Thursday, 29 November 2012

MOUNTAINEERING

Dalam artian luas dapat diartikan suatu perjalanan pendakian atau pencapaian suatu puncak, mulai dari pendakian muda seperti hill walking sampai pendakian sulit seperti climbing.

Dalam mendaki gunung pada dasarnya ada dua factor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu pendakian. Factor pertama sifatnya intern artinya dating dari si pendaki gunung itu sendiri. Kalau factor intern tidak dipersiapkan dengan baik, maka si pendaki gunung terancam oleh bahaya subyek. Persiapan yang kurang akan mendatangkan bahaya bagi si pendaki gunung itu sendiri. Factor kedua ialah ekstern, yaitu datangnya dari luar si pendaki gunung. Bahaya yang mengancam dari luar ini datang dari objek pendakiannya. Sehingga secara teknis disebut bahaya obyek. Bahaya ini bias berupa badai hujan, udar dingin, kabut longsoran dll. Factor ekstern ini masih bias diperhitungkan meskipun tidak semudah memperhitungkan factor intern. Kecelakaan yang terjadi di gunung-gunung di Indonesia umumnya disebabkan oleh factor intern karena persiapan yang kurang. Persiapan ini berupa persiapan fisik perlengkapan perbekalan pengetahuan, keterampilan, dan mental. Pendaki gunung harus dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan mendaki gunung. Penting juga mengetahui karakteristik gunung yang akan didaki karena ini merupakan salah satu usaha mengurangi bahaya obyek yang akan timbul.

Sejak dua abad yang lalu kegiatan mendaki gunung mulai dikenal dan digemari oleh manusia. Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan baik semasa peperangan maupun ketika melakukan tuntutan kehidupannya. Seperti yang dilakukan oleh hanibal panglima kerajaan Kartago atas pegunungan Alpen yang bersejarah atau petualangan yang dilakukan Jenghia Khan yang melintasi pegunungan Karakorum dan Kaukasus untuk menuju Asia Tengah.

Dalam bentuknya yang seperti sekarang ini pendakian yang gemilang untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1786 ketika Dr Paccard dan seorang pemandu ………. Mencapai puncak Mount Black (4807 m dpl) yang tujuannya sebagai pengamatan ilmiah.

Babak berikutnya puncak-puncak pegunungan Alpen mulai dijajaki oleh penggemar olahraga mendaki gunung dan semakin popular setelah Sir Alfred Willis dkk pada tahun 1854 berhasil mencapai puncak Watter Horn (3708 m dpl). Pendakian ini merupakan cikal bakal terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua didunia British Alpine Club (1857).

Kemudian Edward Whymper seorang pelukis Inggris memimpin pendakian ke Matter Horn (4478 m dpl) ada tahun 1855. pendakian tersebut dimaksudkan untuk membuat lukisan pegunungan Alpen. Tetapi tragis ketika mereka turun setelah keberhasilannya tali pengaman putus sehingga merenggut empat jiwa dari tujuh anggota kelompoknya. Setelah pendakian yang penuh tragedy itu, mulailah para pendaki gunung mencoba puncak-puncak lainnya. Ketika puncak-puncak pegunungan Alpen sudah sering didaki para pendaki mulai mencari puncak lainnya dan mengalihkan pilihan pada pegunungan Himalaya. Sekelompok pendaki gunung Prancis pada tahun 1950 berhasil mencapai puncak Annapurna I (8078 m dpl). Prestasi ini mendorong minat colonel John Hunt untuk memimpin ekspedisi mencapai puncak Mount Everst (8848 m dpl) puncak tertinggi didunia yang ditemukan tahun 1852 oleh Sir Andrew Vaugh (mengambil nam Everest untuk menghormati gurunya Sir George Everest).

Setelah mengalami beberapa kegagalan akhirnya Mount Everest dapat dicapai oleh Edmund Hillary dari Selandia Baru dengan bendera Inggris, Nepal dan PBB bersama seorang pemandu dari Nepal Tenzing Norgay pada tanggal 29 Mei 1953.

Di Indonesia pada tahun 1909 – 1991 suatu ekspedisi persatuan ahli-ahli burubg dari Inggris mencoba menembus rimba Irian dari arah selatan menuju gugusan pegunungan salju Jayawijaya. Mereka tinggal selama 19 bulan tetapi kembali dengan kegagalan.

Ekspedisi Van Der Pie pada tahun berikutnya mengambil arah dari sebelah timur juga mengalami kegagalan. Tahun 1913 Dr Walaston dengan jalur Utara Lembah Itakwa berhasil mencapai ketinggian 3000 m dpl namun belum berhasil mencapai puncak Carstenz Pyramid. Ekspedisi sebelumnya lebih berhasil dibawah pimpinan Dr AH Colijin mencapai puncak Enggapolo (4862 m dpl) didinding utara Gletser puncak jaya pada tahun 1963.

Pendakian itu membuka lembaran sejarah baru bagi pendakian Indonesia. Tetapi lama setelah itu ekspedisi dari Selendia Baru dibawah pimpinan Henrich Harreu pada tahun 1962 berhasil mencapai puncak bersalju Carstenz Pyramid (4884 m dpl). Tanggal 1 Maret 1961, Sugirin, Sudarto dan Fred Athaboe bersama Tazuke dkk dari Jepang yang terbagung dalam Ekspedisi Cendrawasih berhasil mencapai puncak Enggapalo yang kemudian diberi nama Puncak Soekarno dipegunungan tengah Jayawijaya.

JENIS-JENIS PENDAKIAN
Menurut bentuk dan jenis medan yang dihadapi mountaineering dapat dibagi sbb :
1.         Hil Walking atau Feel Walking
Perjalanan mendaki bukit-bukit yang relative landai. Tidak membutuhkan peralatan teknis pendakian. Hal utama adalah jalur pendakian sudah tersedia. Contoh : pendakian Gn. Gede.
2.         Scrambling
Pendakian setahap demi setahap pada suatu permukaan yang tidak begitu terjal tangan kadang-kadang dipergunakan hanya untuk keseimbangan. Untuk pemula tali kadang-kadang harus dipasang untuk pengamanan dan mempermudah gerakan.
3.         Climbing
Dikenal sebagai suatu perjalanan pendek yang umumnya tidak memakan waktu lebih dari satu hari. Hanya rekreasi ataupun pendakian gunung yang praktis. Membutuhkan penguasaan teknik mendaki dan pemakaian peralatan. Climbing terbagi menjadi dua bagian :
- Rock Climbing, pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang
- Ice and Snow Climbing, pendakian pada es dan salju.
4.    Mountaineering
Merupakan gabungan dari semua bentuk pendakian diatas. Bisa memakan waktu berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan. Disamping pengetahuan teknik dan pengalaman mendaki, perlu juga dikuasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, dll.

SISTEM PENDAKIAN
Dikenal dua macam system pendakian :
1.         Himalayan Style
Sistem pendakian yang biasanya dengan rute yang panjang sehingga untuk mencapai puncak diperlukan waktu yang lama. System ini berkembang pada pendakian-pendakian ke pegunungan himalaya. Pendakian tipe ini biasanya terdiri atas beberapa kelompok dan tempat peristirahatan (base camp, flying camp) sehingga dengan berhasilnya satu orang dari seluruh tim berarti pendakian ini sudah berhasil untuk seluruh tim.
2.         Alpine Stlyle
Sistem ini banyak di kembangkan di pegunungan-pegunungan Eropa. Pendakian ini mempunyai tujuan bahwa semua pendaki harus sampai di puncak dan baru pendakian dianggap berhasil. System pendakian ini umumnya lebih cepat karena pendaki tidak perlu lagi kembali ke base camp (bila kemalaman, bias membuat flying camp baru dan esoknya dilanjutkan kembali.

KLASIFIKASI PENDAKIAN
Klasifikasi berdasarkan tingkat kesulitan medan yang dihadapi :
  1. CLASS 1 : Berjalan tegak tidak diperlukan peralatan khusus
  2. CLASS 2 : Medan sedikit bertambah sulit sehingga diperlukan peralatan yang memadai dan penggunaan tangan.
  3. CLASS 3 : Medan semakin terjal sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu. Tali pengaman belum diperlukan.
  4. CLASS 4 : Tali pengaman sudah diperlukan dan bantuan peralatan lainnya sebagai penambat.
  5. CLASS 5 : Route semakin sulit namun peralatan masih berfungsi sebagai pengaman.
  6. CLASS 6 : Pendakian / pemanjatan sepenuhnya tergantung pada peralatan memanjat dan menambah ketinggian.

PERSYARATAN UNTUK MENDAKI GUNUNG
  1. Identitas pendaki harus jelas diketahui secara perorangan maupun secara kelompok yang dinyatakan dengan daftar isian.
  2. Kesehatan pendaki harus benar-benar dalam kondisi baik, diutamakan atas dasar pemeriksaaan medis ataupun atas keyakinan pendaki sendiri.

PERIZINAN
Perizinan untuk mendaki gunung dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang mengelola kawasan tersebut atas dasar permohonan yang diajukan sebelumny. Bagi pengelola kawasan (Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam) :
  1. Mengeluarkan surat izin pendakian setelah memeriksa dengan seksama persyaratan mendaki.
  2. Memberikan informasi yang lengkap pada para pendaki tentang keadaan kawasan pendakian, berupa keadaan jalur kelembaban cuaca, jarak dan waktu tempuh pendakian.

PENGETAHUAN MEDAN
Untuk menguasai medan yang akan dihadapi seorang pendaki gunung harus menguasai pengetahuan membaca peta dan menggunakan kompas serta altimeter. Pokok penting adalah membayangkan bentuk gunung itu melalui garis-garis kontur yang ada pada peta. Kontur adalah gasir-garis imajinasi pada peta yang menghubungkan senua tempat yang sama tinggi dipermukaaan gunung yang diukur dari permukaan laut. Dengan melihat garis-garis kontur kita bias membayangkan medan gunung yang berupa pegunungan, lembah, sadel, tebing, puncak, dsb.

Sebuah lintasan yang aman kemudian direncanakan dengan memperhatikan garis kontur. Cara lain untuk mengetahui medan yang akan dihadapin adalah dengan bertanya kepada orang yang pernah mendaki gunung yang bersangkutan. Tetapi cara yang terbaik adalah mengikut sertakan orang yang pernah mendaki gunung itu bersama kita.

WAKTU PENDAKIAN
Sebaiknya dilakukan pada siang hari atas pertimbangan bahwa siang hari mudah untuk orientasi medan dan dapat untuk menikmati panorama disepanjang jalur pendakian. Pendakian pada malam hari cukup berbahaya, kendati tidak melelahkan.

Memperkirakan waktu pendakian perlu juga dilakukan. Ini terutama berguna untuk persiapan makanan. Dijalan datar, jarak 4 atau 5 km dapat ditempuh selama 1 jam. Di gunung, perhitungan seperti itu tidak berlaku. Mungkin perbedaaan ketinggian merupakan suatu cara yang paling baik untuk memperhitungkan waktu tempuh suatu pendakian. Kendati masih tergantung pada tingkat kecuraman gunung tersebut. Sebagai patokan, perbedaan tinggi 100-500 m rata-rata dapat ditempuh dalam 1 jam.

Jumlah pendaki untuk pertimbangan keelamatan pendakian sebaiknya dilakukan secara berkelompok.

HAL-HAL YANG PERLU DIHINDARI
  1. Membuat api disembarang tempat, matikan api sampai tidak ada bara yang menyala.
  2. Membawa obor untuk penerangan.
  3. Menggunakan bahan bakar kayu untuk api unggun
  4. Merusak atau merubah rambu-rambu yang ada.
  5. Mengambil mebunuh, merusak flora dan fauna yang ada.
  6. Mendaki melalui jalan terobosan.
  7. Membuang sampah sembarangan.
  8. Memisahkan diri dari rombongan.

BERJALAN DI GUNUNG
Berjalan di gunung tentu tidak sama dengan berjalan di trotoar. Di gunung anda harus berjalan dengan beban dipunggung, memanjat tebing menuruni ceruk-ceruk yang dalam dan meniti punggungan bukit yang tipis. Anda harus berjalan dengan irama yang tetap tidak ubahnya seorang penari, berjalan di gunung pun punya seni tersendiri.

(MATERI DIKSAR PPA WAHANA WIRABHUMI)

0 comments on "MOUNTAINEERING"

Post a Comment

 

Annisa Ramadona :) Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal