Wednesday, 21 November 2012

Antara Fakta & Idealita



Komunikasi Mahasiswa Komunikasi
Oleh: Annisa Ramadona

            Mahasiswa harus cakap berbicara dan menulis. Begitulah salah satu dosen STISIPOL Candradimuka mengungkapkan di sela-sela materi perkuliahan. Saya menyetujui pernyataannya itu. Sebagai salah satu mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka yang telah tiga tahun menempuh pendidikan di sana, saya merasakan betul pentingnya kedua hal itu baik dalam lingkup akademis, maupun kehidupan sehari-hari.
            Masyarakat memberikan gelar-gelar istimewa untuk orang-orang yang duduk di bangku perguruan tinggi. Misalnya saja “kalangan intelektual” dan “kalangan terpelajar”. Untuk keistimewaan itu tentu saja mahasiswa tidak mendapatkannya dengan cuma-cuma. Ada tuntutan tanggungjawab berupa peran aktif di masyarakat seperti menjadi penyalur aspirasi dan argumentasi, penyumbang ide, juga sebagai social control yang menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat atau pun sebaliknya. Karena itulah seorang mahasiswa harus memiliki intelektual, meliputi kecakapan berkomunikasi serta kemampuan berliterasi.
            Faktanya, tidak semua mahasiswa, khususnya mahasiswa komunikasi memiliki kecakapan tersebut. Masih banyak mahasiswa yang tidak mampu mengungkapkan pendapatnya di muka umum, tidak terbiasa berdiskusi, juga tidak pernah membuat karya tulis sendiri. Mahasiswa yang idealnya bermanfaat di masyarakat sebagai perantara penyampaian aspirasi, terkadang justru terkesan berdiam diri.
            Untuk ketidakmampuan itu, tentu saja tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mahasiswa. Sejatinya, kondisi kampus beserta kredebilitas dosen juga ambil bagian dalam pembentukan mahasiswa ideal di STISIPOL Candradimuka.
            Mahasiswa mengikuti perkuliahan dengan tujuan awal yang berbeda satu dengan   lainnya. Sekedar melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, untuk menaikkan derajat di mata masyarakat, atau pun berharap memperoleh pekerjaan yang layak guna hidup yang lebih baik di masa mendatang. Tujuan awal itulah yang kemudian akan mempengaruhi proses transfer ilmu yang kerap kita sebut kuliah itu.
            Dosen sebagai orang yang mentransfer ilmu, hendaknya pertama-tama menarik antusiasme dalam belajar sehingga mahasiswa lebih fokus pada perkulihannya, bukan pada tujuan awal mereka. Dosen diharapkan dapat merangsang mahasiswa untuk tertarik pada materi kuliah, memperhatikan, serta mencari tahu lebih dalam akan materi yang ia sampaikan. Dengan begitu mahasiswa akan mampu menyerap ilmu lebih banyak. Mahasiswa yang menguasai materi serta berwawasan luas tentu akan memiliki kepercayaan diri untuk mengutarakan pandangan serta gagasannya.
            Sehari-hari sebagai mahasiswa kelas regular pagi, saya memang kerap menemukan beberapa dosen yang menuntut mahasiswa aktif baik melalui tanya jawab maupun menggali dari berbagai sumber dan referensi. Berdiskusi di kelas juga sering diterapkan sebagai metode belajar dengan tujuan agar mahasiswa bisa aktif mandiri mencari ilmu di luar materi yang telah disampaikan dosen, menganalisa permasalahan, serta menyuarakan pendapat dan mempertahankan argumentasinya. Diskusi memungkinkan mahasiswa untuk lebih kritis dan terlatih dalam menyampaikan buah pikirannya di depan umum.
            Kekurangannya, metode ini tidak menyentuh seluruh lapisan kelas. Ada dua jenis mahasiswa yang kemudian akan muncul, yaitu mahasiswa yang aktif dan mahasiswa yang pasif. Mahasiswa aktif akan menggali segala sumber informasi untuk menguasai materi. Mahasiswa inilah yang akan menghangatkan ruang diskusi dengan argumen-argumennya. Sedangkan mahasiswa pasif biasanya hanya akan menonton atau sibuk sendiri dengan urusannya.
            Pengalaman berdiskusi di kelas untuk beberapa mata kuliah, dosen terkadang tidak mempermasalahkan pasifnya sebagian mahasiswa. Diskusi yang berlangsung panas dengan adu argumen beberapa mahasiswa yang itu-itu saja, dinilai telah berhasil. Padahal sebagian mahasiswa lainnya bahkan tidak mengeluarkan pendapat sama sekali. Semakin sering metode ini diterapkan, semakin bersandarlah mereka pada teman-teman yang aktif. Karena biasanya nilai yang diperoleh adalah hasil kelompok, maka tanpa perlu bersusah payah mereka mendapatkan nilai yang sama dengan mahasiswa aktif di kelompok mereka. Jadi, wajar saja jika semakin lama, mahasiswa-mahasiswa ini semakin tidak bisa “bicara”.
            Ada beberapa dosen yang memang sama sekali tidak pernah memberi instruksi untuk berdiskusi. Kebanyakan dosen-dosen ini menjelaskan sendiri semua materi perkuliahan dari bahan-bahan yang telah disiapkan. Mereka memang cukup menguasai materi, namun sayangnya dosen-dosen ini kadang asyik menjelaskan dari awal hingga habis satu mata kuliah dengan tidak memberi umpan balik. Tak ada tanya jawab. Mahasiswa seakan mampu menyantap semua yang telah disajikan.
            Namun ada pula sebagian dosen yang menguasai materi secara mendalam sehingga cara mereka menjelaskan begitu mantap dan menarik perhatian. Dosen-dosen tersebut juga kerap kali mengajukan pertanyaan dan memancing mahasiswa untuk mengutarakan pendapatnya. Mereka menunjuk secara acak dan bergantian sehingga mahasiswa satu dengan yang lainnya tidak dapat saling mengandalkan. Setiap kali selesai menyampaikan materi, sang dosen memberi kesempatan bagi mahasiswa yang ingin mengajukan pertanyaan. Mahasiswa dituntut untuk menjadi aktif di dalam perkuliahan. Dengan cara itulah mahasiswa mulai terlatih untuk berkomunikasi.
Lalu bagaimana dengan kemampuan menulis? Menggalakkan budaya menulis di kalangan mahasiswa tentu erat kaitannya dengan minat membaca kaum muda tersebut. Banyak penulis mengawali karyanya dengan membaca karya orang lain terlebih dahulu. Karena dengan membaca kita akan memperoleh wawasan serta kosa kata baru. Maka, mahasiswa tidak akan gemar menulis jika ia tidak gemar membaca.
Sayangnya kemajuan teknologi kini membuat mahasiswa lebih memilih cara praktis. Mereka cenderung memilih visualisasi daripada harus berkutat dengan literasi. Ketika disodori tugas, internet menyajikan kemudahan melalui mesin pencarinya. Mahasiswa bisa menyalin karya orang lain tanpa perlu bersusah payah menulis.
Ketika diwawancarai wartawan Kompas beberapa waktu lalu, saya diminta menjadi narasumber Rubrik Kompas Kampus edisi 6 November 2012 yang pada saat itu mengangkat tema Budaya Menulis di Perguruan Tinggi. Wartawan surat kabar Nasional itu bertanya, “Apakah dosen di Candradimuka sering memberi tugas berupa karya tulis? Apakah di kampus juga ada budaya copy-paste untuk pengerjaan tugas? Lalu bagaimana reaksi dosen ketika mengetahui bahwa mahasiswanya hanya copy-paste?”
Penuh kehati-hatian saya mencoba menjawab rentetan pertanyaan itu. Saya tak ingin berbohong, tetapi saya juga tak ingin merusak citra kampus kita, apalagi jika mengingat surat kabar ini terbit Nasional.
“Ya, dosen saya pernah memberi tugas seperti itu. Memang kebanyakan mahasiswa copy-paste. Tentu dosen akan marah dan melarang, tapi namanya mahasiswa, kadang-kadang suka bandel,” akhirnya saya memutuskan untuk menjawab seperti itu.
Idealnya, untuk meningkatkan kemampuan menulis, mahasiswa memang perlu dilatih menulis. Pemberian tugas berupa karya tulis dapat merangsang mahasiswa untuk mengembangkan minat dan kemampuannya akan dunia olah kata tersebut.
Di STISIPOL Candradimuka sebagian besar dosen memang kerap memberi tugas demikian. Hanya saja faktanya virus copy-paste yang menyebar di kalangan mahasiswa, meski telah diketahui dosen sekali pun, tetap saja mewabah. Dosen memang melarang, tetapi tidak pernah menindak tegas. Lampu merah tidak pernah benar-benar menyala. Dosen hanya menyalakan lampu kuning, berupa peringatan serta menyalakan lampu hijau sebagai perizinan dengan dalih sumber wajib ditulis di lembar daftar pustaka.
Yang penting mahasiswa mengumpul tugas. Masalah copy-paste atau tidak bukanlah masalah besar. Setidaknya mahasiswa telah berusaha, tidak perlu dipersulit. Mungkin ada saja yang berpikir demikian, tapi akan sampai kapan? Sampai mahasiswa benar-benar tak mampu berkarya?
Jika mahasiswa tak mampu berbicara dan menulis, bagaimana kelak akan menyuarakan aspirasinya? Bukankah mahasiswa harus mengimplementasikan ilmunya dan mengabdi untuk masyarakat? Untuk itulah, sebelum terlarut dalam euphoria Dies Natalis STISIPOL Candradimuka yang ke-45 ada baiknya jika kita sama-sama berbenah. Perbaikan demi perbaikan tentu akan membawa hasil terbaik. Semuga kelak STISIPOL Candradimuka akan menetaskan mahasiswa-mahasiswa komunikasi yang benar-benar mampu berkomunikasi. (dn)

0 comments on "Antara Fakta & Idealita"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal