Bermalam di Rumah Nyek
Oleh: Annisa Ramadona
Aku tak pernah diizinkan pergi jauh tanpa keluarga. Tak pernah bisa mendaki gunung seperti teman Pecinta Alam-ku semasa SMA. Tak bisa naik pangkat menjadi Senior Madya, juga lantaran tidak diizinkan ikut rombongan POLTABES melatih anggota Patroli Keamanan Sekolah (PKS), sebagai syarat mutlaknya. Aku dianggap anak kecil yang tidak boleh jauh dari orang tua.
Sampai kemudian aku menginjak bangku kuliah. Kelonggaran demi kelonggaran mulai diberikan. Entah karena kepercayaan yang terus kujaga, atau memang sudah waktunya, orang tuaku dengan enteng memberi restu ketika KOMASIP mengadakan program ke luar daerah.
Februari 2010, tepatnya tanggal dua puluh enam aku bersama rombongan bergerak menuju Desa Penanggoan Duren, Tulung Selapan. Aku adalah satu dari sekian banyak anggota muda yang akan dikukuhkan di sana.
Perasaan asing menyergapku ketika pertama kali menginjakkan kaki di Desa itu. Kerumunan wanita, baik ibu-ibu maupun remaja duduk menghadap sebuah permainan, Bingo. Entah bagaimana memainkannya, tapi suara mereka meneriakkan angka-angka dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti. Teriakkan itulah yang menyambut kedatangan kami.
Sebuah rumah telah dipersiapkan untuk kami huni. Rumah itu adalah kediaman salah seorang senior KOMASIP yang merupakan putra daerah asli Desa itu. Keluarganya menghidangkan masakan khas untuk kami santap seusai beristirahat sekitar setengah jam. Kami dijamu layaknya tamu kehormatan.
Namun kenyamanan itu tidak berlangsung lama, mengingat tujuan kedatangan kami yang sebenarnya. Pengukuhan, tidak mungkin ada cerita bermanja-manja, tak ada yang boleh jadi anak mama. Ini Desa, tempat untuk bersimulasi menjadi dewasa.
Setelah salat isya berjamaah, aku dan anggota muda lainnya diharuskan untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sana. Tidak ada satu anggota pun yang boleh bersama-sama. Setiap orang harus mendapatkan nilai-nilai sendiri, pengalaman baru yang tidak mungkin sama satu dengan lainnya.
Pasangan suami istri enam puluh tahunan menyambut dengan ramah ketika aku menginjakkan kaki di rumahnya. Mereka sedang menunggu keponakannya pulang. Aku sempat canggung, tak tahu harus mulai bercerita dari mana untuk mencairkan suasana.
Karena dibesarkan oleh keluarga kecil, aku jadi sedikit susah bergaul. Apalagi di tempat asing seperti itu. Untunglah, mereka memahami kesulitanku. Mereka memulai percakapan dengan menanyaiku ini itu. Aku pun merasa nyaman untuk mengikuti alur cerita yang mereka buka.
Menjelang pukul sebelas malam, keponakan mereka pulang. Aku sempat heran, seorang gadis seharusnya tidak pulang begitu malam. Tapi tanpa ditanya, Lita, nama keponakan mereka, menjelaskan bahwa di Los Pasar besok ada pesta. Sudah menjadi tradisi jika muda mudi berkumpul di sana untuk membantu dekorasi.
Nenek dan Kakek pamit beristirahat, kini Lita mengajakku ke kamarnya. Kucoba mengakrabkan diri dengan gadis enam belas tahunan itu. Lita juga menempatkan diri sebagai lawan bicara yang enak diajak bercerita. Aku dan Lita langsung akrab malam itu juga.
Sampai jarum jam menunjukkan pukul satu, kami masih saja asyik bercengkrama. Ia menceritakan banyak hal padaku. Mulai dari kesehariannya, sampai tradisi dan sejarah di Desa itu.
“Kalau kakek, panggilannya Iyek. Nah, kalau nenek, dipanggil Nyek,” Lita menjelaskan.
“Jadi kakek dan nenek tadi seharusnya aku panggil Iyek dan Nyek?” tanyaku, Lita malah tertawa. Ia menimpali aksenku yang terdengar aneh ketika menyebut dua panggilan itu. Aku terus belajar, sampai terdengar sedikit lebih mirip dengan yang ia ucapkan.
“Iyek dan Nyek punya sembilan anak, semuanya sudah berkeluarga. Agar tidak kesepian, sesekali aku menginap di sini,” Lita meneruskan cerita. Aku merasa nyaman dengannya, mungkin karena ia masih muda.
“Kalau di sini, anak gadis harus bisa masak. Ayuk bisa masak?” Aku menggeleng. Lita tersenyum tipis.
“Kalau gitu, besok Lita ajarin ayuk masak, ya,” pintaku.
“Insyaallah, tergantung jadwal,” candanya. Aku memasang muka memelas.
Aku memang tidak ahli untuk urusan dapur. Sejak sekolah, jadwalku selalu padat. Les tambahan, ekstrakulikuler, dan aktivitas lainnya membuatku jarang berada di dapur selain untuk makan dan mencuci piring. Apalagi setelah bekerja dan kuliah, aku tak pernah lama menghabiskan waktu di dapaur, kecuali saat libur.
“Iya deh, kalau besok pagi Lita belum disuruh pulang, nanti Lita ajarin,” janji Lita akhirnya. Aku tersenyum lega.
Lita fasih berbahasa Palembang, itu juga yang menjadi salah satu faktor mengapa kami bisa terus bercerita meski jarum jam kini menunjukkan pukul dua kurang. Dari ceritanya, aku tahu bahwa gadis itu tadinya sekolah di kota. Tapi karena susah beradaptasi dengan pergaulan dan pelajaran yang lebih ekstrim, ia memutuskan untuk kembali ke desa.
“Belum tidok, Dok?” suara Iyek di pintu kamar menghentikan cerita kami malam itu. Aku dan Lita terkekeh menyadari bahwa kami telah bercerita begitu lama. Aku menarik selimut, memutuskan untuk tidur secepatnya.
Menyadari waktu subuh tiba, aku buru-buru bangun dari tidurku yang hanya tiga jam itu. Aku ingat pesan mama bahwa di rumah orang, aku tidak boleh bangun kesiangan, tidak boleh merepotkan tuan rumah, juga tidak boleh bermalas-malasan.
Samar-samar kudengar lantunan zikir Iyek di ruang keluarga, tak lama kemudian Nyek membuka pintu kamar Lita. Melihatku yang tengah membereskan tempat tidur, Nyek langsung tersenyum sambil menyerahkan alat salat. Ia membimbingku menuju kamar mandi.
Setelah menunaikan kewajiban, aku kembali ke kamar, Lita sudah berpakaian rapi sekali. Ia melihatku, kemudian mendesah perlahan.
“Maaf, yuk. Barusan Lita disuruh pulang,” ia terlihat kurang enak hati, mungkin karena janjinya semalam tak bisa ia tepati. Aku memasang senyum lebar. Tak ingin membuatnya merasa bersalah.
“Gak apa, Ta. Ayuk minta ajarin Nyek aja,” aku berkilah. Lita mengangguk, kemudian pamit pergi.
Nyek mengajakku ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia menyeduh the untukku dan Iyek, lalu menyerahkan dua bungkus mie instan untuk kumasak. Aku mendesah lega. Kalau mie instan aku sudah pasti bisa.
Setelah menghabiskan sarapan sambil berbincang-bincang dengan Nyek dan Iyek, aku mencuci semua piring kotornya. Kalau cuci mencuci, aku memang ahli. Namun sebelum piring selesai kucuci, Nyek membawakan ikan sepat untuk kusiangi. Aku kebingungan, tapi tak berani berkata tidak. Aku malu jika Nyek tahu bahwa dengan usia yang tak lagi anak-anak, memasak pun aku tak bisa.
Asal-asalan kubersihkan ikan, yang penting sirip, sisik dan isi perut telah kusingkirkan. Kucuci beberapa kali, kemudian kuserahkan pada Nyek yang tengah menyiapkan bumbu gorengnya.
Nyek menerima ikan itu dengan hangat, entah benar atau salah, Nyek tak mengeluarkan komentar. Ia menyerahkan ikan setelah dibumbui lagi. Dihidupkannya kompor dengan api sedang, setelah minyak panas, ia mempersilakanku menyelupkan ikan ke dalamnya.
Aku takut sekali ketika minyak panas mengeluarkan gemericik dan letupan-letupan kecil. Tapi aku malu kalau Nyek tahu bahwa menggoreng ikan juga bukan keahlianku. Aku bahkan tak tahu kapan harus membalik, dan kapan harus menganggkat ikan kalau sudah matang.
Sekali lagi aku asal-asalan. Nyek sepertinya bukan tipe orang yang cerewet. Ia tetap saja menerima sambil tersenyum ikhlas ketika aku menyerahkan hasil gorengan yang sudah tidak jelas bentuknya. Nyek meletakkan ikan goreng itu di bawah tudung saji, kemudian mengajakku istirahat sejenak.
Aku memutuskan untuk membereskan sisa bumbu yang berantakan, menyapu dapur dan seluruh ruangan. Aku ingin meninggalkan kesan manis, ingin berhasil melakukan satu saja pekerjaan yang sebenarnya lumrah dilakukan perempuan.
Nyek menunjukkan letak sapu biasa diletakkan. Sapu ijuk tergantung di dinding, berjajar rapi dengan sapu lidi dan rekan-rekan. Segera kuambil sapu ijuk bergagang kuyu itu, kemudian mulai menyapu.
Semua sudut, mulai dari teras sampai dapur kujelajahi dengan penuh semangat. Namun tiba-tiba, aku merasa ada yang salah. Sapu yang kupegang mendadak patah. Aku kebingungan, salah tingkah. Ragu-ragu kuhampiri Nyek yang sedang mengisi air di kamar mandi.
“Nyek, maaf… Sapunya patah,” kataku takut-takut. Nyek memperhatikan patahan sapu yang kupegang, ia kemudian tersenyum lagi.
“Dak ape, istirahatlah, Dok,” ucapnya kemudian, masih dengan senyum hangatnya.
Aku benar-benar malu. Mengapa tak ada satu pun pekerjaan yang hasilnya memuaskan? Aku malu, meskipun Nyek tak pernah mempermasalahkan.
Menjelang tengah hari, aku pamit pulang ke rumah senior tempat barang-barangku diletakkan. Sebelumnya aku berterima kasih karena Iyek dan Nyek telah menerimaku bermalam. Aku juga minta maaf atas kecerobohanku mematahkan sapu. Iyek dan Nyek melepasku haru. Mereka berpesan untuk datang lagi lain waktu.
“Insyaallah, Nyek, Iyek….”
***
Satu tahun berlalu, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke Desa itu. Kudatangi Iyek dan Nyek di rumahnya yang masih sama seperti dulu. Iyek ada di ruang tamu, setelah kusalami, ia membawaku ke dapur. Nyek sedang mengolah bumbu di sana.
Saat melihatku, Nyek langsung bergerak mendekat. Aku pun tak sabar untuk segera menyalami tangannya yang hangat. Aku bergerak maju, tanpa memperhatikan barang-barang yang berserakan di lantai. Sekali lagi, aku kembali merepotkan. Keranjang bumbu Nyek terinjak kakiku, tumpah ruah bersama gelak tawa yang memenuhi udara dapur sederhananya. *