Dalam artian luas dapat diartikan
suatu perjalanan pendakian atau pencapaian suatu puncak, mulai dari pendakian
muda seperti hill walking sampai pendakian sulit seperti climbing.
Dalam mendaki gunung pada
dasarnya ada dua factor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu
pendakian. Factor pertama sifatnya intern artinya dating dari si pendaki gunung
itu sendiri. Kalau factor intern tidak dipersiapkan dengan baik, maka si
pendaki gunung terancam oleh bahaya subyek. Persiapan yang kurang akan
mendatangkan bahaya bagi si pendaki gunung itu sendiri. Factor kedua ialah
ekstern, yaitu datangnya dari luar si pendaki gunung. Bahaya yang mengancam
dari luar ini datang dari objek pendakiannya. Sehingga secara teknis disebut
bahaya obyek. Bahaya ini bias berupa badai hujan, udar dingin, kabut longsoran
dll. Factor ekstern ini masih bias diperhitungkan meskipun tidak semudah
memperhitungkan factor intern. Kecelakaan yang terjadi di gunung-gunung di
Indonesia umumnya disebabkan oleh factor intern karena persiapan yang kurang.
Persiapan ini berupa persiapan fisik perlengkapan perbekalan pengetahuan,
keterampilan, dan mental. Pendaki gunung harus dilengkapi dengan pengetahuan
dan keterampilan mendaki gunung. Penting juga mengetahui karakteristik gunung yang
akan didaki karena ini merupakan salah satu usaha mengurangi bahaya obyek yang
akan timbul.
Sejak dua abad yang lalu kegiatan
mendaki gunung mulai dikenal dan digemari oleh manusia. Dimulai sejak manusia
harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan baik semasa peperangan maupun
ketika melakukan tuntutan kehidupannya. Seperti yang dilakukan oleh hanibal
panglima kerajaan Kartago atas pegunungan Alpen yang bersejarah atau
petualangan yang dilakukan Jenghia Khan yang melintasi pegunungan Karakorum dan Kaukasus
untuk menuju Asia Tengah.
Dalam bentuknya yang seperti
sekarang ini pendakian yang gemilang untuk pertama kalinya terjadi pada tahun
1786 ketika Dr Paccard dan seorang pemandu ………. Mencapai puncak Mount Black
(4807 m dpl) yang tujuannya sebagai pengamatan ilmiah.
Babak berikutnya puncak-puncak
pegunungan Alpen mulai dijajaki oleh penggemar olahraga mendaki gunung dan
semakin popular setelah Sir Alfred Willis dkk pada tahun 1854 berhasil mencapai
puncak Watter Horn (3708 m dpl). Pendakian ini merupakan cikal bakal
terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua didunia British Alpine Club
(1857).
Kemudian Edward Whymper seorang
pelukis Inggris memimpin pendakian ke Matter Horn (4478 m dpl) ada tahun 1855.
pendakian tersebut dimaksudkan untuk membuat lukisan pegunungan Alpen. Tetapi
tragis ketika mereka turun setelah keberhasilannya tali pengaman putus sehingga
merenggut empat jiwa dari tujuh anggota kelompoknya. Setelah pendakian yang
penuh tragedy itu, mulailah para pendaki gunung mencoba puncak-puncak lainnya.
Ketika puncak-puncak pegunungan Alpen sudah sering didaki para pendaki mulai
mencari puncak lainnya dan mengalihkan pilihan pada pegunungan Himalaya. Sekelompok pendaki gunung Prancis pada tahun
1950 berhasil mencapai puncak Annapurna I
(8078 m dpl). Prestasi ini mendorong minat colonel John Hunt untuk memimpin
ekspedisi mencapai puncak Mount
Everst (8848 m dpl)
puncak tertinggi didunia yang ditemukan tahun 1852 oleh Sir Andrew Vaugh
(mengambil nam Everest untuk menghormati gurunya Sir George Everest).
Setelah mengalami beberapa
kegagalan akhirnya Mount Everest dapat dicapai oleh Edmund Hillary dari
Selandia Baru dengan bendera Inggris, Nepal dan PBB bersama seorang pemandu
dari Nepal Tenzing Norgay pada tanggal 29 Mei 1953.
Di Indonesia pada tahun 1909 –
1991 suatu ekspedisi persatuan ahli-ahli burubg dari Inggris mencoba menembus
rimba Irian dari arah selatan menuju gugusan pegunungan salju Jayawijaya.
Mereka tinggal selama 19 bulan tetapi kembali dengan kegagalan.
Ekspedisi Van Der Pie pada tahun
berikutnya mengambil arah dari sebelah timur juga mengalami kegagalan. Tahun
1913 Dr Walaston dengan jalur Utara Lembah Itakwa berhasil mencapai ketinggian
3000 m dpl namun belum berhasil mencapai puncak Carstenz Pyramid. Ekspedisi
sebelumnya lebih berhasil dibawah pimpinan Dr AH Colijin mencapai puncak
Enggapolo (4862 m dpl) didinding utara Gletser puncak jaya pada tahun 1963.
Pendakian itu membuka lembaran
sejarah baru bagi pendakian Indonesia.
Tetapi lama setelah itu ekspedisi dari Selendia Baru dibawah pimpinan Henrich
Harreu pada tahun 1962 berhasil mencapai puncak bersalju Carstenz Pyramid (4884
m dpl). Tanggal 1 Maret 1961, Sugirin, Sudarto dan Fred Athaboe bersama Tazuke
dkk dari Jepang yang terbagung dalam Ekspedisi Cendrawasih berhasil mencapai
puncak Enggapalo yang kemudian diberi nama Puncak Soekarno dipegunungan tengah
Jayawijaya.
JENIS-JENIS PENDAKIAN
Menurut bentuk dan jenis medan yang dihadapi
mountaineering dapat dibagi sbb :
1.
Hil Walking atau Feel Walking
Perjalanan
mendaki bukit-bukit yang relative landai. Tidak membutuhkan peralatan teknis
pendakian. Hal utama adalah jalur pendakian sudah tersedia. Contoh : pendakian
Gn. Gede.
2.
Scrambling
Pendakian
setahap demi setahap pada suatu permukaan yang tidak begitu terjal tangan
kadang-kadang dipergunakan hanya untuk keseimbangan. Untuk pemula tali
kadang-kadang harus dipasang untuk pengamanan dan mempermudah gerakan.
3.
Climbing
Dikenal
sebagai suatu perjalanan pendek yang umumnya tidak memakan waktu lebih dari
satu hari. Hanya rekreasi ataupun pendakian gunung yang praktis. Membutuhkan
penguasaan teknik mendaki dan pemakaian peralatan. Climbing terbagi menjadi dua
bagian :
- Rock Climbing, pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang
- Ice and Snow Climbing, pendakian pada es dan salju.
4. Mountaineering
Merupakan
gabungan dari semua bentuk pendakian diatas. Bisa memakan waktu berhari-hari
bahkan sampai berbulan-bulan. Disamping pengetahuan teknik dan pengalaman
mendaki, perlu juga dikuasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi,
dll.
SISTEM PENDAKIAN
Dikenal dua macam system
pendakian :
1.
Himalayan Style
Sistem
pendakian yang biasanya dengan rute yang panjang sehingga untuk mencapai puncak
diperlukan waktu yang lama. System ini berkembang pada pendakian-pendakian ke
pegunungan himalaya. Pendakian tipe ini biasanya terdiri atas beberapa kelompok
dan tempat peristirahatan (base camp, flying camp) sehingga dengan berhasilnya
satu orang dari seluruh tim berarti pendakian ini sudah berhasil untuk seluruh
tim.
2.
Alpine Stlyle
Sistem ini
banyak di kembangkan di pegunungan-pegunungan Eropa. Pendakian ini mempunyai
tujuan bahwa semua pendaki harus sampai di puncak dan baru pendakian dianggap
berhasil. System pendakian ini umumnya lebih cepat karena pendaki tidak perlu
lagi kembali ke base camp (bila kemalaman, bias membuat flying camp baru
dan esoknya dilanjutkan kembali.
KLASIFIKASI PENDAKIAN
Klasifikasi berdasarkan tingkat
kesulitan medan
yang dihadapi :
- CLASS 1 : Berjalan tegak tidak diperlukan peralatan khusus
- CLASS 2 : Medan sedikit bertambah sulit sehingga diperlukan peralatan yang memadai dan penggunaan tangan.
- CLASS 3 : Medan semakin terjal sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu. Tali pengaman belum diperlukan.
- CLASS 4 : Tali pengaman sudah diperlukan dan bantuan peralatan lainnya sebagai penambat.
- CLASS 5 : Route semakin sulit namun peralatan masih berfungsi sebagai pengaman.
- CLASS 6 : Pendakian / pemanjatan sepenuhnya tergantung pada peralatan memanjat dan menambah ketinggian.
PERSYARATAN UNTUK MENDAKI GUNUNG
- Identitas pendaki harus jelas diketahui secara perorangan maupun secara kelompok yang dinyatakan dengan daftar isian.
- Kesehatan pendaki harus benar-benar dalam kondisi baik, diutamakan atas dasar pemeriksaaan medis ataupun atas keyakinan pendaki sendiri.
PERIZINAN
Perizinan untuk mendaki gunung
dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang mengelola kawasan tersebut atas dasar
permohonan yang diajukan sebelumny. Bagi pengelola kawasan (Taman Nasional,
Balai Konservasi Sumber Daya Alam) :
- Mengeluarkan surat izin pendakian setelah memeriksa dengan seksama persyaratan mendaki.
- Memberikan informasi yang lengkap pada para pendaki tentang keadaan kawasan pendakian, berupa keadaan jalur kelembaban cuaca, jarak dan waktu tempuh pendakian.
PENGETAHUAN MEDAN
Untuk menguasai medan yang akan dihadapi seorang pendaki
gunung harus menguasai pengetahuan membaca peta dan menggunakan kompas serta
altimeter. Pokok penting adalah membayangkan bentuk gunung itu melalui garis-garis
kontur yang ada pada peta. Kontur adalah gasir-garis imajinasi pada peta yang
menghubungkan senua tempat yang sama tinggi dipermukaaan gunung yang diukur
dari permukaan laut. Dengan melihat garis-garis kontur kita bias membayangkan medan gunung yang berupa
pegunungan, lembah, sadel, tebing, puncak, dsb.
Sebuah lintasan yang aman
kemudian direncanakan dengan memperhatikan garis kontur. Cara lain untuk
mengetahui medan
yang akan dihadapin adalah dengan bertanya kepada orang yang pernah mendaki
gunung yang bersangkutan. Tetapi cara yang terbaik adalah mengikut sertakan orang
yang pernah mendaki gunung itu bersama kita.
WAKTU PENDAKIAN
Sebaiknya dilakukan pada siang
hari atas pertimbangan bahwa siang hari mudah untuk orientasi medan dan dapat untuk menikmati panorama
disepanjang jalur pendakian. Pendakian pada malam hari cukup berbahaya, kendati
tidak melelahkan.
Memperkirakan waktu pendakian
perlu juga dilakukan. Ini terutama berguna untuk persiapan makanan. Dijalan
datar, jarak 4 atau 5 km dapat ditempuh selama 1 jam. Di gunung, perhitungan
seperti itu tidak berlaku. Mungkin perbedaaan ketinggian merupakan suatu cara
yang paling baik untuk memperhitungkan waktu tempuh suatu pendakian. Kendati
masih tergantung pada tingkat kecuraman gunung tersebut. Sebagai patokan,
perbedaan tinggi 100-500 m rata-rata dapat ditempuh dalam 1 jam.
Jumlah pendaki untuk pertimbangan
keelamatan pendakian sebaiknya dilakukan secara berkelompok.
HAL-HAL YANG PERLU DIHINDARI
- Membuat api disembarang tempat, matikan api sampai tidak ada bara yang menyala.
- Membawa obor untuk penerangan.
- Menggunakan bahan bakar kayu untuk api unggun
- Merusak atau merubah rambu-rambu yang ada.
- Mengambil mebunuh, merusak flora dan fauna yang ada.
- Mendaki melalui jalan terobosan.
- Membuang sampah sembarangan.
- Memisahkan diri dari rombongan.
BERJALAN DI GUNUNG
Berjalan di gunung tentu tidak
sama dengan berjalan di trotoar. Di gunung anda harus berjalan dengan beban
dipunggung, memanjat tebing menuruni ceruk-ceruk yang dalam dan meniti
punggungan bukit yang tipis. Anda harus berjalan dengan irama yang tetap tidak
ubahnya seorang penari, berjalan di gunung pun punya seni tersendiri.
(MATERI DIKSAR PPA WAHANA WIRABHUMI)
0 comments on "MOUNTAINEERING"
Post a Comment