debu-debu di atasnya. Begitu familiar. Itulah alasan yang membuatku tak ragu untuk membuka tutupnya. Ballet shoes berwarna pink, pointe shoes krem, leotard dan chiffon skirt beragam warna pastel, juga ballet stocking berwarna krem, putih, dan pink. Kepalaku mendadak sakit melihat benda-benda itu. Rasa mual dan keringat dingin makin memperburuk keadaanku. Lalu tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.
Kepalaku rasanya mau pecah. Sesuatu terasa ingin keluar, enatah apa dan bagaimana caranya. Aku pun tak tahu sekarang ada di mana karena sekali pun ingin, mataku seakan tak dapat terbuka. Ada gambaran dan suara-suara berisik dalam pikiranku. Aku melihat diriku yang lebih muda berbalut leotard biru dan ballet shoes pink berdiri di barre. Dengan rambut di-bun, keceriaan tercetak jelas di wajahku. Mama berdiri di hadapanku, tersenyum lebar.
“Lerina, jadilah ballerina mungil kebanggaan mama,” bisiknya.
Lalu gambaran itu menghitam, berganti gambaran lain. Kali ini aku yang sedikit lebih dewasa, mengenakan pointe shoes berwarna krem tampak kelelahan sehabis sesi pointe work. Mama ada di sampingku, setelah menyerahkan botol minum, ia memijit punggung kakiku yang memang terasa pegal.
Belum sempat kucerna semua gambaran itu, pemandangan dalam benakku berubah lagi. Aku berdiri di tengah panggung megah. Memegang ujung chiffon skirt, kuberi salam pada tiga juri di hadapanku, lalu bersiap memulai tarian. Namun tiba-tiba teriakan histeris menggema. Sebelum sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kurasakan sesuatu dari atas sana menghantam tubuhku. Seketika semuanya menjadi gelap.
“Harusnya mereka memastikan lampu panggug itu telah terpasang dengan baik. Aku akan menuntut penyelenggara kejuaraan ini. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu ceroboh?” Suara mama terdengar di sela-sela raungan sirene ambulans dan isak tangis orang di sekelilingku. Lalu semua kembali menghitam.
Rasa mual makin menjadi-jadi. Gambar bergerak itu muncul silih berganti, membuat kepalaku serasa ingin meledak. Lalu seberkas sinar memunculkan gambaran baru. Mama membungkuk di hadapanku. Perlahan-lahan gambar itu makin jelas.
“Kamu sudah sadar, Rin?” tanya mama. Aku mengerjapkan mata, benda-benda di sekitarku sudah tampak jelas. Aku yakin betul, kini aku berada di kamarku sendiri. Sesuatu yang tadi terasa ingin keluar dari kepalaku pun, kini sudah tak ada lagi.
“Kamu gak apa-apa kan, nak?” Mama memelukku. Isak tangisnya tumpah.
***
Pagi mendung, dingin, dan hening. Biasanya pagi-pagi begini mama telah siap dengan seragam kerjanya. Sembari menungguku membenahi peralatan sekolah, mama akan menyiapkan sarapan di meja makan. Tapi pagi ini tak kudapati mama di dapur. Ketika kucari ia di ruang tamu dan ruang keluarga, mama pun tak ada di sana.
“Ma?” Aku membuka pintu kamar mama, lalu berjalan menuju tempat tidur. Mataku terbelalak saat melihat sepatu ballet tergeletak di atas lantai. Sepatu itu milik mama ketika ia masih menjadi ballerina. Aku tahu pasti, sepatu kesayangannya itu adalah pemberian terakhir dari papa.
Aku tertegun memandangi sepatu itu. Seketika, kesejukan menjalari hatiku. Dari kaca jendela kamar mama, kulihat di luar sana hujan tumpah. Tetesan air yang jatuh di kolam membuat bunga teratai bergoyang-goyang, menari dalam hujan yang kian deras.
“Kamu mau menari, Rin?” Tiba-tiba mama muncul di belakangku. Ia mengenakan leotard pink dan stocking dengan warna senada. Di tangan mama, kulihat ada leotard biru milikku. Airmata tiba-tiba turun dari pelupuk mataku. Aku bahagia ketika mama menggenggam tanganku dengan erat.
“Kamu masih mau jadi ballerina seperti mama, kan sayang?” Aku mengangguk, tersenyum. Kuraih leotard dan pointe shoes-ku. Mama juga mengenakan miliknya. Di luar, teratai masih menari-nari dalam iringan hujan. Di sini, ada aku dan mama, menari sebagai dua ballerina.
“Mungkin karena ballet itu gak populer di sini, Rin.” Alta melontarkan kemungkinan-kemungkinan atas perlakuan mama.
“Bisa jadi. Tapi bukannya itu justru bagus? Seingatku mama paling suka kalo aku mencoba hal-hal baru.” Aku berpikir sejenak. Alta mengernyitkan dahi. Teman sebangkuku ini ikut memutar otak.
“Kalo gitu, mungkin ballet bukan hal baru bagi mamamu. Mungkin ada sesuatu yang pernah terjadi tanpa kamu ketahui.” Aku merenungi ucapan Alta. Bisa jadi memang ada sesuatu yang tidak kuketahui. Selama ini mama cukup terbuka padaku. Kalau ada penolakan pada ide dan keinginanku, mama pasti mengutarakan alasannya dengan jelas. Tapi tidak jika kutanyakan perihal kelas ballet ini. Mama hanya berkata “tidak” tanpa kutahu apa alasannya.
“Terus gimana? Kamu jadi ikutan gak?”
“Tentu. Dari dulu aku pengen banget bisa nari ballet. Aku masuk SMA ini juga karena ada ekskul balletnya. Jadi gak mungkin dong aku nyerah gitu aja?” Alta tersenyum mendengar penuturanku yang begitu menggebu-gebu.
“Jam pulangnya gimana? Mama kamu kan suka nelponin sekolah kalo kamu telat.” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebetulnya sama sekali tidak gatal, lalu mendesah keras nyaris putus asa.
“Nanti kita pikirin lagi,” kataku akhirnya.
***
Alunan musik dari kelas ballet menuntun langkahku menuju ruangan latihan itu. Aku mengintip di balik pintu. Barre dipenuhi siswi yang berlatih posisi berdiri dan melekukkan punggung. Dengan leotard biru menyala, pemandangan itu menggodaku untuk melangkah masuk. Entah mengapa, aku merasa begitu akrab dengan suasana seperti ini.
“Lerina?” Suara Miss Letta menyentakku. Ia tersenyum melihatku terkesima memandangi mereka.
“Ayo masuk!” katanya lagi. Aku mengangguk, lalu melangkah ragu-ragu mendekatinya.
“Kamu gak mau coba?”
“Hari ini belum, Miss. Ada jadwal privat. Sebentar lagi mama pasti jemput,” jawabku. Miss Letta tersenyum, lalu sibuk memasang pointe shoes-nya.
“Kamu harus cepat. Penerimaan anggota baru ditutup akhir minggu ini.” Miss Letta menepuk pundakku, lalu melangkah dengan anggun ke kerumunan anggota ekskul ballet yang telah menunggunya. Aku memandangi mereka lagi. Kali ini dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul begitu saja.
“Aku harus ikut, dengan atau pun tanpa izin mama,” tekadku.
Ma, Lerin kerja kelompok di rumah Alta. Nanti pulangnya dianterin.
Kukirim pesan singkat itu pada mama. Setelahnya, dengan mantap kakiku menuju Miss Letta. Aku yakin tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Aku ingin menjadi ballerina!
***
Aku berjingkat-jingkat, masuk tanpa suara. Aku tahu ini sudah terlalu sore. Suasana di kelas ballet yang begitu menyenangkan, membuat waktu terasa bergulir terlalu cepat. Aku amat menikmati latihan-latihan dari Miss Letta. Dengan chiffon skirt yang ia pinjamkan, aku merasa tubuhku begitu ringan. Seperti telah terbiasa, aku bahkan mampu mengenakan pointe shoes milik salah seorang senior. Padahal, menurut Miss Letta, sebagai pemula seharusnya aku mengenakan ballet shoes yang soft itu.
Aku memutar kenop pintu kamar dengan sangat pelan. Pintu kamar terbuka. Mama duduk di atas tempat tidur, melipat tangan di depan dada sambil menatapku tajam.
“Dari mana saja?” Suara mama menyemburkan amarah. Aku tak mampu menjawab. Tak pernah kulihat mama begitu menyeramkan seperti sekarang ini.
“Mama ke rumah Alta, kamu gak ada.” Tatapan dingin dari mata mata membuat tubuhku bergetar hebat.
“Berapa kali mama bilang, jangan ikut kelas ballet? Kenapa masih ngeyel?” Bentakan mama menggema di dalam kamarku. Sepertinya kali ini ia benar-benar marah.
“Kamu harus merenungkan kesalahanmu!” Mama mencengkram pergelangan tanganku. Ia menyeretku ke arah kamar gelap.
“Renungkan baik-baik!” Mama mendorongku masuk ke kamar hukuman ini. Sesaat kemudian, ia mengunci pintu. Dibiarkannya aku terpekur sendirian. Aku terisak. Kupandangi sekeliling. Gelap dan pengap. Butuh waktu yang cukup lama hingga kemudian mataku bisa melihat isi kamar hukuman yang tak pernah kuidamkan ini. Sejak kecil, jika melakukan kesalahan fatal, mama selalu menghukumku di sini. Tapi itu sudah tak pernah dilakukannya lagi sampai hari ini.
Sebenarnya apa salahku? Apakah menggemari ballet adalah hal yang benar-benar terlarang? Aku tak mengerti jalan pikiran mama.
***
Secercah cahaya mentari masuk dari celah-celah ventilasi. Aku membuka mataku. Sepertinya sudah pagi. Dan mama belum juga membukakan pintu, kejam sekali. Aku tak menyangka, mama benar-benar tega menghukumku seperti ini.
Aku memandang ke arah cahaya. Inilah petunjuknya, pikirku. Cahaya itu membuatku mampu melihat daun jendela. Aku berjalan mendekati jendela itu. Meski beberapa kali kakiku tersandung barang-barang bekas, aku tak peduli. Ya, hanya satu tujuanku kini. Aku akan melarikan diri!
Sedikit bersusah payah, akhirnya aku berhasil mencapai jendela itu. Kucari cara untuk membuka gerendel jendela yang telah berkarat karena lama tak dibuka. Aku berpikir sejenak, lalu melayangkan pandangan ke segala penjuru, berharap ada yang bisa dimanfaatkan untuk mendobrak jendela. Tapi mataku kemudian menangkap kotak besar di bawah meja. Entah mengapa, kakiku tiba-tiba saja sudah melangkah ke sana.
Aku menggapai kotak itu, lalu membersihkan debu-debu di atasnya. Begitu familiar. Itulah alasan yang membuatku tak ragu untuk membuka tutupnya. Ballet shoes berwarna pink, pointe shoes krem, leotard dan chiffon skirt beragam warna pastel, juga ballet stocking berwarna krem, putih, dan pink. Kepalaku mendadak sakit melihat benda-benda itu. Rasa mual dan keringat dingin makin memperburuk keadaanku. Lalu tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.
***
Kepalaku rasanya mau pecah. Sesuatu terasa ingin keluar, enatah apa dan bagaimana caranya. Aku pun tak tahu sekarang ada di mana karena sekali pun ingin, mataku seakan tak dapat terbuka. Ada gambaran dan suara-suara berisik dalam pikiranku. Aku melihat diriku yang lebih muda berbalut leotard biru dan ballet shoes pink berdiri di barre. Dengan rambut di-bun, keceriaan tercetak jelas di wajahku. Mama berdiri di hadapanku, tersenyum lebar.
“Lerina, jadilah ballerina mungil kebanggaan mama,” bisiknya.
Lalu gambaran itu menghitam, berganti gambaran lain. Kali ini aku yang sedikit lebih dewasa, mengenakan pointe shoes berwarna krem tampak kelelahan sehabis sesi pointe work. Mama ada di sampingku, setelah menyerahkan botol minum, ia memijit punggung kakiku yang memang terasa pegal.
Belum sempat kucerna semua gambaran itu, pemandangan dalam benakku berubah lagi. Aku berdiri di tengah panggung megah. Memegang ujung chiffon skirt, kuberi salam pada tiga juri di hadapanku, lalu bersiap memulai tarian. Namun tiba-tiba teriakan histeris menggema. Sebelum sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kurasakan sesuatu dari atas sana menghantam tubuhku. Seketika semuanya menjadi gelap.
“Harusnya mereka memastikan lampu panggug itu telah terpasang dengan baik. Aku akan menuntut penyelenggara kejuaraan ini. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu ceroboh?” Suara mama terdengar di sela-sela raungan sirene ambulans dan isak tangis orang di sekelilingku. Lalu semua kembali menghitam.
Rasa mual makin menjadi-jadi. Gambar bergerak itu muncul silih berganti, membuat kepalaku serasa ingin meledak. Lalu seberkas sinar memunculkan gambaran baru. Mama membungkuk di hadapanku. Perlahan-lahan gambar itu makin jelas.
“Kamu sudah sadar, Rin?” tanya mama. Aku mengerjapkan mata, benda-benda di sekitarku sudah tampak jelas. Aku yakin betul, kini aku berada di kamarku sendiri. Sesuatu yang tadi terasa ingin keluar dari kepalaku pun, kini sudah tak ada lagi.
“Kamu gak apa-apa kan, nak?” Mama memelukku. Isak tangisnya tumpah.
***
Pagi mendung, dingin, dan hening. Biasanya pagi-pagi begini mama telah siap dengan seragam kerjanya. Sembari menungguku membenahi peralatan sekolah, mama akan menyiapkan sarapan di meja makan. Tapi pagi ini tak kudapati mama di dapur. Ketika kucari ia di ruang tamu dan ruang keluarga, mama pun tak ada di sana.
“Ma?” Aku membuka pintu kamar mama, lalu berjalan menuju tempat tidur. Mataku terbelalak saat melihat sepatu ballet tergeletak di atas lantai. Sepatu itu milik mama ketika ia masih menjadi ballerina. Aku tahu pasti, sepatu kesayangannya itu adalah pemberian terakhir dari papa.
Aku tertegun memandangi sepatu itu. Seketika, kesejukan menjalari hatiku. Dari kaca jendela kamar mama, kulihat di luar sana hujan tumpah. Tetesan air yang jatuh di kolam membuat bunga teratai bergoyang-goyang, menari dalam hujan yang kian deras.
“Kamu mau menari, Rin?” Tiba-tiba mama muncul di belakangku. Ia mengenakan leotard pink dan stocking dengan warna senada. Di tangan mama, kulihat ada leotard biru milikku. Airmata tiba-tiba turun dari pelupuk mataku. Aku bahagia ketika mama menggenggam tanganku dengan erat.
“Kamu masih mau jadi ballerina seperti mama, kan sayang?” Aku mengangguk, tersenyum. Kuraih leotard dan pointe shoes-ku. Mama juga mengenakan miliknya. Di luar, teratai masih menari-nari dalam iringan hujan. Di sini, ada aku dan mama, menari sebagai dua ballerina.
***
0 comments on "Dua Ballerina"
Post a Comment